Oleh: La Ode Muhaimin
Pilihan para pendiri Bangsa Indonesia semenjak UUD 1945 dirumuskan menghendaki negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Tujuannya agar daerah bisa mengatur dirinya sendiri secara mandiri.
Kemandirian dan kebebasan daerah dilengkapi dengan pemberian kewenangan menentukan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh masyarakat daerah sendiri. Tidak terkecuali dengan mekansime pemakzulan di tengah masa jabatannya. Ironisnya, di masa Orde Lama dan Orde Baru, malah terjadi praktik sentralisasi.
Memasuki era otonomi seluas-luasnya pasca reformasi, desain hubungan pusat-daerah mulai ditata. Bermula dari UU 22/1999 yang menganut konsep demokrasi lokal.
DPRD diberi kewenangan yang sangat kuat, bisa memilih dan menetapkan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Di samping itu, DPRD dapat memakzulkan kepala daerah di tengah masa jabatannya apabila laporan pertangungjawabannya ditolak oleh DPRD sebanyak dua kali bertutrut-turut.
Namun, relasi provinsi-kabupaten/kota menimbulkan disharmoni karena disusun dalam pola yang tidak hirarkhis. Akibatnya, koordinasi antara Gubenrur dengan Bupati/Walikota tidak berjalan dengan semestinya.
Penataan kembali hubungan pusat-daerah dilakukan dalam UU 32/2004, termasuk relasi provinsi-kabupaten/kota disusun kembali secara hirarkhis. Sekaligus penguatan posisi Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang dijabarkan dalam PP 19/2010. Kini, dalam UU 23/2014, kedudukan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat ditambah suplemen kekuatannya.
Fungsi pengawasan Gubernur merambah sampai pada pembatalan pengangkatan Camat apabila bertentangan dengan UU 23/2014.
Pemegang kewenangan dalam negara kesatuan terletak di tangan pemerintah pusat. Dalam konteks negara kesatuan di Indonesiaa, Presiden yang membagi kewenangan kepada daerah provinsi, kabupaten dan kota.
Masing-masing disebut sebagai daerah otonom yang berhak mengurus dan mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Tetapi, daerah provinsi didudukan sebagai Unit Antara, sehingga jabatan Gubernur dilekatkan pula jabatan wakil pemerintah pusat di daerah. Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, Gubernur diberi kewenangan melantik kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.
Jabatan sifatnya abadi dan di dalamnya disemaikan fungsi dan wewenang. Demikian halnya jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Namun pemangku jabatan silih berganti yang bisa disebabkan oleh beberapa faktor:
(i) berkahir masa jabatannya; (ii) diangkat pejabat baru menggantikan yang lama; (iii) meninggal dunia; (iv) mengundurkan diri; atau (v) diberhentikan. Singkatnya, mekanisme pemberhentian dari jabatan ada 2, yakni berhenti dan diberhentikan.
Banyak Gubernur, Bupati, Walikota diberhentikan sementara dari jabatannya karena ditetapkan sebagai Terdakwah dan diberhentikan secara tetap setalah adanya putusan atas kasusnya berkekuatan hukum tetap. Implikasinya timbul kekosongan jabatan Gubernur atau Bupati atau Walikota. Karena jabatan harus diisi, maka wakil kepala daerah ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (selanjutnya ditulis Plt).
Akan tetapi, UU tidak membatasi jangka waktu Plt bagi jabatan yang pengisiannya melalui Pilkada menjalankan jabatannya. UU 30/2014 hanya membatasi kewenangan Plt
Berbeda dengan Plt. Gubernur/Bupati/Walikota yang ditempatkan pada daerah otonom baru yang diberikan “masa jabatan” tertentu selama 1 tahun (dapat diperpanjang). Ada kepastian seseorang Plt menduduki jabatannya. Namun demikian, tidak berarti tidak dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya. Hanya saja ada durasi waktu yang diberikan bersamaan dengan mandat yang diemban oleh Plt yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Yang sering terjadi penundaan pelantikan Plt menjadi pejabat tetap di tingkat kabupaten/kota. Bahkan mungkin juga di tingkat provinsi.
Di kabupaten Buton pernah terjadi penundaan pengangkatan Plt Bupati menjadi Bupati. Saat ini, Buton Selatan mengalami peristiwa yang sama dengan Kabupaten Buton. Membiarkan jabatan dijalankan oleh Plt selama waktu tertentu menimbulkan akibat: (i) penyumbatan demokrasi di daerah; (ii) mengebiri otonomi daerah itu sendiri; (iii) menciptakan kepemimpinan ganda di daerah.
Penyumbatan Demokrasi
Sejatinya jabatan wakil kepala daerah diisi dengan segera apabila proses berpemerintahan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dihadirkan sebagai landasan mengambil keputusan.
Meski jabatan wakil kepala daerah tidak sestratgeis kepala daerah, namun keberadaannya sangat penting ketika peristiwa tertentu terjadi pada diri kepala daerah. Karena itu, membiarkan jabatan wakil kepala daerah tidak diisi sama dengan menutup partisipasi putra/putri daerah terbaik mengisi jabatan tersebut. Maka keputusan cepat dan tepat mesti diambil agar saluran demokrasi tidak tersumbat.
Salah satu jenis desentralisasi ialah desentralisasi politik. Pengalihan kewenangan dan tanggung jawab pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak saja berbentuk pemilihan secara langsung oleh rakyat (Pilkada) semata.
Tetapi pemilihan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah melalui DPRD juga didesentralisasikan ke daerah apabila berhenti atau diberhentikan secara bersamaan. Termasuk mekanisme pengisian jabatan wakil kepala daerah jika jabatan tersebut lowong. Pengalihan kewenangan kepada DPRD tidak dapat lagi diambil alih atau ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Manakala Gubernur tidak mengambil keputusan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya mengusulkan dan melantik Plt Bupati/Walikota menjadi Bupati/Walikota, maka ia membuka peluang timbulnya penyumbatan demokrasi di daerah. Proses berpemerintahan harus berjalan agar suasana demokrasi terpelihara dan mekar dalam habitatnya.
Tentu diperlukan watak pemimpin yang demokratis pula untuk membentuk wajah demokrasi daerah yang membahagiakan.
Ketidakmampuan menghadirkan soliditas antar satuan pemerimntahan akan diukur dari responsifitas keputusan yang diambil. Membiarkan Buton Selatan dipimpin oleh Plt. Bupati tidak kompatibel dengan upaya memupuk cita rasa demokrasi yang berkedaulatan rakyat.
Relasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota senantiasa dibangun dalam suasana yang harmonis. Maknanya, Gubernur bertindak progresif menyikapi hal-ikhwal yang ada dihadapannya.
Mengebiri Otonomi Daerah
Desentralisasi melahirkan otonomi daerah. Otonomi daerah adalah otonomi rakyat, bukan otonomi elite pemerintahan. Karena otonomi untuk rakyat, maka tak seorang pun yang dapat mengebiri otonomi daerah. Penanggungjawab pelaksanaan urusan otonomi berada di tangan kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota).
Karena tanggung jawab urusan pemerintahan ada pada kepala daerah maka jabatan kepala daerah tidak boleh dibiarkan dijabat oleh Plt sampai pada batas tak tertentu. Meskipun demikian, penunjukan Plt merupakan langkah cepat mengisi kekosongan jabatan. Sebab tanpa ada yang menjabat pada jabatan tersebut roda pemerintahan tidak dapat berjalan. Inilah yang dinamakan hakikat fungsi pemerintahan yang bersifat absolut dalam ilmu hukum admnistrasi negara.
Akan terjadi pengebirian terhadap otonomi daerah apabila pemerintah pusat tidak mengukuhkan Plt Gubernur sebagai pejabat tetap Gubernur. Karena daerah provinsi juga daerah otonom, maka hak-hak sebagai daerah otonom harus dipenuhi.
Hak-hak dimaksud bukan saja urusan pemerintahan saja, melainkan peresmian Plt Gubernur menjadi Gubernur wajib pula dipenuhi. Gubernur adalah pelaksana urusan pemerintahan, bukan Plt Gubernur. Sekalipun secara hukum keabsahan dan legalitasnya terpenuhi menjalankan jabatan Gubernur, tetapi kewenangannya sangat terbatas. Terbatassnya kewenangan Plt Gubernur tidak linear dengan kedudukan daerah provinsi sebagai daerah otonom, dimaana hak-haknya sebagai daerah otonom dipenuhi oleh pemerintah pusat.
Persis sama dengan daerah kabupaten/kota. Hak-haknya sebagai daerah otonom dipenuhi, maka otomatis hak memiliki pejabat Bupati/Walikota secara tetap wajib pula dipenuhi. Gubernur tidak boleh membiarkan jabatan Bupati/Walikota dijabat oleh Plt tanpa ada kepastian jangka waktu. Apabila dibiarkan, maka Gubernur dianggap mengebiri otonomi daerah kabupaten/kota.
Mengebiri otonomi daerah sama dengan mengebiri hak-hak rakyat daerah. Otonomi merupakan jelmaan dari demokrasi. Dengan berotonomi berarti rakyat berdemokrasi.
Ketika pemerintah pusat atau pemerintah provinsi tidak menyegerakan pengesahan Plt menjadi pejabat tetap Gubernur/Bupati/Walikota sama dengan mengebiri atau mengabaikan hak-hak rakyat daerah. karena pejabat tetap Gubernur/Bupati/Walikota adalah kebutuhan dan tuntutan otonomi daerah, bukan Plt. Meski Plt berwenang menjalankan urusan pemerintahan daerah tetapi Plt bukan kebutuhan dan tuntutan daerah otonom atau rakyat di tingkat lokal.
Terciptanya Kepemimpinan Ganda
Kepala daerah yang telah divonis bersalah oleh pengadilan dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap, masih sah menjabat kepala daerah dengan status tidak aktif. Pucuk pemerintahan daerah dipegang oleh wakil kepala daerah merangkap Plt kepala daerah. Mandat yang dipegang oleh Plt (mandataris) berasal dari mandans (pemberi mandat) dan tanggung jawab ada pada mandans.
Kewenangan yang dilimpahkan kepada mandataris hanya sebagian saja, sebagiannya ada pada mandans. Oleh karena itu, mandans dapat menarik mandat yang ada pada mandataris. Berdasar UU 30/2014, Plt dibatasi kewenangannya. Ia tidak bisa membuat kebijakan yang berdampak pada 3 bidang yakni: (i) aspek organisasi; (ii) kepegawaian; dan (iii) alokasi anggaran.
Tanggung jawab berada pada pemberi mandat (Presiden atau Mendagri untuk Plt. Gubernur dan Mendagri atau Gubernur untuk Plt. Bupati/Walikota), menunjukkan bahwa kepemimpinan di daerah tidak dilakukan sendiri.
Gubernur/Bupati/Walikota yang berstatus tidak aktif tetap dianggap sebagai Gubernur/Bupati/Walikota sebelum diberhentikan secara resmi oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, timbul kepemimpinan ganda di daerah. Kepemimpinan ganda berbeda dengan kepemimpinan dwi-tunggal. Kepemimpinan ganda diibaratkan kapal pemerintahan dinakhodai lebih dari satu orang.
Meski pemberi mandat tidak memimpin pemerintah daerah secara langsung, namun berdampak pada ruang gerak Plt menjadi terbatas. Kondisi ini makin buruk apabila terdapat perbedaan dukungan partai politik antara Plt Gubernur/Bupati/Walikota dengan presiden/mendagri/gubernur. Perbedaan ini sering kali menjadi batu sandungan apabila tidak disiasati dengan negosiasi politik yang cerdas dan akurat.
Dengan demikian, Plt. Gubernur/Bupati/Walikota tidak memberikan keuntungan signifikan bagi pemerintaahan dan rakyat daerah. Justru membiarkan pemerintah daerah dipimpin oleh Plt menimbulkan kerugian. Plt Gubernur/Bupati/Walikota tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tetapi terus membiarkan roda pemerintahan dijalankan oleh Plt membuka peluang terjadinya penyumbatan demokrasi, pengebirian otonomi daerah, dan terciptanya kepemimpinan ganda di daerah.***
Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Dayanu Ikhsanuddin