Oleh: Zulfikar putra, SH, M.Pd.
Asas Persamaan di Hadapan Hukum
Asas persamaan di hadapan hukum merupakan salah satu asas terpenting dalam hukum. Asas ini dapat menjadi tolak ukur bagaimana hukum itu dapat memberi keadilan kepada seluruh masyarakat. Menurut asas ini, setiap warga negara mendapatkan perlindungan dan keadilan yang sama di hadapan hukum. Asas ini berkembang luas di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Asas persamaan di hadapan hukum adalah suatu asas yang menciptakan suatu kesetaraan dalam hukum pada setiap individu atau manusia tanpa adanya perlakuan istimewa atau khusus yang didapat oleh sebagian yang lain Asas persamaan di hadapan hukum itu dapat dijadikan sebagai standar dan perlindungan terhadap kelompok –kelompok marjinal atau kelompok masyarakat bawah yang notabene tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi hukum (kekuasaan/jabatan, uang dan relasi).
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, menyatakan bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Ketentuan ini, merupakan dasar bagi setiap warga negara untuk memiliki hak dan kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Dengan kata lain, peraturan tersebut menjadi dasar bagi setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan dan perlakuan sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali.
Selain pasal tersebut diatas, juga Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”Lebih lanjut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur, “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.
Pasal-pasal tersebut mempertegas adanya asas equality before the law yang berarti menandakan bahwa adanya persamaan di hadapan hukum bagi setiap orang. Oleh karena itu, tidak boleh ada perilaku diskriminatif terhadap salah satu pihak yang mencari keadilan di hadapan hukum dalam suatu proses peradilan di pengadilan. Selain itu pula, tidak boleh adanya unsur subjektifitas dalam setiap keputusan yang diambil, seperti memandang status sosial, warna kulit, ras, suku, bahasa, agama, dan kepercayaan.
Kasus Hukum dan Sanksi Bagi Pelakunya
UU ITE beberapa tahun belakangan ini menjadi pisau untuk membungkam suara-suara banyak orang. Dengan undang-undang tersebut, seorang bisa dijebloskan ke penjara hanya karena berbicara yang menyakiti perasaan pihak lain atau dijegal dengan sangkaan ujaran kebencian. Banyak peristiwa hukum yang terjadi berujung pada ditahannya para pelanggar, namun tidak sedikit juga yang secara kasat mata terbukti melakukan suatu pelanggaran pidana dalam hal ini melanggar undang-undang justru masih menghirup udara kebebasan tanpa tersentuh hukum. Inilah yang menjadi kegelisahan penulis, dimanakan kesamaan hak warga negara di mata hukum? Apakah hukum hanya berlaku bagi siapa-siapa yang tidak dekat dengan kekuasaan?
Menarik untuk sedikit mengurai kasus hukum bagi orang-orang yang secara ideologis bersebarangan dengan pemerintah, Misalnya kasus Edi Mulyadi yang ditahan akibat ujaran kebencian terkait ucapan ’Kalimantan tempat jin buang anak’ yang kemudian diancam hukuman 10 tahun penjara. Habib Bahar bin Smith yang notabene juga paling kritis terhadap pemerintah, juga tersandung kasus ujaran kebencian dalam salah satu ceramahnya menyebut ‘Jokowi Banci’ pada tahun 2018. Serta kasus Imam Besar Habib Rezieq Sihab, berawal dari pelanggaran protokol kesehatan sehingga menyebabkan kerumunan sewaktu penjemputan di bandara sepulangnya dari Arab Saudi dan disaat momen perayaan kegiatan keislaman di rumah kediamannya Jalan Petanburan yang berujung pada pemeriksaan di Kepolisian. Kemudian dalam proses pemeriksaan tersebut juga disangkakan dengan perbuatan yakni menyebarkan berita bohong terkait hasil swab dalam kasus RS. Ummi yang kemudian berujung di penjara.
Sedangkan dengan kasus serupa, yakni Sukmawati yang tersandung kasus penistaan agama, dengan membandingkan Nabi Muhammad SAW dengan Soekarna di saat zaman penjajahan, saat tampil membawakan puisi dalam suatu acara diskusi tahun 2019. Yang secara jelas sudah masuk dalam kasus pelanggaran penistaan agama, namun tidak di kenakan sanksi pelanggaran UU ITE. Begitu juga dengan Denny Siregar, yang dengan perbuatan menyebut seseorang teroris, Abu Janda menyebut Islam arogan yang kemudian dikonotasikan kepada sesuatu hanya yang buruk/jelek. Kemudian kasus Ambroncius Nababan yang melakukan penghinaan kepada Natalius Pigai dengan mengkonotasikan Natanius dengan binatang (kera) yang masuk dalam perbuatan pidanan yaitu penghinaan. Kasus Ade Armando yang dituding telah melakukan ujaran kebencian yakni penodaan agama usai mengatakan ‘Allah bukan orang Arab.’ Semua perbuatan tersebut masuk dalam unsur-unusr pelanggaran sebagaimana yang diatur dlam UUD ITE yaitu empat unsur tabu yang tidak boleh dilakukan yaitu: (1) mengedit gambar; (2) memaki dengan sebutan binatang atau ucapan serupa ke orang lain; (3) melakukan fitnah; (4) mengakses tidak sebenarnya.
Peristiwa hukum sebagaimana yang penulis uraikan diatas masuk dalam persoalan prilaku aparat hukum yang diistilahkan sebagai disparitas yaitu perbedaan perlakuan yang dialami oleh para pelanggar hukum oleh aparat hukum.
Sebagai seorang pendidik dan juga sebagai pemerhati hak-hak warga negara/masyarakat, tentunya keadaan tersebut menjadi sesuatu hal yang tidak kita inginkan bersama. Adanya rasa keadilan bagi semua (justice for all) mestinya tidak berlaku hanya segelincir orang saja. Sebagi seorang warga bangsa, tentunya kita mengidamkan negeri yang kita cintai ini, betul-betul menjadi negeri yang menegakkan kedilan tanpa melihat status sosial seseorang.
Wallahu ‘alam bis shawab