Menuntut Transparansi Pengelolaan Dana Jamrek dan Pasca Tambang Di Sultra

Oleh: Asrul Rahmani

Persoalan seputar reklamasi lahan tambang masih menjadi pekerjaan rumah Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Mulai dari belum sesuainya angka dana jaminan reklamasi (Jamrek) dan pasca tambang yang disetorkan perusahaan pertambangan, hingga masih adanya lubang-lubang bekas tambang yang ditinggalkan perusahaan tanpa direklamasi.

Padahal, dalam Peraturan Mentri Nomor 7 Tahun 2014 tentang reklamasi dan pascatambang menekankan, perusahaan yang melakukan eksplorasi wajib menyerahkan rencana reklamasi dan dana Jamrek dan pasca tambang sebagai jaminan perbaikan lingkungan atas lahan yang terganggu akibat aktivitas eksplorasi.

Dana Jamrek ditempatkan di bank pemerintah atas nama pemegang IUP eksplorasi bersangkutan. Sedangkan dana pasca tambang disimpan dalam bentuk rekening bersama dengan pemerintah, deposito berjangka, bank garansi yang diterbitkan oleh bank pemerintah, atau dalam bentuk cadangan akuntansi.

Perusahaan yang memegang IUP eksploitasi wajib menyerahkan rencana reklamasi sesuai dengan jangka waktu lima tahun. Kegiatan pasca tambang, dilakukan setelah kegiatan pertambangan selesai, yang terdiri dari reklamasi, pemeliharaan reklamasi, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, dan pemantauan.

Namun faktanya, dari 393 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total luas lahan produksi sekitar 69 ribu hektar tercatat di Dinas ESDM, belum ada satu pun aktivitas reklamsi lahan bekas tambang yang dilakukan perusahaan.

Pada awal Juli 2019 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dana Jamrek dan pasca tambang yang sudah dikuasai oleh Pemerintah Provinsi masing-masing sebesar Rp33,8 miliar dan Rp2,6 miliar. Sedang puluhan miliar sisanya belum disetorkan dari pemerintah kabupaten.

Namun yang terjadi, dana Jamrek dan pasca tambang belum pernah dicairkan oleh pemerintah melalui bank-bank yang ditunjuk atau melalui pihak ketiga.

Hal ini menimbulkan sejumlah spekulasi. Pertama, sejauh ini pemerintah Sultra melalui Dinas ESDM terkesan tidak pernah serius dalam mengevaluasi dampak lingkungan atas kerusakan yang ditimbulkan oleh bekas-bekas galian tambang. Pasalnya, tidak ada upaya rekonsiliasi antara dinas ESDM, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Kehutanan terkait penggunaan dana pascatambang.

Kemudian, terkait penempatan dana Jamrek dan pasca tambang yang tersimpan di kabupaten sebelumnya, gubernur telah mengeluarkan surat tentang penyampaian P3D dan pengalihan administrasi jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang.

Spekukasi kemudian yang muncul, adanya MoU antara Pemerintah Daerah dan pihak Bank Sultra mengindikasikan adanya upaya monopoli perbankan. Di sisi lain, besaran dana Jamrek dan pasca tambang yang cukup fantastis yakni Rl200 juta per hektar, yang dibayarkan sebelum terbitnya IUP eksplorasi hingga ke IUP eksploitasi/produksi.

Tidak adanya transparansk penggunaan dan pengelolaan dana Jamrek dan pasca tambang dapat menimbulkan kecurigaan lebih parah. Bisa saja dana puluhan miliar yang tersimpan di Bank Sultra itu digunakan untuk peruntukkan lain.

Pertama, adanya pembangunan tower Bank Sultra yang menelan anggaran begitu fantastis bisa saja bersumber dari dana Jamrek dan pasca tambang yang diendapkan selama ini. Kedua, adanya anak perusahaan Bank Sultra juga patut dicurigai.

Untuk itu, pemerintah seharusnya bersifat transparan dalam penempatan dan pengelolaan dana Jamrek dan pasca tambang di Sultra. Selain itu, bank yang ditunjuk untuk menyimpan dana harusnya memberikan kontribusi kepada pemerintah dalam bentuk reward serta konpensasi yang jelas peruntukan dan penggunaannya. Misalnya melalui bantuan pendidikan maupun bantuan operasional di daerah.

Penulis adalah Ketua Koalisi Aktivis Pemerhati Lingkungan dan Pertambangan (Kapitan) Sultra.