Komplikasi Penerapan Hukum Kasus Djoko Tjandra

Oleh: Muhammad Salman Saliha, S.H.

Djoko Tjandra, pria kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat 27 Agustus 1950 itu berhasil menyita perhatian publik belakangan ini. Di beberapa acara televisi juga turut membahas sosok pengusaha tersebut dengan beberapa kasus pidana yang menyandungnya.Sejak ditangkap di Malaysia dan tiba di Indonesia pada 30 Juli 2020 hingga kini Djoko Tjandra ditetapkan sebagai tersangka pada tiga kasus berbeda, diantaranya kasus surat jalan palsu, dugaan suap terkait penghapusan red notice dan dugaan suap terkait kepengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA).Sebelum ditetapkan sebagai tersangka pada tiga kasus tersebut, Djoko Tjandrajuga berstatus buron padakasus pidana lainnya berupa korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali.

Pemilik nama asli Tjan Kok Hui tersebut awalnya telah mendapat putusan lepas dari segala tuntutan pada tahun 2000dalam kasus korupsi Bank Balioleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim yang memeriksa perkara tersebut menilai pokok perkara pada kasus  tersebut bukanlah perkara pidana, melainkan perkara perdata. Dengan alasan itulah hakim memutus Djoko Tjandra lepas dari segala tuntutan yang kemudian atas putusan tersebut diajukan Peninjauan Kembali (PK) oleh pihak Kejaksaan.Pada tahun 2009, saat proses pemeriksaan pada tahap PK, di tengah jalan Djoko Tjandra melarikan diri tepat sehari sebelum putusan PK dibacakan oleh hakim MA. Dalam butirke 2 (dua) putusan bernomor 12 PK/Pid.sus/2009a quo menyatakan untuk menjatuhkan pidana kepada Djoko Tjandra dengan pidana penjara selama 2(dua) tahun. Berangkat dari fakta yang diuraikan tersebut di antaranya tentangjaksa yang mengajukan permohonan PK, putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang diPKkan, putusan PK yang lebih tinggi dari putusan yang diajukan untuk PK, sah tidaknya putusan PK, hingga tentang pelaksanaan putusan PK tersebut menghadirkan tanda tanya tentang penerapan hukum pada mantan Direktur PT. Era Giat Prima tersebut.

Pengajuan PK oleh Jaksa

Pengajuan PK oleh Jaksa kepada MA pada kasus yang dimaksud memunculkan tanda tanya besar. Atas dasar apa pihak Kejaksaan mengajukan permohonan PK dan mengapa MA turut mengaminkan pengajuan tersebut bahkan sampai menuangkannya dalam sebuah putusan.Jika merujuk pada BAB XVIII Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang Upaya Hukum Luar Biasa, pada pasal 263 hanya menerangkan pengajuan PK dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Selebihnya pasal-pasal dalam BAB tersebut tidak memuat satu ketentuan pun yang membolehkan jaksa untuk mengajukan upaya hukum luar biasa atau PK. Artinya KUHAP tidak mengakomodir wewenangjaksa untuk mengajukan PK. Lantas, atas kepastian hukum apajaksa mengajukan permohonan PK?Jika bersandar pada ketentuan yang diatur dalam KUHAP, tentu PK yang diajukan oleh jaksa yang bersangkutan dapat dianggap sebagai tindakan inkonstitusional.

Menjawab pertanyaan  tentang diterimanya perkara oleh hakim MA, pada dasarnya hakim memang dilarang untuk menolak sebuah perkara karena hakim dianggap mengetahui semua hukum. Asas tersebut dikenal dengan adagium latin Ius Coria Novit, dan juga dipertegas dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun, tentang PK pada ketentuan pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAPa quo memberikan kewenangan kepada MA untuk menolak permintaan PK. Selain itu, menelisik bentuk putusan yang diajukan untuk dilakukan PK adalah putusan lepas dari segala tuntutanyang hal ini dapat menjadi alasanpenolakan PK dan selanjutnya dituangkanmelalui penetapan MA.Secara eksplisit diterangkan dalam KUHAP bahwa putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan tidak dapat diPKkan sesuai ketentuan Pasal 263 ayat (1).Anehnya putusan PK oleh MA pada nomor putusan 12 PK/Pid.sus/2009 mengabulkan permohonan PK Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Putusan MA

Menyoal tentang diterima dan dapat diperiksanya permintaan PK ada beberapa ketentuan yang harus diterapkan. Dalam hal MA membatalkan putusan yang dimintakan PK hanya dapat menjatuhkan hukuman berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan tidak dapat menerima tuntutan Penuntut Umum dan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 266 ayat (2) huruf b. Dalam putusan MA yang dibacakan pada tanggal 11 Juni 2009 tepatnya pada butir 2 (dua) amar putusan menyebutkan “menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun”. Dalam kasus ini, putusan yang dimintakan PK adalah putusan lepas dari segala tuntutan hukum.Bagaimana mungkin MA menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun terhadap terpidana yang sebelumnya sudah dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum? Yang dengan kata lain putusan PK tersebut lebih berat dari putusan yang diPKkan.

Masih seputar putusan MA, namun kali ini penulis akan membahas ketidak cermatan pihak MA dalam menuangkan sebuah putusan ditinjau dari syarat formil sesuai ketentuan KUHAP.Dalam putusan hasil PK kasus Djoko Tjandra pada butir ke 2 (dua) jelas menyebutkan penjatuhan pidana penjara selama dua tahun kepada pria 71 tahun itu.Namun jika dicermati, dalam putusan tersebut tidak ada perintah supaya ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan layaknya putusan pada umunya. Sesuai ketentuan pasal 197 ayat (1) KUHAPsurat putusan harus memuat beberapa hal yang salah satunya dijelaskan pada huruf k yang menyebutkan perintah supaya ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Selanjutnya pada ayat (2) pasal 197 KUHAP aquo menjelaskan jika tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,h,j,k dan l mengakibatkan putusan batal demi hukum.Dalam hal ini jika merujuk pada ketentuan KUHAP, putusan MA tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum karena tidak memuat syarat yang diperintahkan oleh Undang-undang. Seperti lirik lagu Tommy J Pisa, ini salah siapa ini dosa siapa sampai ada kelalaian dalam penulisan surat putusan. Apakah salah notulisnya atau salah hakim yang kurang cermat pada saat membaca putusannya?Entahlah.Untuk diketahui, dalam tataran teori dan asas hukum ada adagium latin berbunyiResjudicata Pro Veritate Habetur yang menyatakan bahwa putusan hakim harus dianggap benar. Tapibeda soal dalam kasus ini.

Lanjut. Mungkin setelah membaca uraian di atas akan terbesit dingatan kalau Pasal 197 ayat (2) KUHAP yang dimaksud sudah dibatalkan oleh MK melalui putusan nomor 69/PUU-X/2012 dimana Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 197 ayat (2) huruf k inkonstitusional bersyarat bertentangan dengan UUD 1945 apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomo 8 Tahun 1981 (KUHAP) mengakibatkan putusan batal demi hukum. Oleh karena pembatalan Pasal 197 ayat (2) KUHAP oleh MK terjadi pada tahun 2012, maka serta merta putusan MK tersebut tidak dapat diterapkan pada putusan PK oleh MA terhadap Djoko Tjandra karena putusan PK oleh MA terhadapnya terjadi pada tahun 2009 sehingga berlaku prinsip non-retroaktif bahwa hukum tidak boleh berlaku surut.

Pelaksanaan putusan MA

Pelbagai pertanyaan di atas belum sampai pada bagian akhirnya.Masih ada lagi.Masih tentang putusan MA.Alinea ini akanmembahas terkait pelaksanaan putusannya. Dalam asumsi jika putusan tersebut tidak batal demi hukum, maka jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan harus megirim Djoko Tjandra ke tempat peristirahatan sementaranya di Lembaga Pemasyarakatan.Sayangnya, sebelum pembacaan putusan, Djoko Tjandra melarikan diri ke luar negeri.Artinya putusan tersebut belum dilaksanakan, dalam hal ini jaksa masih on the right track.Namun bagaimana jika asumsinya dibalik dengan anggapan putusan yang dimaksud batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat formil putusan sesuai ketentuan KUHAP?Seperti ulasan sebelumnya, karena terpidana melarikan diri, maka putusan tersebut belum dilaksanakan.Artinya jaksa juga masih dalam posisi yang benar.

Lebih jauh. Jika benar putusan tersebut batal demi hukum dan terpidana tidak dalam status melarikan diri, apa yang harus dilakukan oleh jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan? Ketika menjalankan putusan yang sah secara hukum, jaksa dianggap menjalankan perintah undang-undang.Lain cerita bila jaksa mengeksekusi putusan yang batal demi hukum.Prof. Yusril dalam kapasistasnya sebagai ahli hukum berkomentar bahwa putusan batal demi hukum yang dimaksud pasal 197 ayat (2) KUHAP adalah putusan yang sejak semula harus dianggap tidak ada dan tidak memiliki nilai hukum.Dalam hal ini, jika putusan yang dimaksud dianggap tidak ada dan jaksa tetap melakukan eksekusi maka jaksa secara jelas melanggar hukum.Untuk itu kecermatan jaksa juga dibutuhkan agarjeli melihat suatu putusan apakah dapat dilaksanakan atau tidak sebelum mengeksekusinya.

Penutup

Tulisan ini hadir bukan untuk membela seorang koruptor. Seseorang adalah koruptor selama dapat dibuktikan melalui proses pemeriksaan hukum yang benar dan berkepastian. Sebagai akademisi yang bergelut di dunia hukum tentunya penulis memiliki kewajiban moril untuk berpendapat jika menganggap penerapan hukum sudah tidak pada relnya.Uraian ini hanya sekedar legal opiniondari seseorang yang masih dangkal secara keilmuan. Tidak menutup kemungkinan akanada pula pendapat yang tidak senadadengan tulisan yang dipaparkan di atas. Seperti pepatah hukum; jika dua orang hukum bertemu maka akan lahir tiga pendapat hukum. Mengutip juga yang pernah dikatakan guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Prof. Eddy,yang menyatakan bahwa hukum adalah seni interpretasi dan fakta adalah netral, tergantung siapa yang membacanya.Seperti itulah hukum.Selalu dikelilingi pendapat-pendapat.

Penulis merupakan Alumni Fakultas Hukum Universitas Janabadra juga Ketua Asrama Mahasiswa Muna Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *