Dinamika dalam Aksi Demonstrasi

Oleh: Maolana Muhammad Sah

Terdengar suara burung akan aksi damai mahasiswa di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Tapi kali ini saya menyebutkan bukan aksi mahasiswa, namun aksi yang disusupi oleh kepentingan sehingga bentrok antara para aksi dan aparat keamanan tidak bisa dipungkiri.

Kenapa saya menyatakan demikian. Hal ini berdasarkan perkataan seorang mahasiswa yang diberitakan oleh Penasultra.com “Saya tegaskan aksi kami hari ini aksi damai. Jika ada mahasiswa yang memancing kericuhan saya pastikan bukan mahasiswa Universitas Halu Oleo,”.

Berita burungpun terdengar lebih dramatis ketika ada salah satu mahasiswa menghembuskan nafas terakhirnya di medan demokrasi dan beberapa mahasiswa lain terluka. Dengan adanya fenomena yang tragis ini, saya kira kita tidak ingin ada darah yang menghiasi perjuangan mahasiswa selanjutnya.

Mungkin kita telah melihat ribuan ataupun ratusan mahasiswa yang turun ke jalan. Namun sadar atau tidk disadari, dipikir atau tidak dipikirkan. Mahasiswa yang turun kejalan tidak semua memiliki dasar yang kuat untuk turun aksi.

Mungkin sebagian dari mereka merupakan korban mobilisasi senior dan hanya mengkonsumsi berita-berita yang tersebar di media sosial, dimana kredibilitas dan keakuratannya masih diragukan, ditambah lagi dengan argumentasi yang membuat panas. Apakah mahasiswa yang bertipe seperti ini ingin menjadi korban selanjutnya?

Perlu digaris bawahi, kalau saya bukan orang yang menolak aksi turun kejalan. Tapi saya adalah orang yang mengharapkan aksi mahasiswa selalu hidup untuk mengontrol kebijakan birokrasi. Saya pun bukan orang yang ingin mematahkan semangat mahasiswa yang ingin turun kejalan untuk mengutarakan aspirasi di telinga-telinga birokrasi. Namun, kita harus menyadari gerakan mahasiswa merupakan gerakan intelektual yang memiliki dasar rasionalitas dan data ilmiah yang menjadi pegangan kita untuk bersuara kepada birokrasi.

Ingatlah mahasiswa bukan anak sekolah yang datang ke jalan tapi tidak memiliki dasar intelektual. Saya tidak merendahkan mereka, tapi menurut saya mereka akan hebat pada waktunya.

Sekarang marilah kita bercermin diri di kaca pengetahuan kita sendiri. Sejauh mana pengetahuan kita terhadap persoalan itu. Seberapa kuat rasionalitas dan data ilmiah kita untuk menganalisis rancangan aturan tersebut.

Mahasiswa bisa saja turun kejalan dengan pengetahuan yang gelap, lalu melakukan kekerasan untuk meruntuhkan birokrasi. Tapi apakah itu yang kita cari?. Apakah kekerasan akan menghasilkan hal yang bagus?.

Salah satu tokoh dalam bidang ilmu psikologi Erich Fromm berpendapat bahwa ada dua macam agresif, yakni agresif lunak dan agresif jahat.

Agresif lunak adalah agresif yang bersifat defensif, dimana kita akan melakukan kekerasan karena alasan mempertahankan diri dari suatu serangan yang mengarah kepada kita. Sedangkan agresif jahat adalah agresif kekejaman dan kedestruktifan yang menurut para ahli merupakan agresif yang berbahaya. Kenapa bisa berbahaya, karena agresif ini dapat menghancurkan sesuatu untuk meraih yang mereka inginkan.

Berdasarkan hal itu, saya pikir mahasiswa yang turun kejalan bukan suatu gerakan untuk menghancurkan, tapi suatu gerakan untuk mencari kejelaskan sebuah kebenaran. Namun sayang sekali, penyusup selalu ada dalam gerakan mahasiswa dijalan. Jadi bentrok tidak bisa terhindarkan lagi.

Tulisan saya di atas bermaksud untuk menyarakan kepada mahasiswa agar kembali kejalur akademisi atau jalur intelektual. Kenapa mahasiswa tidak membuat suatu forum diskusi untuk membicarakan permasalahan tersebut dengan adat akademisi, bukan adat preman.

Saya pikir banyak variabel yang harus dikaji, baik sisi hukum, sosial, psikologi atau yang berhubungan dengan hal tersebut. Dengan adanya forum tersebut, mahasiswa yang korban mobilasasi senior dan memiliki pengetahuan setengah dapat tercerahkan.

Selain itu, hasil dari forum tersebut dapat menemukan garis merah yang menerangkan penasaran kita terhadap permasalahan yg ada sekarang. Saya tidak meragukan beberapa mahasiswa yang sudah mengkaji hal tersebut. Namun sebuah gerakan bukan suatu dogma atau sebuah kepatuhan junior terhadap senior, sehingga mau tidak mau harus turun kejalan.

Cerdaskanlah mereka dengan cara intelektual dan ajaklah mereka untuk aksi ketika mereka sudah paham persoalan tersebut secara akademisi.

Apakah akan ada aksi turun kejalan setelah forum itu terlaksana. Itu terserah penafsiran dan kesimpulan mahasiswa nantinya. Pada intinya dengan forum tersebut mahasiswa yang dimobilisasi tidak menjadi figuran atau menjadi pelengkap saja agar kelihatan banyak yang turun aksi.

Demo boleh saja, sekarang apa dasar akademisi kalian sehingga kalian turun?.(***)

Penulis adalah Dosen Jurusan Psikologi Universitas Halu Oleo Kendari