Ini Dampak Jika Daerah Hanya Andalkan Sektor Pertambangan

PENASULTRA.COM, KENDARI – Sektor pertambangan merupakan salah satu sektor yang menopang pertumbuhan ekonomi di daerah. Namun, hanya mengandalkan sektor pertambangan juga akan memberi dampak berbahaya terhadap masa depan perekonomian di daerah.

Pengamat Ekonomi Sulawesi Tenggara (Sultra), Dr. Syamsir Nur mengatakan, tidak ada daerah maupun negara yang membaik kesejahteraannya jika hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi di sektor pertambangan. Justru sebaliknya. Setiap daerah yang kontribusi sektor pertambangannya tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi, maka kemiskinan juga akan tinggi.

“Contoh, NTB sekarang pertumbuhan ekonominya mines, karena hanya mengandalkan pertambangan. Sehingga kalau kita (Sultra) hanya mengandalkan sektor pertambangan, ke depan, ada kemungkinan kita juga akan menghadapi persoalan yang sama,” ungkap Syamsir usai kegiatan forum koordinasi ekonomi dan keuangan regional yang diselenggarakan KPw BI Sultra, Rabu 29 Agustus 2018.

Menurutnya, ada dua faktor eksternal yang dianggap kuat yang mampu mengguncang ekonomi di sektor pertambangan Sultra, yakni perubahan kebijakan negara yang membutuhkan ekspor dan faktor harga yang berfluktuatif, dan Sultra tidak mampu mengintervensi itu. Misalkan negara mitra dagang mengambil kebijakan relaksasi kebijakan ekspor-impor, menurutnya, itu bahaya.

“Kekhawatirannya kita ini, kalau pertumbuhan ekonomi kita terus didorong dari sektor pertambangan, itu berbahaya,” tuturnya.

Ia juga menghimbau agar pemerintah mencoba merespon dengan mendorong sektor potensial lainnya agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga. Misalnya, sektor pertanian.

Ia menerangkan, dari sisi suplai, pertumbuhan ekonomi Sultra saat ini ditopang dari sektor pertanian sebesar 23 persen, lalu pertambangan 21 persen. Sehingga ia menekankan pengembangan ekspor yang ada di basis itu, yakni sektor pertanian, sektor perkebunan dan sektor perikanan.

Dari sisi pengeluaran, sambung Syamsir, pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran itu disumbangkan oleh konsumsi rumah tangga yaitu 49 persen, sehingga daya beli masyarakat juga harus dijaga.

“Kalau daya beli masyarakat juga menurun, habislah kita,” beber ayah dari dua orang putri ini.

Sementara itu, lanjutnya, komponen ekspor hanya berkontribusi 11 persen terhadap pertumbuhan ekonomi di Sultra. Kemudian ada sebesar 86 persen komponen ekspor Sultra melalui sektor pertambangan, yakni terdiri dari 67 persen ekspor ore nikel dan 20 persen ekspor nikel atau hasil olahan.

“Kalau suatu waktu sektor pertambangan mati, habis kita. Nol. Sekarang saja neraca defisit transaksi berjalannya kita itu negatif,” tuturnya.

Sehingga dosen Ekonomi Pembangunan UHO ini menghimbau agar ke depan perlu dilakukan reorientasi dan tindakan preventif terhadap ancaman gejolak ekonomi akibat mengandalkan sektor pertambangan.

Selain itu diharuskan adanya penyamaan komitmen, baik komitmen secara regulasi maupun komitmen dari semua pihak bahwa memang betul kita harus mengandalkan pertanian, perikanan dan perkebunan.

“Kembali ke alam, kita perikanan oke, pariwisata juga luar biasa. Karena pariwisata itu kalau kita kembangkan mampu menciptakan lapangan kerja sampai ke hilir. Devisa juga masuk,” kata Syamsir.

Syamsir menambahkan, pemerintah daerah juga perlu melakukan pengembangan sentra-sentra ekonomi produktif yang kemudian dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.

“Agar keberpihakan pemerintah dari segi penganggaran sampai di program itu ada. Tapi kalau tidak dituang kedalam dokumen perencanaan, itu tidak bisa,” tandasnya.(b)

Penulis: La Ode Muh. Faisal
Editor: Ridho Achmed

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *