Golput; Galau dalam Perayaan

Oleh: Suyono Sahmil

“Demokrasi yang sehat selalu punya tanda, kuatnya partisipasi warga negara” (Najwa Shihab)

79 hari lagi, kita akan bercumbu dengan kotak suara. Memadukan segenap rasa untuk menentukan sikap, berkonstribusi secara total dalam sebuah trajectory; menuju penguatan kepemimpinan nasional.

Tepat di hari Rabu, 17 April 2019, kontestasi pemilu akan disudahi dengan pilihan dibilik suara. Sejak saat ini dan beberapa waktu lalu, sejagat Indonesia selalu terisi dengan berbagai kalkulasi peta dukungan kepada kandidat yang dianggap relevan dengan pikiran-pikiran besar, tentang Indonesia.

Prabowo…. Jokowi….

Yel-yel perihal ini, terbentang menyeluruh dari sudut negeri. Masuk dalam pikiran dan terus membakar emosional konstituen. Ada yang bersikap, “sangat” keras atas pilihan terhadap kandidat, ada yang saling hujat, ada yang cukup tenang terhadap pilihan; tidak terbawa emosional dan ada pula yang acuh tahu, memilih untuk tidak menyatakan dukungan bahkan untuk hadir nanti di tempat yang telah disediakan, pun menancapkan pilihan. Kelompok terakhir ini, dilabeli dengan nama Golput.

Ikhtiar Merawat Rasa

Demokrasi yang sedang kita rawat hari ini, sangat difokuskan untuk meraih partisipasi pemilih. Sebab kualitas demokrasi, sejalan dengan besaran partisipasi, dan golput adalah sebuah deviasi yang mencederai besaran partisipasi. Ketika angka golput meninggi, berarti demokrasi sedang tidak sehat. Itu sebabnya, pada pemilu kali ini, angka partisipasi menjadi ukuran menyehatkan demokrasi.

Jika ditelusuri alasan konstituen memilih untuk golput, misalnya; tidak ada kepercayaan terhadap elit politik dan para pemimpin yang sedang berduel, baik di legislatif maupun eksekutif; kekecewaan rakyat terhadap pemerintahan saat ini yang tidak memenuhi janji politiknya. Kebanyakan segmentasi kekecewaan ini berasal dari pendukung presiden yang menang pada Pilpres 2014 lalu.

Ada juga yang golput karena memiliki pertimbangan terhadap kualitas pasangan calon presiden yang diyakini tidak mampu membawa perubahan bagi negara ini ketika terpilih, golput karena tidak benar-benar mengenali profil calon yang akan dipilih. Atau, kemungkinan kelompok yang memilih golput merupakan masyarakat yang menilai agenda politik yang akan berlangsung biasa-biasa saja, mereka menganggap bahwa pemilu mungkin sebuah propaganda “keramaian” yang akan berlalu, mereka bisa saja belum sampai pada suatu noktah, dimana kebijakan negara ditentukan dari sikap dan pilihan yang mereka pilih.

Berdasarkan data, pada pemilu 1999, tingkat partisipasi pemilih mencapai 90 persen lebih, setelahnya, golput selalu melebihi angka 15 persen dari jumlah pemilih pada Pemilu legislatif maupun eksekutif. Pada Pemilu legislatif (Pileg) 2004, jumlah golput mencapai 15,9 persen. Angka itu meningkat pada pemilu presiden putaran pertama dan kedua.

Angka golput saat Pilpres 2004 mencapai 21,8 persen dan 23,4 persen. Pada Pileg 2009, jumlah golput meningkat hingga 29,1 persen. Pada Pilpres tahun yang sama, jumlah pemilih yang tak menggunakan suaranya berjumlah 28,3 persen. Keberadaan golput berlanjut di Pileg 2014, dengan 24,89 persen pemilih masuk kategori ini.

Pada saat Pilpres 2014, angka golput mencapai titik tertinggi yakni 30 persen lebih dari jumlah pemilih. (baca; tirto.id/membedah-potensi-gelombang-golput-di-pilpres-2019-cRYi).

Tagline “Pemilih Berdaulat Negara Kuat” oleh KPU merupakan cara agar gerakan sadar pemilu terus disampaikan kepada masyarakat guna membendung kompleksitas pikiran tentang golput. Tagline ini digeliatkan untuk meletakkan kecintaan terhadap pikiran kebangsaan; terhadap berdaulatnya rakyat dalam gelaran pemilu.

Perayaan Kesadaran

Salah satu indikator kecintaan terhadap bangsa adalah cinta terhadap perayaan demokrasi, dan Pemilu adalah bagian dari perayaan. Hal yang kelak menentukan keberpihakan rasa cinta kita terhadap bangsa.

Kita pun harus mengakui, banyak argumentasi yang akan melintang; bahwa golput merupakan pilihan dan tak dilarang secara hukum. Argumentasi ini akan bergulir dengan berbagai faktor yang kian tak terbendung, apalagi dalam beberapa bulan kedepan, bisa jadi musababnya berasal dari apa yang telah diuraikan sebelumnya.

Tugas penyelenggara harus lebih dikuatkan pada beberapa puluh hari menjelang pencoblosan. Rakyat harus terus dipacu pikirannya untuk “menyukseskan” pemilu, dengan cara-cara yang mengena. Pun sebagai rakyat, harus saling menjinjing, saling memegang pikiran seerat-eratnya untuk bersikap menolak golput.

Meskipun akhirnya Golput memang pilihan, tapi memilih untuk tidak Golput, adalah pilihan terbaik. Legitimasi terhadap pemilu terukur dari sejauh mana sebaran partisipasi pemilih.

Dengan memilih Golput, itu penanda kita tidak mencintai negara, penanda kita tidak rasional dalam bernegara, dan penanda kita tidak peka terhadap upaya melegitimasi kepemimpinan daerah dan kepemimpinan nasional.

“Saya ajak jangan Golput, memilih itu hadiah konstitusi” (Mohammad Mahfud MD, Mantan Ketua MK ).(***)

Penulis: Pengurus Koalisi Pemuda Indonesia (KAPITA) Maluku Utara