Oleh: Moksa
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ialah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan yang merupakan perwakilan rakyat. DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.
Dalam konsep Trias Politika, DPR berperan sebagai lembaga legislatif yang berfungsi untuk membuat undang-undang dan mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah sebagai lembaga eksekutif.
Sejauh ini, hampir genap 5 tahun kita bernafas dengan wakil rakyat. Waktu ini terhitung sejak kita berhasil melakukan suksesi pemilihan legistlatif secara damai dalam tubuh DOB. Dan sejak pelantikan pada tanggal 16 Februari 2015 silam semua orang menaruh harapan kepada mereka.
Memang benar ekspektasi demikian tidaklah berlebihan jika ditakar dari sudut konsep Trias Politika karena lembaga perwakilan merupakan tapuk yang paling vital sebagai unsur penyelenggara pemerintah. Demikian tandasan UUD 1945 pasal 18 ayat 3 kemudian diatur lebih lanjut di dalam UU No. 17 Tahun 2014.
Secara komprehensif lembaga legistlatif menjadi representasi sehari-hari dari kedaulatan rakyat, kemudian akan mewakili rakyat dalam merumuskan berbagai rencana kebijakan daerah. Disamping itu, lembaga legistlatif juga sebagai lokomotif merangkul semua kepentingan masyarakat menengah kebawah, serta menjadi mata dan telinga rakyat dalam mengawasi gerak-gerik penguasa terpilih di semua level pemerintahan hingga memastikan arah daerah itu mau kemana.
Namun realitas rill wakil rakyat kita sampai hari ini tidak pernah berbuat demikian alih-alih merumuskan regulasi untuk mengatur roda pemerintahan yang ada, malah menakut-nakuti rakyat dengan sikap elitisme. Seringkali mereka muncul bukan apa yang diharapkan bicaranya kadang blak-blakan, sembrono dan hampir tak ada arti.
Soal pemberdayaan manusia lewat pendidikan bermutu atau problem kepemilikan tanah yang terancam oleh ekspansi pembangunan tak menjadi gagasan prioritas perjuangan dengan sungguh-sungguh, mereka hanya sibuk melakukan study banding ke berbagai daerah lalu hasilnya nihil kecuali mengeksploitasi APBD secara besar-besaran.
Inilah yang membuat moral lembaga sekelas legistlatif rusak dimata pubulik, khazanah perpolitikan yang mereka tandaskan berlangsung tanpa ide progresif, berwajah personal yang mengedepankan kepentingan sempit, keputusan politik tak bermuara pada hajat publik tapi persekongkolan dan kesepakatan keji kalau pun mereka peduli pada kondisi masyarakat “itu bukan berlandas pada nurani mereka” melainkan intervensi partai dan komoditi politik yang ujungnya berimbas pada status, kedudukan, dan kekayaan mereka sendiri.
Untuk itu, sekali lagi saya tegaskan mari sejenak merefleksi eksistensi wakil rakyat selama berkiprah di jazirah yang kita cintai ini. Apakah pernah sekali saja mereka menampilkan integritas berlegistlatifnya, padahal secara ideal bangunan demokrasi menyandarkan kekuasaan parlemen menjadi legitimasi rakyat untuk membuka kesempatan mengakomodir berbagai lapisan masyarakat.
Pertanyaanya dimana Tupoksi ini??? lalu untuk apa lagi kita percaya pada wakil-wakil yang brengsek seperti mereka yang pernah berkiprah ditapuk legistlatif sebelumnya.
Dalam memasuki tahun politik, massa harus dibangunkan diikuti oleh kebenaran yang dikabarkan untuk menuntut sesuatu yang lebih adil bahwa calon anggota legistlatifnya harus mempuyai pikiran besar dan punya tanggung jawab konstitusional dan tanggung jawab sosial serta semangat berlegistlatifnya murni semata-mata melayani tuannya “rakyat” karena selama ini publik telah merasakan bahwa ada banyak oknum anggota legistlatif yang tidak mempunyai integritas dan tidak mampu memahami pilar legistlatif itu sendiri.
Demikian fakta ini dapat kita jadikan dalil yang kuat untuk memblack-list semua calon legistlatif yang hanya menjadikam tapuk legistlatif sebatas panggung drama dan mengumbar janji. Sebab, ungkapan mereka begitu dekat dengan kita keculi memasuki tahun politik saja yang dimotivasi oleh kepentingan kekuasaan dan keinginan sesuai dengan nalar keserakahan atau persolan perut mereka sendiri.
Fakta ini pentingalah jika dingat bahwa peran anggota legistlatif selalu bersikap “kolot” pada kita semua. Toh, jika kita lihat dari perspektif ekonomi-politik, realitas faktualnya justru membuktikan bahwa anggota legistlatif hanya menjadikan tapuk itu sebagai tempat mengais keuntungan, disisi lainnya anggota legistlatif tak ubahnya seperti pasukan play group yang recehan tak mempunyai moral politik.(***)
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar