Oleh: Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H
Pada awal April yang lalu Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) mengumumkan dalam konferensi persnya bahwa telah memberhentikan secara tidak hormat salah satu pegawai KPK karena tebukti melakukan pelanggaran sanksi etik kategori berat. Pasalnya, pegawai tersebut yang berinisial IGAS melakukan perncurian atau penggelapan barang bukti berupa emas batangan seberat 1.900 gram. Barang bukti emas batangan tersebut merupakan barang bukti yang dirampas dari terpidana Yaya Purnomo mantan pejabat di Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan yang telah divonis 6,5 tahun penjara karena menerima suap dan gratifikasi.
Kronologi Kejadian
IGAS merupakan anggota satuan tugas (satgas) pada Direktorat Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) yang berada dibawah Kedeputian Bidang Penindakan dan Eksekusi di KPK yang memiliki kewenangan menyimpan barang bukti dalam perkara yang menjerat Yaya Purnomo eks Pejabat Kementerian Keuangan. Kejadian pencurian atau penggelapan emas batangan dengan berat 1.900 gram yang ditaksir KPK senilai Rp. 900 juta itu terjadi pada awal Januari 2020. IGAS mengambil barang bukti emas batang tersebut 3 kali diwaktu yang berbeda yakni ditanggal 8, 9 dan 13 Januari 2020 dan emas tersebut digadaikan di Kantor Cabang Pengadaian Meruya dan Kantor Cabang Pengadaian Tanjung Duren. Namun baru diketahui jika barang bukti tersebut hilang ketika barang bukti tersebut hendak akan dieksekusi untuk dilelang pada Juni 2020 dimana hasil dari lelang tersebut akan dimasukkan kedalam kas negara.
Motif pelaku mencuri atau menggelapkan barang bukti emas batangan dengan berat 1.900 gram tersebut adalah karena pelaku sedang terlilit utang yang cukup banyak akibat berbisnis forex (foreign exchange market) olehnya itu, emas batangan tersebut digadaikan oleh IGAS untuk menutupi utang-utangnya. Barang bukti emas batangan tersebut baru bisa ditebus oleh IGAS pada bulan Maret 2021 lalu setelah menjual tanah warisan orang tuanya yang berada di Bali.
Berdasarkan tindakan tersebut Dewas KPK mengambil tindakan tegas menjatuhkan sanksi etik kategori berat dengan memberhetikan IGAS secara tidak hormat sebagai pegawai KPK karena telah berlaku tidak jujur, menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi dan perbuatan tersebut merupakan tindak pidana. Disisi lain, perbuatan IGAS juga telah merusak citra integritas KPK dan juga berpotensi merugikan keuangan negara. Ucap Tumpak Hatorangan Panggabean selaku Ketua Dewas KPK dalam konferensi pers di Gedung KPK.
Pencurian dan Penggelapan
Kejadian tersebut secara tidak langsung juga menampar tubuh KPK, untuk itu karena tindakan IGAS merupakan suatu tindak pidana, dan terhadap sanksi etik yang dijatuhkan kepadanya tidak menghapuskan tindak pidana yang dilakukannya, maka sikap KPK pun tegas melaporkan mantan pegawainya tersebut ke pihak Kepolisian dan pihak KPK melalui Komisioner Nurul Gufron menegaskan bahwa KPK tidak akan memberikan bantuan hukum terhadap kasus yang menimpa IGAS. Diketahui lebih lanjut dalam pemeriksaan, IGAS bukan berasal dari pihak Kepolisian maupun pihak Kejaksaan melainkan berasal dari unsur sipil ujar Aziz Andriansyah Kepala Polres Metro Jakarta Selatan.
Perbuatan IGAS mengambil emas atau melakukan penggelapan merupakan tindak pidana menurut hukum pidana nasional kita. Pencurian diatur didalam Pasal 362 KUHP dengan ancaman pidana paling lama 5 tahun penjara, sedangkan penggelapan diatur didalam Pasal 372 KUHP dengan ancaman pidana paling lama 4 tahun penjara. Tindak pidana pencurian dan penggelapan dalam rumusannya hampir memiliki kesamaan, perbedaannya ialah bahwa pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada ditangan pencuri dan masih harus diambil oleh pelaku, sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada ditangan si pelaku tidak dengan jalan kejahatan. Artinya bahwa dalam penggelapan barang yang dimiliki telah dikuasai lebih dulu.
Bila dikonstruksikan dengan kasus IGAS perbuatannya bisa saja masuk dalam tindak pidana pencurian juga bisa masuk dalam tindak pidana penggelapan. Jika perbuatan IGAS mengambil emas batangan seberat 1.900 gram tersebut belum berada dalam penguasaannya sudah pasti perbuatan tersebut adalah tindak pidana pencurian, karena barang tersebut dimaksudkan IGAS untuk dimiliki belum dalam penguasaannya dan mesti diambil, tindakan mengambil tersebutlah yang dilakukan secara melawan hukum. Sebaliknya, jika emas batangan sebarat 1.900 gram itu ternyata dalam penguasaan IGAS maka sudah pasti termasuk dalam penggelapan karena syarat untuk dikatakan perbuatan sebagai penggelapan adalah harus dikuasai lebih dulu oleh pelaku dan bukan karena kejahatan.
Jika ternyata perbuatan IGAS lebih condong kepada perbuatan penggelapan, maka apakah bisa menggunakan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan? Jika merujuk pada pengaturan KUHP kita sejatinya jenis tindak pidana penggelapan dibedakan menjadi penggelapan biasa (Pasal 372), penggelapan ringan (Pasal 373), penggelapan dengan pemberatan (Pasal 374), dan penggelapan dalam keluarga (Pasal 375). Jika merujuk pada jenis tindak pidana penggelapan tersebut sepintas kilas kasus IGAS termasuk dalam rumusan delik dalam Pasal 374 yang berbunyi “penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan perkejaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah uang, dihukum penjara paling lama 5 tahun”.
Dalam Pasal 374 a quo, terdapat unsur pekerjaan atau jabatannya yang mana jika dikonstruksikan kedalam kasus IGAS sepintas dapat memenuhi unsur tersebut karena IGAS merupakan pegawai KPK khususnya bagian Satgas Labuksi KPK. Namun demikian, Pasal 374 tidak dapat diterapkan kepada semua subjek hukum, dalam pasal a quo terdapat pengecualian jika dilakukan oleh seorang pegawai negeri yang melakukan penggelapan berupa uang atau surat berharga maka dikenakan Pasal 415 KUHP, dan jika dilakukan oleh seorang pegawai negeri yang melakukan penggelapan barang bukti atau keterangan yang dipakai untuk kekuasaan yang berhak atau suatu akte, surat keterangan atau daftar yang disimpan karena jabatannya, maka dikenakan Pasal 417 KUHP.
Defenisi Pegawai Negeri
Ambtenar atau pegawai negeri dalam KUHP didefenisikan didalam Pasal 92 KUHP. Pegawai negeri termasuk dalam orang yang terpilih dalam pemilihan umum, hakim dan anggota angkatan perang. Sedangkan jika merujuk pengertian pegawai negeri dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) sangat luas, tidak saja yang termasuk dalam Pasal 92 KUHP tetapi juga termasuk pengertian didalam UU tentang Kepegawaian, orang yang menerima gaji atau upah dari: keuangan negara atau daerah, suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah dan dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat (lihat Pasal Pasal 1 angka 2 UU PTPK).
Jika dikonstruksikan penjelasan pegawai negeri tersebut di atas dengan kasus IGAS sudah nyata bisa dikatakan termasuk dalam unsur pegawai negeri karena IGAS menerima upah atau gaji yang bekerja sebagai pegawai KPK yang sumber pengajiannya berdasarkan dari keuangan negara. Sehingga termasuk dalam unsur pegawai negeri. Lantas, apakah IGAS bisa dikatakan penggelapan dalam jabatan berdasar Pasal 415 atau Pasal 417 KUHP?
Sejatinya, ketentuan kedua pasal tersebut terhadap rumusan deliknya telah ditarik masuk kedalam UU PTPK yakni untuk Pasal 415 KUHP ditarik masuk menjadi Pasal 8 UU PTPK dan Pasal 417 KUHP ditarik masuk menjadi Pasal 10 UU PTPK. Dengan kata lain, bahwa Pasal 415 dan Pasal 417 KUHP tidak berlaku lagi karena rumusan deliknya telah ditarik menjadi ketentuan didalam UU PTPK.
Pada perbuatan IGAS yang digelapkan adalah barang bukti emas batangan seberat 1.900 gram bukan termasuk uang atau surat berharga sehingga tentu tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 8 UU PTPK yang mensyaratkan barang yang digelapkan harus berupa uang atau surat berharga. Oleh karena itu, perbuatan IGAS bisa termasuk dalam Pasal 10 UU PTPK yang menyaratkan barang yang digelapkan adalah berupa barang bukti emas batangan yang digunakan untuk membuktikan dimuka pejabat yang berwenang. Adapun Pasal 10 UU PTPK berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 350 juta pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta surat, atau daftar tersebut; atau
c. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut.
Kekosongan Hukum
Ketentuan Pasal 10 UU PTPK di atas kiranya ada beberapa perbuatan yang dilarang yakni menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakainya barang dan seterusnya, juga perbuatan yang dilarang adalah membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan dan seterusnya juga orang yang membantu orang lain menghilangkan dan seterusnya.
Dalam perkembangan kasus IGAS ternyata belum lama ini tangal 23 Juli 2021 yang lalu Dewas KPK kembali memberikan sanksi etik kategori ringan kepada salah satu pegawai KPK yakni kepada Mungki Hadipratikno selaku Pelaksana Tugas Direktur Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi KPK. Dewas KPK berpendapat bahwa tindakan Mungi tidak profesional karena tidak bekerja sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku dan Mungki dinyatakan tidak berintegritas. Olehnya itu Dewas KPK menjatuhi Mungki dengan sanksi etik ringan berupa teguran tertulis dua dengan masa berlaku hukuman selama 6 bulan.
Dalam pemeriksaan etiknya, Dewas KPK menilai bahwa Mungki mengetahui perbuatan IGAS yang mencuri atau menggelapkan barang bukti emas untuk digadaikan namun diketahuinya Mungki terhadap hal tersebut tidak diikuti dengan laporan kepada atasan atau kepada Dewas KPK. Diakuinya oleh Mungki bahwa tidak dilaporkannya terhadap hal tersebut karena ia syok dan hanya berpikir bagaimana caranya mengembalikan barang bukti tersebut bisa kembali karena dari segi waktu BPK akan masuk untuk melakukan audit. Namun dalam putusan etiknya Dewas KPK menyatakan alasan tersebut tidak beralasan karena bukan merupakan alasan untuk Mungki melalaikan kewajibannya sesuai yang diatur didalam SOP. Maka dengan dasar tersebutlah Mungki dijatuhi sanki etik.
Didalam hukum pidana, perbuatan seseorang yang mengetahui bahwa telah terjadi suatu tindak pidana namun tidak melaporkan perbuatan tersebut kepada pihak bewenang adalah termasuk kedalam suatu tindak pidana. Secara teoritik, jika merujuk pada pembagian jenis delik didalam hukum pidana perbuatan tersebut termasuk dalam delik omisi atau delicta omissionis yaitu tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan atau diharuskan oleh undang-undang. Delicta omissionis ini didasarkan pada adagium hukum qui potest et debet vetara tacens jubet yang artinya seseorang yang berdiam diri tidak mencegah atau tidak melakukan sesuatu yang harus dilakukan sama saja seperti ia yang memerintahkan. Didalam KUHP sendiri ketentuan ini diatur didalam Pasal 165 KUHP.
Akan tetapi tidak terhadap semua jenis tindak pidana yang jika tidak dilaporkan merupakan suatu tindak pidana menurut Pasal 165 KUHP ini, melainkan Pasal 165 KUHP membatasi hanya terhadap perbuatan-berbuatan yang termasuk dalam tindak pidana makar (Pasal 104, 106, 107, 108), permufakatan jahat melakukan makar (Pasal 110-113), tindak pidana berdasarkan Pasal 115-129, penyerangan terhadap diri presiden dan wakil presiden (Pasal 131), lari dari tentara dalam keadaan perang, pembunuhan berencana (Pasal 340), penculikan (Pasal 328), pemerkosaan (Pasal 285), kejahatan yang termasuk dalam Bab VII tentang Kejahatan Terhadap Kekuasaan Umum yang membahakan nyawa orang, tidak bersaksi dipengadilan padahal telah dipanggil secara patut berdasarkan undang-undang (Pasal 224-228), pemalsuan uang (Pasal 250), pemalsuan surat (Pasal 264), dan penyedian bahan pemalsuan surat (Pasal 275).
Berdasarkan ketentuan limitatif didalam Pasal 165 KUHP di atas, tidak satupun perbuatan yang mengatur tentang tindak pidana pencurian atau penggelapan, mutatis-mutandis bila dikonstruksikan dengan tindakan Mungki selaku Direktur Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi KPK yang mengetahui bahwa IGAS melakukan pencurian atau penggelapan terhadap barang bukti emas tersebut yang notabene adalah suatu tindak pidana menurut hukum positif dan tidak memilih melaporkan hal tersebut kepada pihak berwajib maka tindakan Mungki tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana menurut Pasal 165 KUHP.
Menariknya, jika kita merujuk pada Pasal 10 huruf b UU PTPK yang telah disebutkan sebelumnya di atas jika kasus IGAS dinyatakan lebih condong kepada tindak pidana penggelapan, sesungguhnya sangat dimungkinkan perbuatan Mungki bisa dijerat pidana karena termasuk dalam unsur “membiarkan”, namun demikian jika mencermati rumusan Pasal 10 huruf b tersebut tindakan membiarkan apa saja yang dimaksud yakni hanya terhadap perbuatan “menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat yang berwenang”. Dengan kata lain, perbuatan membiarkan orang lain melakukan penggelapan tidak termasuk dalam unsur delik dalam Pasal 10 huruf b, padahal jika kita merujuk pada Pasal 10 huruf a UU PTPK perbuatan yang dilarang berdasar pasal a quo juga termasuk tindakan menggelapkan. Didalam Pasal 10 huruf b nampaknya menggantikan unsur “penggelapan” yang masih diatur didalam Pasal 10 huruf a dengan unsur “menghilangkan”.
Tindakan Mungki Berakhir Pada Sanksi Etik
Tidak dimungkinkannya perbuatan Mungki untuk dijerat secara pidana dengan menggunakan Pasal 165 KUHP dan Pasal 10 huruf b UU PTPK karena ditidak disebutkan secara eksplisit dalam rumusan deliknya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tindakan Mungki juga tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimaan diatur didalam Pasal 15 UU PTPK karena percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat harus didahului dengan adanya niat (vornemen) berupa kesengajaan yang berencana untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
Jika tindakan tersebut dari niat melakukan kejahatan kemudian diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan dan ternyata pelaksanaan tersebut tidak selesai bukan karena kehendaknya sendiri maka perbuatan tersebut termasuk dalam kualifikasi percobaan (poging) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksudkan didalam Pasal 53 KUHP. Sedangkan jika tindakan tersebut dari niat diwujudkan dengan adanya bantuan untuk melakukan suatu tindak pidana baik saat dilakukannya tindak pidana itu maupun setelah dilakukannya tindak pidana maka perbuatan tersebut termasuk dalam pembantuan tindak pidana (medeplichtige) sebagaimana dimaksudkan didalam Pasal 56 KUHP. Dan jika sebelum diwujudkannya suatu tindak pidana itu ternyata diiringi dengan kesepakatan diantara para pelaku (meetings of mind) dan diwujudkan pula dengan permulaan pelaksanaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 56 KUHP tentang percobaan maka perbuatan tersebut termasuk dalam permufakatan jahat atau samenspanning atau conspiracy sebagaimana dimaksudkan didalam Pasal 88 KUHP.
Namun demikian, terhadap permufakatan jahat didalam tindak pidana korupsi tidak dapat merujuk pada penjelasan didalam Pasal 88 KUHP karena permufakatan jahat yang dimaksud didalam Pasal 88 KUHP adalah terhadap tindak pidana makar. Hal ini pula telah ditegaskan didalam uji materiil terhadap Pasal 15 UU PTPK tahun 2016 dimana Mahkamah berpendapat bahwa frasa permufakatan jahat didalam Pasal 15 UU PTPK bertentangan dengan UUDNRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “permufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana”. Disisi lain Mahkamah menegaskan bahwa Pasal 15 UU PTPK bukan merupakan sui generis atau delik yang berdiri sendiri melainkan perlu harus ditafsirkan dengan unsur delik yang terdapat didalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 sebagai perbuatan yang dilarang (strafbaar) sehingga memenuhi prinsip lex certa didalam hukum pidana yang menekankan pada hukum pidana harus jelas sehingga tidak menimbulkan multitafsir.
Kekhususan pengaturan Pasal 15 UU PTPK ini adalah terhadap sanksi pidananya yang menyimpangi ketentuan umum. Dimana ketentuan umum terhadap percobaan dan pembantuan pidana sanksi pidana yang dapat dijatuhkan dikurang sepertiga (kecuali permufakatan jahat terhadap makar). Sedangkan didalam Pasal 15 hal itu disimpangi dan mengikuti acaman pidana yang diatur didalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Berlakunya ketentuan ini disebabkan sifat dan karakteristik tindak pidana korusi sebagai extra ordinary crime.
Terlepas dari itu semua, perbuatan mantan pegawai KPK IGAS dan Mungki perlu menjadi pelajaran tidak saja bagi para aparat penegak hukum tetapi juga kita semua termasuk penulis sendiri bahwa nilai profesionalisme dan integritas sangat perlu dimiliki.
Ada satu ungkapan yang yang sering disetir oleh para begawan hukum di Indonesia yakni ungkapan dari Bernardus Maria Taverne seorang ahli hukum Belanda yang mengatakan “berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun”. Kedalaman makna ungkapan Taverne tersebut menyisaratkan bahwa dalam hal penegakan hukum tidaklah dipengaruhi terhadap apa yang tertuang didalam undang-undang, tetapi sangat dipengaruhi oleh manusianya itu sendiri. Olehnya itu menurut Eman Suparman Mantan Ketua Komisi Yudisial mengatakan bahwa tidaklah cukup aparat penegak hukum hanya memiliki integritas profesional tapi tidak bermoral begitupun sebaliknya melainkan yang ideal adalah penegak hukum yang memiliki integritas profesional dan sekaligus juga memiliki integritas moral.
Wallahu a’lam bishawab.
Penulis merupakan Alumnus Fakultas Hukum UHO