Oleh: Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H
Soal kasus ini saya berpendapat sangat sulit untuk dijatuhi sanksi pidana mati. Jika merujuk pendapat Bapak Kepala Seksi Pidana Umum (Kasipidum) Kejaksaan Negeri Andolo bahwa pelaku pembunuhan itu didakwa dengan dakwaan subsidairitas, yakni primer Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan subsidair adalah Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Untuk Pasal 338 KUHP sendiri ancaman pidana maksimumnya adalah 15 tahun penjara, sedangkan untuk Pasal 351 ayat (3) KUHP ancaman pidana maksimumnya adalah 7 tahun penjara. Maka dari sudut kualifikasi ancaman pidananya ini tidak memungkinkan dapat dijatuhinya pidana mati. Hal ini pun diakui oleh Bapak Kasipidum.
Menurut saya, pidana mati dapat saja dijatuhkan jika dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menggunakan jenis dakwaan subsidairitas, memilih Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana sebagai dakwaan primairnya bukan Pasal 338 KUHP. Dimana Pasal 340 KUHP ini kualifikasi ancaman pidananya adalah pidana mati, seumur hidup atau paling lama 20 tahun. Olehnya itu struktur dakwaannya jika menggunakan jenis dakwaan sudsidairitas yakni primer Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, subsidair Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan lebih subsidair adalah Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.
Terkait dengan penggunaan jenis dakwaan subsidair atau biasa dikenal bersusun-berlapis konkretnya sebenarnya hanya satu tindak pidana saja yang didakwakan kepada terdakwa. Dakwaan subsidair ini disusun dengan maksud agar jangan sampai terdakwa terlepas dari pemidanaan. Akan tetapi dengan menggunakan jenis dakwaan subsidair ini juga memiliki konsekuensi dalam hal pembuktiannya, dimana yang diperiksa lebih dulu adalah dakwaan primairnya dan apabila ternyata dakwaan primairnya tidak terbukti maka beralih kepada dakwaan subsidair dan seterusnya.
Nah berdasarkan hal tersebut jika dalam kasus ini JPU menggunakan Pasal 340 KUHP sebagai dakwaan primairnya maka konsekuensinya JPU mesti membuktikan lebih dulu unsur tindak pidana didalam Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Pasal 340 KUHP dan Pasal 338 KUHP sebenarnya memiliki persamaan yakni sama-sama mengakibat hilangnya nyawa orang lain, namun perbedaannya adalah dalam Pasal 340 KUHP harus ada perencanaan terlebih dimana unsur perencanaan inilah yang dipandang memberatkan dalam sanksi pidana yang akan dijatuhkan. Rencana lebih dulu disini diartikan bahwa ada jeda waktu antara perencanaan dengan tindakan yang memungkinkan perencanaan secara sistematis terlebih dahulu baru diikuti dengan tindakannya. Misalnya sebelum tindakan itu dilakukan, si pelaku memang telah mempersiapkan dirinya misalnya dengan saat mendatangi korban sudah membawa pisau atau senjata tajam lainnya dan akibatnya memang dikehendaki untuk menghilangkan nyawa korban. Akan tetapi, jika Pasal 340 KUHP yang didakwaan secara primair ini ternyata tidak terbukti, maka JPU beralih untuk membuktikan Pasal 338 KUHP sebagai dakwaan subsidair, dan jika tidak terbukti juga maka dakwaan lebih subsidair yakni Pasal 351 ayat (3) KUHP yang mesti dibuktikan JPU. Sebaliknya, apabila dakwaan primair yakni Pasal 340 KUHP telah dianggap terbukti, maka dakwaan lainnya yakni Pasal 338 KUHP dan Pasal 351 ayat (3) KUHP tidak perlu dibuktikan lagi. Dengan demikian, ancaman pidana mati dimungkinkan dapat dijatuhkan kepada terdakwa jika Pasal 340 KUHP itu digunakan dalam surat dakwaan.
Merujuk pada surat dakwaan saat ini yakni menggunakan Pasal 338 KUHP sebagai primair dan Pasal 351 ayat (3) KUHP sebagai subsidair maka menurut saya maksimum ancaman pidana yang dapat dijatuhkan adalah 20 tahun. Dasar argumentasinya adalah karena adanya alasan pemberatan pidana. Dalam hukum pidana sendiri, kiranya ada 3 (tiga) bentuk pemberatan pidana yakni kedudukan sebagai pejabat, samenloop atau perbarengan dan pengulangan tindak pidana atau residivis yang dimana dalam alasan pemberatan pidana ini ancaman sanksi pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana maksimum.
Diketahui bahwa dalam kasus ini terdakwa merupakan seorang residivis dalam tindak pidana yang sama yakni pembunuhan dengan demikian memenuhi syarat pemberatan pidana sehingga ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). Maka jika yang terbukti dipersidangan adalah Pasal 338 KUHP yakni tentang permbunuhan maka sanksi pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana maksimum yakni 15 tahun ditambah dengan 1/3 (sepertiga) maka total maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah 20 tahun begitupun dengan Pasal 351 ayat (3) juga ditambah sepertiga jika ternyata pasal ini yang terbukti.
Namun pertanyaannya apakah hakim bisa menjatuhkan pidana mati terhadap kasus ini yang tidak didakwakan oleh JPU? Dalam tatanan praktik masih memungkinkan meskipun ini menjadi pro-kontra dimasyarakat tetapi secara praktik terdapat beberapa putusan hakim yang memutus suatu perkara diluar dari surat dakwaan JPU. Merujuk pada penelitian Mahkamah Agung tahun 2014 kiranya ada 3 (tiga) faktor hakim memutus suatu perkara diluar dari dakwaan JPU yakni : Pertama, hakim yang tidak dapat menerima kewenangan hakim dalam memutus perkara diluar dakwaan. Kedua, atas dasar kesamaan jenis perbuatan atau serumpun dan Ketiga atas dasar perbedaan peran atau identifikasi pelaku.
Namun hal ini terjadi ditingkat Mahkamah Agung bukan ditingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Menurut saya hal ini terjadi oleh karena disebabkan dari kewenangan mengadilinya tingkat peradilan. Seperti diketahui bahwa tingkat peradilan di Indonesia itu 3 (tiga) yakni Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Untuk Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi disebut dengan judex facti, artinya yang diperiksa adalah fakta dari suatu perkara sedangkan untuk Mahkamah Agung sendiri disebut dengan judex juris, artinya yang diperiksa adalah penerapan hukum dari suatu perkara, melihat apakah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi ini sudah benar menerapkan hukum ataukah tidak. Sehingga menurut saya jika pertanyaannya apakah dalam kasus ini hakim dapat menjatuhkan pidana mati diluar dakwaan saya berpandangan kiranya agak sulit.
Lain soal jika hakim memutus diluar dari tuntutan JPU itu bisa saja dan dalam praktik ini sangat sering terjadi. Misalnya dalam kasus ini JPU menuntut terdakwa dengan misal 5 tahun penjara maka jika hakim memutuskan berbeda dengan JPU yakni memutus terdakwa terbukti dan menjatuhi pidana 10 tahun penjara atau bahkan maksimal 15 tahun atau bahwa lebih rendah dari tuntutan JPU misal 2 tahun penjara itu boleh saja oleh karena sistem sanksi pidana dalam KUHP menggunakan sistem indefinate sentence dimana sistem ini menetapkan ancaman pidana maksimumnya secara khusus atau ancaman pidana minimumnya secara khusus. Didalam Pasal 338 KUHP ancaman pidananya dibatasi secara maksimum yakni 15 tahun sehingga hakim dapat menjatuhkan putusan dari minimal 1 hari sampai dengan 15 tahun begitupun dengan Pasal 351 ayat (3) KUHP jika pasal ini yang terbukti dimana putusan minimal 1 hari sampai dengan 7 tahun. Mengapa keduanya berbeda? Oleh karena dasar memutus suatu perkara oleh hakim berdasarkan surat dakwaan JPU bukan berdasar tuntutan JPU hal ini ditegaskan didalam Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.
Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo