Oleh: Herman Batin Mangku
SEJUMLAH partai besar sudah mendeklarasikan bakal calon presiden RI. Masyarakat mulai kembali hiruk-pikuk mengomentarinya. Pilpres 2019 menjadi momentum demokrasi bangsa kita untuk naik kelas.
Pilpres 2014 telah menjadi ujian demokrasi bangsa kita paskareformasi. Masyarakat gaduh “face to face” dengan adanya “head to head” dua calon presiden (capres) di Pilpres 2014: Jokowi versus Prabowo.
Meski sudah naik kuda bersama paska-Pilpres 2014 di Hambalang, keduanya belum bisa begitu saja meredam kegaduhan kedua massanya hingga hari ini. Masih banyak penggiat medsos saling serang. “Cyber army” terus gerilya.
Bangsa Indonesia seperti terbelah dua dalam politik sejak Pilpres 2014. Jelang Pilpres 2019, kegaduhan mulai menggeliat lagi. Apalagi, ada kemungkinan bakal tanding ulang (rematch) antara Jokowi vs Prabowo.
Seluruh cabang Partai Gerindra telah serentak mendeklarasikan ketua umum yang juga founder partainya, Prabowo Subianto kembali berlaga di Pilpres 2019, Minggu 11 Maret 2018.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri sudah lebih dulu mengumumkan petugas partainya, petahana, Joko Widodo, Februari lalu, melanjutkan kepemimpinannya.
Indonesia sudah kembali berada di depan pintu pusaran Pilpres 2019. Bangsa ini sebentar lagi bakal lulus berdemokrasi setelah 21 tahun dikuasai Orde Lama dan 32 tahun digenggam Orde Baru.
Jika Pilpres 2019 berlangsung lancar, demokrasi Indonesia naik kelas. Demokrasi yang paling gaduh dibandingkan sebelumnya saja, Pilpres 2014, berhasil dilalui tanpa terperosok dari tubir kehancuran bangsa ini.
Semua itu tidak lepas dari sosok kepemimpinan Jokowi dan kenegarawanan Prabowo. Jokowi “membebaskan” masyarakat menilai dan berpendapat soal kebijakan pemerintah. Jokowi sendiri kerap dijadikan meme di medsos.
Beberapa orang yang kebablasan asal cuap dibungkam dengan pasal penghinaan terhadap kepala negara serta ujaran kebencian (UU Informasi Teknologi). Masyarakat belajar batasan kebebasan dalam demokrasi.
Prabowo yang kalah 6,3% (8.421.389 suara) dengan Jokowi telah menunjukkan kedewasaannya dalam berdemokrasinya. Dia protes hasil suara lewat jalur hukum. Dia akhirnya terima semua keputusan KPU.
Jenderal bintang tiga itu tetap menjalin silaturahmi dengan Jokowi, tak mengusik visi, misi, serta program-program pembangunan Jokowi. Sikap yang samakin mendewasakan demokrasi bangsa kita.
Kontroversi pasti selalu ada. Namun, secara umum, demokrasi kita sudah baik. Kita tinggal merawatnya agar tetap berjalan di relnya. Kepala sah-sah saja panas dalam kompetisi demokrasi tapi hati tetap adem berpegang pada rohnya demokrasi.
Pilpres 2019 menjadi tangga demokrasi bangsa kita naik kelas. Sebanyak 62.576.444 (46,85?) pendukung Prabowo tetap sabar menunggu tarung ulang jagonya dengan sang juara bertahan secara konstitusional.
Sesungguhnya, kita, rakyat Indonesilah pemenang pesta demokrasi yang sesungguhnya setelah Pilpres 2014. Demokrasi bakal semakin seru dengan masuknya “king maker” Susilo BambangYudhoyono (SBY) dalam pusaran Pilpres 2019.
Selamat mulai bertarung kembali dalam pesta demokrasi nasional, Pilpres 2019, secara santun dan bermartabat. Jika semunya berjalan baik, demokrasi Indonesia naik kelas, kita yang menang, siapapun yang terpilih nanti.(***)
Penulis: Pengurus PWI Lampung dan Serikat Media Siber Indonesia