Caleg Milenial; Catatan Pengharapan

Pena Opini743 views

Oleh: Suyono Sahmil

Politik menjadi ruang pemetaan kehendak. Melaluinya; kepentingan sosial terpenuhi. Akselerasi pembangunan ekonomi terkonfirmasi. Titik temu pikiran-pikiran bermutu hingga sampai pada benturan persepsi dan deskripsi emosionalitas adalah politik dan anak muda, atau dalam istilahnya, digunakan “Caleg Millenial” yang akan mengisi narasi selanjutnya.

Berdasarkan rekapitulasi daftar pemilih tetap tingkat nasional pemilihan umum tahun 2019, telah ditetapkan terdapat 185.732.093 pemilih. Adapun wilayah dengan pemilih terbanyak terdapat pada Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah yang berturut-turut sebanyak 32, 30, dan 27 juta orang pemilih.

Jumlah tersebut ditambah lagi 2.049.790 pemilih luar negeri. Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 memperkirakan akan ada 65.777 juta penduduk Indonesia berusia 15-29 di tahun 2019.

Hal tersebut menunjukkan paling tidak terdapat 35,42% pemilih muda untuk Pemilu 2019. Untuk mewakili suara pemuda, Pemilu 2019 turut menyertakan 559 caleg muda dari total 7896 caleg, yakni berusia 21-30 tahun. Namun, data tersebut tidak turut memperhitungkan caleg dari Partai Berkarya, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Jadi, paling sedikit terdapat 7,08% calon legislatif berusia muda mewakili 35,42% suara pemuda Indonesia.(sumber; rumahpemilu.org).

Merujuk pada presentase di atas, besaran caleg “milenial” yang terlibat dalam kontestasi hanya berkisar pada angka 7,08 % atau lebih, yang itupun masih terbilang cukup jauh dari presentase pemilih pemuda yang berkisar 35,42%.

Hal ini menjadi penanda, bahwa partai belum begitu memberikan pendidikan politik yang kuat disertai porsi maksimal pada kelompok millenial untuk turut, mengambil bagian dalam gelaran pileg. Padahal semangat pemuda saat ini, tumbuh dengan pesatnya dalam partisipasi pembangunan sumber daya manusia dan keterlibatan dalam suksesi pembangunan sosial-ekonomi.

Hasanuddin Ali, dalam bukunya ‘Milenial Nusantara’, menyebutkan tiga karakteristik utama yang dimiliki oleh generasi milenial yakni; connected, creative dan confidence (3c).

Connected atau koneksi karena mereka ialah pribadi yang pandai bersosialisasi terutama dalam komunitasnya. Mereka juga aktif berselancar di media sosial dan internet.

Karakteristik kedua adalah kreatif (creative), yang mana generasi milenial merupakan orang-orang yang berpikir out of the box, kaya akan ide dan gagasan, serta mampu mengkomunikasikan ide dan gagasan mereka dengan baik. Mereka boleh dikatakan sebagai generasi kreatif. Sebagai bukti, saat ini industri kreatif yang dimotori anak-anak muda, sangat berkembang pesat.

Karakteristik ketiga ialah kepercayaan diri (confidence), yang mana generasi milenial ialah orang-orang yang sangat percaya diri, berani mengemukakan pendapat, dan tidak sungkan berdebat melalui medsos.

Melihat potensi yang dimaksudkan, kelompok milenial yang ikut terlibat dalam kontestasi politik, sangat diharapkan menjadi rujukan dalam pemecahan-pemecahan masalah dalam masyarakat. Sebagai agen perubahan yang mestinya lebih paham tentang hiruk pikuk dimensi sosial dan ekonomi, lebih-lebih tentang aspek yang sangat bersentuhan langsung dengan kesejahteraan konstituen/rakyat.

Bagi pemuda dan siapapun yang masih percaya pada politik sebagai sebuah panggilan mulia dan kemanusiaan, mungkin jalan terbaik saat ini adalah menjustifikasi para politisi kita yang betul-betul kurang memperhatikan agenda dan kepentingan masyarakat.

Hadirnya caleg millenial disekitar kita, harus dimaknai sebagai keterpanggilan emosional dan moral dalam mengorganisasikan semangat kesejahteraan.

Memupuk Harapan

Pemuda dan jiwa mudanya; dalam sejarah politik Indonesia selalu terkait dengan semangat dan mental yang revolusioner, bahkan ada yang menempatkannya sebagai aktor sejarah yang memiliki posisi strategis, kuat “sikap” dan “mentalitas” dalam merancang model pembangunan. Itu sebabnya, sang ilmuan -Indonesianis- Benedict Anderson menyebut revolusi Indonesia sebagai “revolusi pemuda”.

Hal ini dibuktikan dalam trajectory sejarah kaum muda, di mana tak ada peristiwa politik penting di negeri ini yang tak melibatkan peran kaum muda.

Sejak pembentukan Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bahkan punya andil besar dalam Reformasi 1998. Itu sebabnya, dengan pendekatan apapun, pemuda selalu identik dengan perubahan, kebaruan dan kemajuan. Sehingga ia bukan sebuah konsep yang hanya terbatas pada kategori “umur”, namun lebih sebagai sebuah konsep yang bertaut dengan “sikap” dan “mentalitas”.

Para caleg milenial harus pandai membuat terobosan dan mampu mengambil hati pemilih lewat ide dan gagasan yang aplikatif, kreatif dan kekinian. Harus benar-benar mumpuni dalam memahami dan menyelesaikan isu-isu di daerahnya. Sebab mereka hadir dengan harapan baru ditengah gersang dan rapunya kualitas perjuangan atas nama rakyat.

Mereka harus mampu memegang amanah dengan sangat erat, apabila terpilih. Sebab di tangan dan pikiran mereka, harapan tersemai. Mendustai harapan adalah dosa sosial yang saban hari akan memperburuk citra dalam membangun pikiran dan kerja-kerja politik.

Akhirnya, melalui pendekatan yang “aposteriori”, kehadiran caleg milenial harus menghadirkan kewibawaan baru, caleg yang punya mental anti korupsi, punya solusi-solusi bermutu, harus bisa membuktikan; kehadirannya mewakili angkatan muda yang punya varian ide dan gaya baru dalam mengasosiasikan diri serta kemampuan kepemimpinannya dalam segmentasi kebutuhan masyarakat.(***)

Penulis: Pengurus DPD KNPI Kota Ternate