Oleh: Tamsir, SE
Wacana mengenai keuangan tidak ada habisnya untuk dibahas. Pasalnya seluruh aspek kehidupan umat manusia selalu bersangkut paut dengan keuangan baik secara mikro maupun secara makro. Lebih lagi jika membahas persoalan perusahaan laporan keuangan merupakan instrumen utama yang menjadi rujukan dasar untuk dapat ber-ekspektasi dan mengambil keputusan baik secara internal perusahaan itu sendiri maupun secara eksternal oleh pihak lain. Performance dan masa depan perusahaan selalu ditelisik dari laporan keuanganya.
Para akuntan merupakan objek sentral dalam penyusunan laporan keuangan tersebut, maka disyaratkan agar para akuntan memiliki profesi yang berkeahlian, berpengetahuan dan berkarakter dalam menjalankan fungsinya. Selain itu juga ditetapkan standar akuntansi keuangan (SAK) yang menjadi kompas untuk menyusun laporan keuangan.
Namun tak jarang didapati para akuntan yang selalu mendapatkan soroton sinis dari masyarakat karena terjadinya penyimpangan dan pelanggaran dari etika normal, baik akuntan internal, akuntan publik maupun akuntan pemerintah. Keserakahan individu dan korporasi masih selalu menjadi fakor utama pemicunya.
Telah menjadi rahasia umum bahwa perusahaan umumnya manjadikan keuntungan sebagai ultimate goals sehingga seringkali terjadi mark up dalam laporan keuanganya. Misalnya, rekayasa audit dengan membuat faktur pembelian fiktif untuk membuat perusahaan merugi atau memiliki keuntungan yang minim.
Tentunya hal ini merupakan bentuk abainya perusahaan terhadap tanggung jawabnya sebagai entitas publik yang berada ditengah masyarakat implikasinya akan menimbulkan kerugian terutama pada alam sebagai tempat perusahaan menyedot keuangan yang kemudian menyerempet kepada masyarakat.
Dalam kajian entity theory opini tersebut bukanlah hal yang aneh. Bahwa perusahaan dapat hidup (survive) dan eksis dengan perolehan net profit secara maksimal (profit oriented) karena pemilik saham (stakeholders) cuman mengharapkan capital income dari perusahaan tempat ia berinvestasi.
Sejak kelahirannya mekanisme entity theory kental dengan nilai-nilai kapitalistik dan egoistik. Laporan keuangan dijadikan sebagai wasilah bagi perusahaan untuk menggemukan dirinya karena laporan keuangan hanya berupa data dan pernyataan yang bebas nilai (free value) yang digunakan untuk menarik minat para investor dan mendapatkan legitimasi dari pemerintah.
Jika kita meneropong realitas maka kita akan dapati bahwa era-globalisasi ini telah menjadi habitat yang empuk bagi perusahaan kapitalis untuk memproduksi keuntungan. Ambil contoh, masih segar dalam ingatan kita kasus mengenai beberapa perusahan tambang di Sulawesi Tenggara hingga merugikan negara sebesar Rp265 miliar sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusmin Kepala Bidang (Kabid) Mineral dan Batu Bara (Minerba) saat konferensi persnya 11 Februari 2019 lalu.
Angka tersebut tidaklah kecil, akan sangat berfaedah jika dana tersebut didistrubusikan untuk memberdayakan masyarakat kecil, tetapi kerena ulah perusahaan yang nakal alih-alih menguntungkan rakyat akan tetapi malah merugikan rakyat.
Belum lagi kita mencermati kasus para petani budi daya rumput laut di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Masyarakat memprotes limbah pertambangan nikel dari perusahaan yang telah mencemari wilayah mata pencahariannya. Petani rumput laut merasa telah mengalami kerugian yang berkepanjangan akibat ulah perusahaan.
Jika kasus-kasus amoral perusahaan semakin dibiarkan maka impilikasi riilnya adalah disparitas (poverty line) antara manusia kaya dan manusia miskin akan semakin mengangah. Kerusakan alam dan ekologi akan semakin melebar. Penyakit mewabah karena limbah semakin merajelala dan jelas tertutupnya kesempatan kerja semakin mengintai dan manghantui masyarakat.
Sejatinya mesti dipahami bahwa laporan keuangan perusahaan bukanlah sesuatu hal yang bebas nilai tertuang begitu saja, tetapi laporan keuangan merupakan sesuatu hal yang harus dipertanggungjawabkan tidak hanya untuk kepentingan stakeholders tetapi ikut dipertanggungjawabkan pula kepada Tuhan, alam dan manusia.
Manusia merupakan Khalifatullah fil Ardh (wakil Tuhan di muka bumi). Manusia diciptakan oleh Tuhan dan ditugaskan untuk mengemban amanah memakmurkan bumi dengan penuh rasa tanggung jawab. Mulanya Tuhan memberikan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung tetapi semua makhluk ciptaan itu enggan untuk memikul amanatnya lalu amanat itu diletekanlah pada pundak manusia QS Al-Ahzab/33: 72.
Manusia menyanggupi karena merupakan makhluk yang diberikan potensi berlebih oleh tuhyan, berupa akal pikiran untuk mengemban amanah dengan baik. Amanah merupakan salah satu sifat warisan dari Nabi Muhammad SAW pada umatnya untuk menjaga keseimbangan dimensi ekonomi, sosial dan spritual dalam kehidupannya. Sebagaimana tertuang dalam QS Al-Mukminun/23: 8 “yang termasuk orang-orang yang beruntung adalah orang-orang yang selalu menjaga amanat-amanatnya”.
Sudah selayaknya perusahaan menyadari eksistensinya bahwa ia hidup berpijak pada alam, alamlah yang berbaik hati menyambutnya lalu menyediakan tempat dan bahan baku untuk beroperasi. Perusahaan itu tumbuh ditengah kehidupan masyarakat. Ia bagian daripada masyarakat. Masyarakatlah yang memberikan sokongan dan dukungan agar ia dapat beraktifitas.
Perusahaan juga harus menyadari bahwa ia ada dari ketiadaan karena berkat rahmat Tuhan Yang Kuasa diciptakan segalah bentuk faktor produksi untuk kepentinganya. Karena itu sudah seyogyanya perusahaan memiliki sifat amanah yang merupakan mandat dari Tuhan dalam mempertanggungjawabkan keuangannya.
Karenanya laporan keuangan perusahaan selayaknya tidak hanya ditujukan untuk direct partisipant manajer, karyawan, pemegang saham, pemerintah, kreditur dan lain-lain untuk mengejar inisial perusahaan yang berlabelkan go public tetapi juga harus berimplikasi pada pertanggungjawaban terhadap inderect partisipant (masyarakat dan lingkungan) serta yang paling penting adalah pertanggungjawaban terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pertanggungjawaban pada alam dapat terealisasi dalam laporan keuangan. Perusahaan dapat membuat akun atas sumbangsinya secara riil dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan minimal ditempat perusahaan itu beroperasi seperti melakukan reboisasi, mengurangi berbagai polusi dan limbah serta lain-lain.
Pertanggungjawaban pada manusia dapat berbentuk kedermawanan sosial terutama pada masyarakat yang hidup dilingkungan sekitar yang terurai dalam laporan keuangannya seperti membangun fasilitas umum, memberikan beasiswa, melakukan bakti sosial dan lain-lain. Dan yang terpenting adalah pertanggungjawaban pada Tuhan penguasa alam semesta, yang termanifestasi dari kesadaran spritual perusahaan bahwa aktifitas yang dijalankan semata-mata sebagai bentuk realisasi amanat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sejatinya bentuk tanggung jawab tersebut telah termuat dalam CSR (Corporate Social Responsibility) tanggung jawab sosial sebuah perusahaan terhadap stakeholders yang terdiri dari 3P (Profit, People, Planet) diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup. Format ini perlu penekanan kembali agar dapat diiplementasikan dengan baik oleh perusahaan.
Akan tetapi satu nilai yang belum tentu termuat dalam CSR adalah kesadaran terhadap Tuhan yang transendental yang selalu mengawasi kinerja perusahaan dan tentunya akan dimintai pertanggungjawaban dunia dan akhirat.
Ketika tanggung jawab keuangan yang ter-metafora pada sifat amanah tersebut terinternalisasi dengan baik dalam diri perusahaan maka sejatinya perusahaan itu telah mendapatkan nilai tambah syariah (syariah value added) yang dapat menunjang dan mempertahankan eksistensinya dimasa yang akan datang duniawi maupun ukhrawi.(***)
Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana UIN Alauddin Makassar, Jurusan Ekonomi Syariah asal Buton Tengah