DLH: Belum Ada Kerusakan Lingkungan Akibat Aktivitas Tambang di Konkep

PENASULTRA.COM, WAWONII – Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), M Rustam Arifin menegaskan bahwa sejauh hasil pelaporan dan pemantauan di lapangan oleh dinas yang dipimpinnya, belum ada kesan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas usaha pertambangan di Pulau Wawonii.

“Berdasarkan pemantauan kita dan penelahaan hasil laporan setiap semester baik secara administrasi maupun teknis, kondisi di lapangan belum terkesan menimbulkan kerusakan lingkungan,” ujar Rustam.

Kalau ada indikasi terjadi kerusakan lingkungan, maka fungsi DLH kabupaten untuk melakukan pembinaan di lapangan.

Namun, selama lebih kurang dua tahun menjabat Kadis DLH Kabupaten Konkep, ia mengaku sudah mendapatkan 3 kali laporan semester penaatan lingkungan juga pantauan langsung yang dilakukan, semuanya masih berjalan dengan baik.

“Kita berharap, kondisi seperti itu tetap dipertahankan. Kalaupun ada isu-isu yang menyudutkan, maka akan terjawab sendiri dengan kondisi yang sesungguhnya yang terjadi di lapangan,” ucapnya.

Sementara terkait isu pemberitaan yang menyebutkan bahwa beberapa hewan khas Pulau Wawonii, terancam punah akibat aktivitas pertambangan, pria berusia 54 tahun yang lahir dan besar di Wawonii ini menegaskan bahwa, ada beberapa hewan yang memang pernah ada seperti burung Monde atau semacam Maleo yang pernah hidup di Pulau Wawonii.

Pada era 70 dan 80-an, burung-burung tersebut memang ada. Namun, memasuki era 90-an burung-burung tersebut sudah tidak pernah terlihat lagi.

Salah satu penyebab menurut dia, karena adanya pertumbuhan penduduk dan juga pembukaan lahan. Sejak era 70-an, penyebaran permukiman penduduk juga semakin intens, terutama di daerah-daerah Pantai.

Sementara burung Monde, bertelur dan berkembang biak di daerah Pantai. Akibatnya, lambat laun keberadaan burung monde pun hilang.

“Jadi, semisal burung monde ini, dulu memang pernah ada. Namun, sekarang sudah tidak ada. Jauh sebelum kegiatan pertambangan berjalan. Saya beberapa kali ngobrol dengan warga di daerah Roko-Roko Raya, rerata yang berusia 30-35 tahun, tidak pernah tahu jenis burung itu lagi,” kata Rustam.

Demikian halnya juga dengan Rusa atau Masyarakat Wawonii menyebutnya dengan Jonga. Dahulu jumlahnya lumayan banyak, tetapi sekira tahun 80-an, dengan semakin banyak penduduk dan pembukaan lahan yang dilakukan oleh Masyarakat, otomatis Jonga tersebut akan mencari lokasi lain yang jauh lebih aman.

Untuk kasus Jonga, imbuh dia, ada juga perburuan yang dilakukan, sehingga populasinya terus berkurang.

Saat ini di beberapa wilayah di Wawonii, masih ada, tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit.

Hal ini juga diakui oleh Rusdin (40 tahun), warga Sukarela Jaya mengakui bahwa saat dia kecil, masih banyak jonga yang berkeliaran di dekat kampung.

Lokasi jonga biasanya berada tidak jauh dari kali Roko-Roko Raya dan sangat dekat dengan jalan utama saat ini. Namun, di era setelah 80-an, jumlahnya makin menipis dan lambat laun, jonga tidak pernah ada lagi di wilayah Roko-Roko Raya.

“Dulu di dekat kali sini, masih banyak alang-alang. Jonga banyak sekali. Lambat laun mulai hilang, karena mulai ada yang buka lahan ke atas ditambah ada juga yang berburu, sehingga saat ini, sudah tidak ada lagi jonga di sini,” jelas dia.

Rustam Kembali menegaskan, sebagai putra daerah Wawonii dan juga sebagai Kepala DLH Kabupaten, dia berharap binatang-binatang langka yang dilindungi tersebut tetap ada dan terpelihara. Namun kenyataannya, binatang-binatang tersebut sudah punah jauh sebelum adanya aktivitas tambang.

“Jadi kalau ada yang bilang, bahwa punahnya karena aktivitas tambang, itu tidak benar. Karena binatang tersebut, sudah tidak ada, atau punah, jauh sebelum adanya kegiatan tambang,” imbuhnya.

Sementara itu, beberapa jenis burung atau binatang lain, masih tetap ada dan bahkan dari hasil penelitian rona awal (base line study), kondisi keanekaragaman jenis flora dan fauna di Pulau Wawonii yang teridentifikasi bervariasi mulai dari kategori rendah dan sedang.

Dari hasil pemantauan rona awal yang dilakukan pada 2021 tersebut misalkan, beberapa jenis kupu-kupu dan capung yang dijumpai masuk dalam kategori yang tidak terancam (least concern dan not evaluated).

Kategori tersebut, sesuai dengan status konservasi yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Kemudian juga untuk mamalia, dari hasil studi tersebut, ditemukan kelelawar dan babi hutan. Kedua mamalia tersebut, populasinya mengalami penurunan dan masuk dalam status hampir terancam (near threatened).

Namun, untuk kasus Babi Hutan, hal tersebut, lebih karena adanya perburuan yang lumayan tinggi di wilayah Roko-Roko Raya atau Wawonii, sebelum adanya aktivitas pertambangan.

Kemudian untuk untuk jenis burung yang dilindungi, ditemukan ada dua jenis burung yang dilindungi di wilayah Wawonii Tenggara yakni Elang Ular Sulawesi dan Serindit Sulawesi.

Secara global, kedua jenis burung tersebut masih stabil. IUCN mengelompok kan kedua jenis tersebut ke dalam kelompok least concern atau kelompok burung yang tidak terancam kepunahan.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *