PENASULTRA.COM, KOLAKA – Panitia Khusus (Pansus) penertiban pertambangan bentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Tenggara (Sultra) terus bekerja mengumpulkan informasi dan data lapangan terkait eksistensi dan legalitas aktivitas perusahaan tambang yang ada di Sultra.
Usai melakukan inspeksi ke PT Ceria Nugraha Indotama (CNI) pada Jumat 2 November 2018 lalu, dua anggota Pansus DPRD Sultra yakni La Ode Mutanafas dan Abu Bakar Lagu kembali bergerak, menggelar kunjungan serupa ke wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) PT Babarina Putra Sulung (BPS), Kamis 15 November 2018.
Hasilnya, kedua legislator yang duduk di Komisi III DPRD Sultra itu menemukan sejumlah kejanggalan di areal konsesi WIUP yang beroperasi di Desa Muara Lapao-pao, Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka tersebut.
Di antaranya, PT BPS ternyata belum memiliki terminal khusus (tersus), dugaan perambahan kawasan hutan produksi terbatas (HPT) serta dugaan penyalahgunaan IUP batuan menjadi pengolahan mineral mentah hasil bumi berupa ore nikel yang digarap di dalam WIUP nya.
Mutanafas mengungkapkan, pansus sebelum turun ke lokasi telah mengantongi informasi awal dan bukti berupa gambar aktivitas pemuatan ore nikel ke kapal tongkang. Aktivitas tersebut diduga dilakukan dalam kawasan IUP PT Babarina.
“Untuk akurasi hasil informasi yang kami terima dan temuan kami langsung pada saat kunjungan kerja, pastilah kami akan konfrontir. Karena dilain sisi, kami juga memiliki visual tentang aktivitas PT Babarina yang melakukan pemuatan ore nikel,” kata Mutanafas di Kolaka, Kamis 15 November 2018 malam.
Diketahui sebelumnya, Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) PT BPS telah disetujui selama setahun sejak Maret 2018 sebesar 45 ribu ton dengan luasan dua hektar.
Namun hingga saat ini pemilik IUP batuan seluas 89 hektar yang terdiri dari areal penggunakan lain (APL) dan hutan produksi terbatas (HPT) sesuai SK Nomor 08/DPM-PTSP/I/2018 tertanggal 9 Januari 2018 tersebut belum memiliki tersus apalagi rekomendasi dari gubernur Sultra.
Direktur PT BPS, Usmaluddin ketika dikonfirmasi di Kolaka Kamis 15 November 2018 ternyata mempunyai alasan sendiri soal dermaga tempat sandaran kapal tongkang itu.
Kata dia, sebelum adanya surat pemberhentian aktivitas sementara yang dikeluarkan oleh Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra kepada pihaknya, PT BPS masih leluasa menggunakan jetty (pelabuhan khusus) milik PT CNI yang kebetulan berada berdampingan WIUP.
“Kami menggunakan dermaga jetty milik PT Ceria karena jetty mereka masuk dalam IUP kami (proyek karya),” kata Usmaluddin di kediamannya.
Ia mengakui memang sudah dua bulan terakhir PT BPS tengah menunggu turunnya surat Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Akan tetapi, Usmaluddin menolak jika PT BPS disebut melakukan penambangan nikel dalam WIUP, bukan batu.
“Itu (penambangan nikel) isu dari teman-teman mahasiswa dan LSM. Itu tidak benar karena di sini (PT BPS) IUP nya batu. Di lokasi itu kan ada dua IUP temasuk Ceria. Lokasinya jetty masuk di wilayahnya BPS. Makanya banyak tumpukan (ore). Mungkin teman-teman menganggap punyanya BPS karena di sana (jetty) banyak tumpukan. Padahal semua itu milik Ceria,” bebernya.
PT BPS di warning Dinas ESDM Sultra lantaran adanya dugaan penyalahgunaan IUP yang berlangsung sejak April hingga Oktober 2018. Saat ini, kata Usmaluddin, sembari menunggu keluarnya IPPKH, pihaknya melakukan perbaikan dan pembenahan dasar di WIUP.
Meski mengetahui PT BPS telah melunasi jaminan reklamasi (Jamrek) atas IUP batuan senilai Rp500 juta untuk durasi lima tahun ke depan, sebagai anggota Pansus dan menjalankan fungsi pengawasan yang melekat pada dirinya, La Ode Mutanafas memastikan ia tidak lantas diam dengan temuan yang sudah dikantonginya.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menegaskan, PT BPS, PT CNI serta instansi terkait lainnya seperti, Syahbandar, Dinas ESDM, Polda Sultra dan Dinas Kehutanan dipastikan bakal segera diundang rapat dengar pendapat (RDP).
“Dugaan ini akan kami konfrontir termasuk dinas-dinas terkait kami akan hadirkan juga supaya ini bisa clear. Karena sangat disayangkan kalau memang ada semacam teguran keras yang kami dengar sudah disampaikan Dinas ESDM berupa pemberhentian sementara tapi itu tidak diindahkan,” tegas Mutanafas.
Konfrontasi untuk mencari pembenaran ke sejumlah pihak ini menurut dia, memang harus dilakukan guna menghasilkan rekomendasi akhir pansus yang bersifat objektif sesuai dengan fakfa di lapangan dan sesuai hasil kajian serta telaah instansi teknis.
“Apabila setelah dikonfrontir dan terbukti sesuai hasil kajian, maka sesuai undang-undang itu bisa dipidana,” tukasnya.(a)
Penulis: Ridho Achmed