“Pernikahan bagaikan melihat daun yang jatuh di musim gugur. Selalu berubah dan makin indah.”
Kalimat yang saya kutip di atas, dikategorikan oleh fimela.com sebagai salah satu kata mutiara pernikahan. Tapi, setiap kalimat yang tertuang akan menjadi kalimat yang tidak bertuan dan siapapun bisa menjadi tuan baru untuk kalimat tersebut. Jadi menurut saya, kalimat tersebut diartikan sebagai kalimat yang memberikan semangat, agar kita tidak terbuai dengan pernikahan yang kita alami sekarang.
Tidak perlu takut, perceraian selalu dekat dengan kita. Sebab kegagalan atau perceraian sudah menjadi pandemi di Indonesia. Simak data yang disajikan oleh Nibras, Shinta, dan Maya pada penelitian tentang “Cerai Gugat: Telaah Penyebab Perceraian Pada Keluarga di Indonesia” pada tahun 2021.
Pada penelitian mereka, ada data dari Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung yang disuguhkan. Data tersebut menyebutkan perceraian di Indonesia pada tahun 2018 terjadi sebanyak 588.266 kasus dan tahun selanjutnya terjadi sebanyak 355.800 kasus perceraian.
Angka yang turun pada tahun 2019 dalam penelitian Nibras dkk, bukan berarti menunjukkan tingkat perceraian mengalami penurunan. Namun 355.800 kasus tersebut merupakan data kasus perceraian yang di gugat oleh istri. Hal ini tidak diartikan bahwa tidak ada kasus perceraian yang digugat oleh suami atau saling menggugat di tahun 2019.
Data-data yang disajikan oleh mereka, mungkin sangat tinggi, berbeda yang disajikan oleh Statistik Indonesia yang saya ambil dari katadata.co.id. Pada tahun 2018 jumlah perceraian di bawah angkah 420.000 kasus dan tahun 2019 berada di bawah angkat 440.000 kasus.
Lanjutnya, Statistik Indonesia mencatat bahwa tahun 2020 mengalami penurunan kasus perceraian yakni 291.677 kasus. Namun pada tahun berikutnya-tahun 2021, perceraian mengalami peningkatan 53,50%. Jadi mencapai 447.743 kasus.
Apakah Anda masih yakin bahwa tidak akan terjadi perceraian dipernikahan Anda? Atau Anda tidak yakin, kalau salah satu angka yang disajikan oleh Statistik Indonesia atau Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung adalah kasus perceraian Anda, suatu saat nanti.
Dalilnya, segala kemungkinan bisa terjadi dipernikahan Anda. Baik itu kelanggengan atau berhenti di jalan. Horornya, kemungkinan-kemungkinan itu bisa menyerang dimana saja dan muncul dari arah mana saja. Tulisan ini bukanlah suatu doa untuk Anda yang membaca. Tapi saya ingin memberikan alternatif pemikiran yang mungkin masih tabu dalam kehidupan Anda. Khususnya, di negeri entah berantah.
Mari kita berpikir sejenak, semenjak 2 sejoli resmi menjadi pasutri (pasangan suami istri), baik secara agama maupun secara hukum negara. Apakah dalam sisa hidup, mereka mau menerima begitu saja kebenaran bahwa perceraian tidak akan mewarnai kehidupan mereka? Jika mereka masih membenarkan keinginan tersebut, maka keyakinan itu merupakan waham.
Waham secara umum diartikan sebagai keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah. Ini diartikan bahwa kesetiaan pasangan dimasa depan, bukanlah realita yang harus dipercayai, karena tidak memiliki bukti untuk membuktikannya. Percaya atau tidak. Silakan membuktikannya. Tapi harus diakui, waham pernikahan belum pernah dirumuskan oleh para ahli. Tapi bukan berarti, konsep waham ini tidak akan tercipta, suatu saat nanti.
Jadi, akibat dari waham ini, menyadarkan kita bahwa sikap skeptis terhadap siapa yang akan mendampingi kita diakhir hidup adalah solusi yang terbaik. Solusi ini bukan dimaksudkan untuk menghilangkan kesetiaan atapun cinta kepada pasangan kita yang sekarang. Namun, sikap ini mengajari kita untuk mempersiapkan diri kepada peristiwa-peristiwa yang kemungkinan terjadi.
Tulisan ini juga tidak mengharapkan sikap optimis itu dihilangkan. Karena sikap itu sudah ada ketika kita melambungkan cita-cita kita setinggi langit, dimasa kita kecil. Walaupun, sekarang yang diraih sangat jauh dari langit. Tapi disisi lain, kita menyadari dan menerima bahwa apa yang kita dapat sekarang adalah jawaban masa depan dan cita-cita yang lalu hanya sebuah harapan.
Sayang, cita-cita itu tidak seberat pernikahan, katanya. Sehingga optimis bagaikan kaca mata kuda yang melihat dia adalah satu-satunya yang bisa bersama mengarungi kehidupan ini. Kemudian, hari yang tidak diharapkan datang bekas lipstik yang menenggelamkannya dalam samudera perceraian. Maka saat itulah, kegelisahan, stres, depresi hingga bunuh diri mulai memeluk kita dalam lautan hitam. Namun, dari jarak yang jauh, terlihat kapal pernikahan tenggelam sedikit demi sedikit.
Berikut adalah sajian yang memaparkan efek perceraian bagi laki-laki maupun wanita. Pertama, perceraian dapat mengakibatkan divorce stress syndrome. Tulisan di health.detik.com menjelaskan bahwa sindrom ini merupakan gangguan mental yang mengakibatkan serangan panik, insomnia, gangguan sakit punggung, atau penurunan berat badan drastis; Kedua, kardiovaskuler merupakan penyakit yang bisa menyerang orang-orang yang mengalami perceraian, terutama kaum wanita yang rentan diserang. Kardiovaskuler biasanya disebabkan adanya gangguan pada jantung dan pembuluh darah, hal ini saya kutip dari alodokter.com.
Sepanjang pencarian saya, kebanyakan info dampak perceraian bagi sepasang jenis kelamin masih minim diteliti di Indonesia. Kebanyakan yang saya temukan adalah hubungan perceraian dan anak atau perceraian dengan harta. Entalah, kenapa bisa begitu atau ini memang keterbatasan saya mencari.
Tapi, pada akhirnya kesiapan kita dalam menghadapi perceraian bukanlah disaat perceraian sudah berdiri di hadapan kita. Tapi, kesiapan kita menghadapi perceraian ketika kita mulai berniat untuk menikahi pasangan kita.
Assalamualaikum
Penulis adalah Aktivis Kita So-Sial