Carut Marut Pertambangan di Sultra

Oleh: Laode Rahmat

Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) salah satu daerah yang memiliki sumber daya alam khususnya nikel. Sektor pertambangan menjadi salah satu penopang perputaran ekonomi serta membuka peluang kerja bagi masyarakat.

Kekayaan alam yang terkandung menjadi berkah bagi masyarakat sekitar blok tambang namun pada sisi yang lain juga menjadi “racun” bagi pegiat lingkungan hidup.

Berbagai protes masyarakat terkait aktifitas penambangan selalu terjadi ditengah masyarakat misalnya tumpang tindih lahan, penyerobotan lahan warga pencemaran lingkungan maupun problem sosial lainnya.

Pada aspek legalitas sebagian perusahaan tambang tidak memiliki izin yang lengkap untuk melakukan operasi produksi sementara operasi terus berlangsung dilapangan dan anehnya aparat hukum maupun instansi terkait seakan menutup mata dan terkesan melakukan pembiaran.

Berdasarkan data yang dirilis oleh gubernur Sulawesi Tenggara pada bulan November ada 528 Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Hanya delapan perusahaan tambang yang mempunyai kuota eksport dan lebih banyak yang tidak melakukan produksi sehingga mayoritas masih jadi lahan “tidur”. Parahnya lagi sebagaimana diungkapkan KPK luas IUP melebihi luas daratan Sulawesi Tenggara. Aneh bin ajaib!!

Problematika yang menyelimuti pertambangan di Sultra sudah akut dan tidak bisa ditoleransi lagi sebab membiarkan hal ini terus terjadi sama dengan mewariskan masalah pada generasi selanjutnya.

Berbagai protes masyarakat hanya menjadi angin lalu bahkan aktiftas pertambangan terus berjalan walaupun sudah “melabrak” berbagai aturan sehingga pertambangan di Sultra carut marut dan menjadi “pabrik” problematika ditengah masyarakat.

Lantas mengapa bisa terjadi carut marut dan terkesan ada pembiaran? Menurut hemat penulis ada beberapa fakto yaitu:

Pertama, ATM berjalan industri pertambangan menjadi lahan basah aksi suap menyuap. Perputaran uang gelap di indsutri pertambangan sangat menggiurkan bahkan sekali suap para pelaku bisnis minimalis Rp100 juta untuk satu jenis masalah kecil dan kalau aktifitas penambangan ilegal terjadi tentu upetinya sudah miliyaran angka yang sangat fantastis dan menggoda iman seseorang.

Jadi bila perusahaan tambang yang beroperasi tanpa disertai dengan seluruh perizinan sudah dipastilan miliyaran yang akan dikeluarkan untuk “menyumbat” oknum yang terkait dengan kewenangan pertambangan jangan heran kalau aksi penambangan ilegal akan terus terjadi karena kasus seperti ini sengaja dibiarkan untuk jadikan ATM berjalan.

Kedua, bekingan aparat bersenjata. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mensinyalir kalau penambangan ilegal langgeng karena dibekingi aparat keamanan yakni aparat bersenjata. Yang terjadi dilapangan menjadi akut karena aktifitas penambangan dijaga aparat bersenjata.

Salah seorang mantan aktifias WALHI pernah merasakan teror aparat karena membeberkan aktiftas penambangan ilegal. Seharusnya aparat bersenjata tidak melindungi dan atau melakukan penjagaan “khusus” terkait aktifitas penambangan ilegal.

Ketiga, obral IUP. Ketika pemerintah kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menerbitkan IUP para bupati sepertinya memanfaatkan hal tersebut untuk mengeluarkan izin tanpa memperhatikan aspek lingkungan dan sosial.

Lebih tragisnya lagi, banyak IUP yang tumpang tindih dengan alasan peningkatan pendapatan asli daerah menjadi “mantra” para bupati menerbitkan perizinan tambang. Akibatnya, menjamurlah perizinan tambang dan masalah pun bermunculan.

Selain itu, cerita yang banyak beredar dikalangan pengusaha tambang ada biaya “segar” yang harus “disuntik” untuk mendapatkan IUP nominalnya bermain diangka satu milyar-dua milyar. Bila satu kabupaten mengeluarkan izin sekitar 200 izin, silakan anda hitung berapa pendapatan tidak resmi para bupati!.

Problem yang muncul tentu saja beragam dan masyarakat menjadi “korban” jangka panjang. Pemerintah, tentu tidak boleh mendiamkan virus tersebut menyerang masyarakat.

Terkait hal itu solusi alternatif yang bisa ditempuh yakni melakukan moratorium izin serta menata ulang berbagai aktifitas pertamabangan.

Secara teknis pengajuan izin baru harus dihentikan seraya melakukan verifikasi administrasi dan faktual terkait aktifitas penambangan.

Dinas Pertambangan dalam hal ini Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) selaku “komando” dibidang ini harus berani melakukan langkah yang tidak populer agar pertambangan di Sultra tidak carut marut.

Langkah taktis dan strategis Kadis Pertambangan dan Kepala Bidang Minerba Sultra dinantikan oleh publik sehingga kinerja mereka bukan melanjutkan kesalahan-kesalahan para pendahulunya.(***)

Penulis: Direktur AMAN Center