Siapapun dan dari agama manapun tidak pernah akan membenarkan tindak kekerasan terhadap sesama, baik yang sifatnya tindak kriminal umum, lebih-lebih jika dilakukan atas nama agama. Dengan demikian segenap upaya untuk membangun kehidupan sosial yang damai, aman dari tindak kekerasan terhadap sesama, siapapun dan dari lembaga manapun inisiatornya niscaya untuk diapresiasi.
Termasuk dalam hal ini dengan segala usaha BNPT yang selama ini menunjukkan upaya jelas konkrit dalam melokalisir dan kemudian menghentikan segala bentuk tindak yang mengarah dan atau memanfaatkan “agama” sebagai dasar peligitimasi perilaku kekerasan terhadap sesama manusia. Sebagai subyek yang hingga kini meminati pada kajian moderasi dan hubungan antar agama meskipun hanya sebatas konteks lokal Sulawesi Tenggara, saya paham betul betapa amat sangat pentingnya sikap moderat inklusiv, bagi bangsa Indonesia yang bhineka.
Oleh karena itu, realitas kebhinekaan sebagai hal yang melekat dengan bangsa ini, niscaya untuk dikelola dengan cara cantik, cermat, dan cerdas. Dengan pendekatan tersebut, akan melahirkan simpati, kepercayaan publik sekaligus menghilangkan sakwa sangka masyarakat terhadap para penggiat moderatisme.
Saya perlu menegaskan hal tersebut, kerena percaya atau tidak, eksistensi BNPT yang sesungguhnya bertujuan luhur, belum dapat diterima keberadaannya secara jujur dan apa adanya oleh sebagian masyarakat. Realitas tersebut bukan saja terjadi di tengah kalangan kelompok yang sering distigma sebagai kelompok “radikal” tetapi juga bagi sebagian mereka yang berpikir rasional.
Percaya atau tidak, masih ada kalangan yang menganggap bahwa gerakan deradikalisasi dimana BNPT menjadi salah satu main actornya oleh sebagian masyarakat dipandang tidak lebih sebagai kegiatan ekonomi. Atau kata kasarnya, isu radikalisme tidak lebih sebagai komoditas. Visi tersebut bukan ilusi, tetapi sebuah kenyataan tatkala kita berdialog dan mendiskusikan giat BNPT.
Kita bisa saja menampik hal tersebut, namun dalam ruang politik demokrasi seseorang memiliki hak untuk mempresepsi berdasarkan perspektifnya terhadap segala aktivitas lembaga negara. Apalagi masyarakat secara terang benderang mengetahui bahwa isu radikalisme mendapat porsi anggaran yang lumayan besar.
Dalam konteks itu semua, maka cara-cara cantik, cermat dan cerdas mesti dapat ditunjukkan oleh elemen BNPT, jika eksistensinya tidak ingin terus dicurigai oleh sebagian masyarakat. Mengingat tugas BNPT yang sedemikian strategis untuk menciptakan situasi aman, damai dan harmonis, maka menurut penulis kecurigaan terhadap BNPT sesungguhnya amat sangat merugikan. Adanya sakwa sangka berlebihan dari masyarakat terhadap peran BNPT pada gilirannya dapat menjadikan kerja lembaga ini kurang maksimal, sehingga mungkin antara hasil kerja dengan banyaknya anggaran yang digelontorkan negara tidak berbanding.
Oleh karena itulah, BNPT sedapat mungkin meminimalisasi kegiatan dan statement yang justru menyebabkan blunder di tengah masyarakat. Pers liris tentang sejumlah pesantren yang disebut berafiliasi dengan giat terorisme yang baru-baru ini dikeluarkan oleh BNPT mungkin dapat dijadikan sampel, sebagai blunder BNPT.
Dikatakan demikian karena sepekan setelah liris tersebut Komjend Boy Rafli Amar bersilaturrahim dengan MUI dan secara gentel meminta maaf atas blunder yang mereka lakukan. Blunder yang sebenarnya tidak perlu terjadi bila sumber daya BNPT bekerja secara cantik, cermat dan cerdas.
Penulis sendiri hampir gagal paham, mengapa lembaga sekelas BNPT bertindak gegabah dengan sangat mudah melabelling lembaga pesantren sedemikian keji. Sekalipun hal tersebut sudah diklarifikasi, namun memori masyarakat sudah terlanjur mengingat plus menggugat masalah tersebut.
Pers liris yang berlebihan tersebut kemudian secara faktual tidak saja merugikan lembaga kepesantrenan tetapi juga bagi BNPT sendiri. Meskipun menurut saya kerugian yang terbesar ada pihak BNPT. Lembaga yang sejatinya mulia ini oleh para pengkritiknya akan semakin tidak memiliki makna, karena operasi yang dijalankan tidak mengacu pada data yang akurat (valid). Fakta tersebut semakin menguatkan hipotesis sebagian orang tentang ketidakmurnian gerak BNPT.
Sejatinya sumber daya BNPT berpikir seribu kali ketika ingin mencantumkan salah satu lembaga di bawah binaan Muhammadiyah dalam list yang dikeluarkan. Karena resiko memasukkan lembaga yang berafiliasi dengan Muhammadiyah adalah menjadi tertawaan publik, khususnya dari kalangan akademisi.
Memori publik tentang kebaikan Muhammadiyah jauh melampaui usia BNPT. Artinya amal baik dan sumbangsih organ ini terhadap negara ibarat bumi dan langit jika dibanding sumbangsih BNPT.
Di WhatsApp group masyarakat, kini banyak beredar bagaimana kebaikan Muhammadiyah yang tidak terlalu menagih tunggakan BPJS yang konon nilainya ratusan miliar, atau bagaimana Muhammadiyah hingga detik ini berada pada garda terdepan membantu pemerintah menanggulangi Covid-19.
Memori publik di Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, NTT dan yang terbaru di Semeru akan menjadi senjata ampuh untuk mendalilkan tentang sumir dan tendensiusnya pernyataan BNPT, untuk tidak mengatakan data tersebut “ecek-ecek”.
Mudah-mudahan warga Muhammadiyah yang umumnya dari kalangan rasionalis hanya sekedar menertawai data BNPT. Sembari terselip harapan, semoga warga Muhammadiyah yang jumlahnya jutaan tidak sampai kehilangan kepercayaan terhadap BNPT.
Teman saya salah seorang alumni Ma’had al-Bir (MB) Universitas Muhammadiyah Makassar secara berkelakar mengatakan BNPT lagi cari kerjaan baru.
Lebih lanjut ia mengatakan, Muhammadiyah melalui seorang tokohnya pada sekitar tahun 1998, dalam hal ini Allahu yarham Kolonel (Purn) KH. Makmur Ali, pada masa awal berdirinnya MB Unismuh pernah mengultimatum LIPIA sebagai mitra kerja sama untuk hengkang jika mereka ingin mengatur Muhammadiyah. Bahkan AMCF sebagai mitra yang pernah menjalin kesepahaman dengan MB dalam nota kerjasamanya menyerahkan sepenuhnya teknis pelaksanaan, termasuk internalisasi doktrin keagamaan kepada Muhammadiyah.
Memasukkan MB Unismuh dalam list sakwasangka oknum BNPT pada saat sekarang, tidak lebih sebagai lawakan yang tak berkualitas, mengingat (berdasarkan keterangan teman-teman di Unismuh) lembaga tersebut (MB) kini murni dibiayai oleh dana persyarikatan Muhammadiyah.
Sungguh pun demikian kita patut bergembira, karena dengan sigap Kepala BNPT yang dikenal cerdas dan santun tersebut mengambil langkah tepat, untuk menyatakan adanya kesalahan teknis yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Langkah elegan Komjen Boy Rafli tentu saja layak untuk diapresiasi, karena gerak tersebut setidaknya dapat menyelamatkan muka BNPT dari amukan stigma sosial, yang berhipotesis bahwa lembaga tersebut kini sedang terpapar oleh infiltrasi kelompok radikalisme kiri dan sebagai tempat berkumpulnya kelompok Islam fobia.
Tentu saja, kita berharap bukan hal tersebut yang terjadi, meskipun demikian Komjen Boy Rafli, sejatinya tidak hanya meminta maaf terhadap umat Islam (MUI) tetapi niscaya menindak lanjutinya dengan punishman dan atau bersih-bersih terhadap mereka yang diduga berada dibalik kegaduhan ini. Wallahu a’lam bi al-sawab
Penulis adalah Dosen IAIN Kendari dan peminat kajian moderasi dan hubungan antar agama