Jumlah investor saham di Sulawesi Tenggara (Sultra) meningkat 77 persen. Tiga kabupaten/kota yakni Kendari, Kolaka dan Baubau jadi posisi tiga teratas.
Kepala Kantor Perwakilan (KPw) BEI Sultra, Ricky mengatakan sesuai data Agustus 2021 (catur wulan II 2021), ada penambahan investor saham baru sebanyak 4.703 atau meningkat 77 persen dibanding 2020.
Untuk Kota Kendari presentasenya yakni sebesar 47 persen atau sebanyak 5.086 investor saham. Kemudian disusul Kabupaten Kolaka sebesar 18 persen atau 1.959 investor. Lalu Baubau sebesar 11 persen atau 1.165 investor saham.
“2020 sebanyak 6.105 menjadi 10.808 investor di Agustus 2021,” kata Ricky, Selasa (28/9/2021) melalui zoom meeting bersama media.
Selain tiga daerah itu, Kabupaten Muna, Konawe dan Konawe Selatan juga masing-masing memberikan kontribusi pada peningkatan jumlah investor ini yakni 7 persen atau 777 investor di Muna, 6 persen atau 605 investor di Konawe dan 5 persen atau 602 investor di Konsel. Sisanya 6 persen atau 614 investor tersebar di 11 Kabupaten lainnya.
Meningkatnya jumlah investor di daerah Sultra jelas menjadi angin segar bagi daerah ini. Sebab, pemerintah beranggapan jika masuknya investor ke suatu daerah akan mampu memajukan daerah tersebut dan akan mampu memperbaiki perekonomian daerah, bahkan negara yang runtuh selama masa pandemi. Sebab, para investor akan menyuntikkan dana atau memberikan modal besar kepada daerah tersebut.
Namun, mampukah investasi menjadi solusi kandasnya perekonomian negara ini? Jika ditelisik, problem perekonomian bukan hanya terletak pada modal/dana untuk menjalankan roda perekonomian sebuah negara. Namun, harus ada kecakapan antar para pemangku kekuasan guna menjalankan amanah kepemimpinan mereka, serta ketanguhan sistem yang diemban oleh negara tersebut sebagai rujukan pemulihan ekonomi.
Kita ketahui jika negara kita telah mengemban sistem kapitalisme. Dimana sistem ini menganggap jika investasi merupakan salah satu solusi terpuruknya perekonomian negara dan mengentaskan masalah ekonomi rakyat kecil.
Namun, hal tersebut seperti hanya angan-angan semata. Sebab, alih-alih mengurai masalah ekonomi rakyat, yang terjadi justru menciptakan jurang lebar antara pemilik modal dan rakyat. Belum lagi kebijakan ala kapitalisme yang mengizinkan para investor untuk menguasai harta rakyat, seperti sumber daya alam berupa tambang, hutan, aset-aset strategis dan lainnya.
Padahal semua itu haram untuk diserahkan pada asing/swasta. Dengan ini terlihat jika para pemilik modal hidup bergelimang harta, sedangkan rakyat harus bersusah payah mengais rezeki untuk memenuhi kehidupannya.
Kemudian, kita ketahui jika dalam sistem kapitalisme semua yang dilakukan tidak akan diberikan secara cuma-cuma “no free lunch”, semua jelas harus menguntungkan para investor atau pemilik modal. Investasi model ini berpotensi besar akan membawa negara jatuh terperosok dalam hegemoni penjajah ekonomi, dan terjerat dalam utang berkedok investasi. Hal ini jelas akan mengerus kemandirian bangsa, dan lambat laun negara akan dikendalikan oleh para pemilik modal.
Sehingga, para penguasa seyogianya harus berhati-hati dengan adanya investor-investor yang masuk ke dalam negeri. Tidak begitu saja membuka celah bagi para investor untuk berinvestasi di sektor yang terkategori kepemilikan umum.
Kepemilikan umum sepenuhnya diatur oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada swasta, baik dalam bentuk konsesi ataupun privatisasi. Serta, berusaha mengelola sendiri harta rakyat berupa SDA yang melimpah. Sehingga, Indonesia bisa menjalankan roda perekonomian negeri dengan baik dari hasil SDA tersebut.
Sebagaimana yang dicontohkan oleh negara Islam yang memaksimalkan pemasukan dari pos-pos pendapatan negara berupa pemasukan tetap yakni fai, ganimah, dan jizyah. Serta pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara yakni anfal, kharaj, usyur, khumus, rikaz dan tambang.
Kemudian jika negara harus melakukan utang untuk memulihkan ekonomi, maka mekanisme utang harus sesuai syara, negara tidak boleh tunduk pada syarat-syarat yang didiktekan negara kreditur. Sebab, jika negara pasrah dengan negara kreditur maka tidak menutup kemungkinan jika hal tersebut merupaka alat penjajahan ekonomi.
Dengan sistem ekonomi, maka dipastikan jika negara akan mampu mengelola perekonomian negara dengan baik, bahkan mampu mensejahterakan rakyat. Sebagaimana pada masa kejayaan Islam yang tertoreh dalam sejarah. Islam mampu menanggui dan mensejahterakan rakyatnya dengan baik, dan mengatur perekonomiannya dengan sempurna. Wallahu A’alam Bisshawab
Penulis adalah Pemerhati Masalah Publik