Miskin di Negeri Kaya, Salah Kebijakan atau Struktural?

Oleh: Mustika Lestari

Imbas pandemi Covid-19, ratusan juta orang di dunia berisiko jatuh ke bawah garis kemiskinan seiring anjloknya perekonomian. Penurunan angka kemiskinan yang dicapai selama bertahun-tahun akhirnya tersapu hanya dalam hitungan bulan. Masalah ini juga menghantui Indonesia. Bank Dunia atau World Bank melihat bahwa stimulus program perlindungan sosial dari pemerintah merupakan kunci untuk menyelamatkan perekonomian masyarakat dari krisis Covid-19. Dalam laporannya, Bank Dunia menyebut jika besaran dana yang dikucurkan oleh pemerintah tersebut akan menentukan apakah masyarakat akan jatuh kepada jurang kemiskinan. “Simulasi kami, kalau pemerintah tidak memberikan perlindungan sosial, maka sebanyak 8,5 juta masyarakat Indonesia bisa jatuh miskin akibat krisis ini,” ujar mereka.

Bank Dunia melihat, sebenarnya jumlah yang telah dianggarkan oleh pemerintah untuk progam ini sudah bisa membantu untuk memitigasi dampak ini, sayangnya implementasinya tidak tepat sasaran. Dalam eksekusinya, perlindungan sosial yang diberikan oleh pemerintah masih lambat bahkan tidak menyentuh kelompok yang seharusnya mendapatkan, terutama mereka yang terdampak dari sektor informal.

“Padahal, kelompok ini yang harusnya mendapat perlindungan sosial. Banyak orang yang tidak mendapat bantuan sosial dan akhirnya jatuh ke jurang kemiskinan, padahal mereka juga kehilangan pekerjaan,” tambah mereka (https://nasional.kontan.co.id, 20/12/2020).

Kemiskinan Struktural, Ciri Khas Kapitalisme

Masalah kemiskinan tidak pernah tuntas diselesaikan oleh pemerintah Indonesia. Hingga saat ini, kemiskinan menjadi fenomena yang kian rumit dan sistemik di negeri kaya, ‘gemah ripah loh jinawi’  ini. Tengok saja selain fakta di atas, dilansir dari katadata.co.id (6/5) lalu, bahwa banyak orang di Indonesia nyaris berada di ambang garis kemiskinan dan rentan miskin. Center of Reform on Economics (CORE) mencatat, jumlah penduduk rentan miskin dan hampir miskin mencapai 66,7 juta jiwa. Ini setara 25% dari total penduduk, atau lebih dari 2,5 kali lipat jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

“Masyarakat golongan rentan dan hampir miskin ini umumnya bekerja di sektor informal dan banyak yang sangat bergantung pada bantuan-bantuan pemerintah,” demikian tertulis dalam analisis yang dibuat Ekonom CORE Akhmad Akbar Susamto dan Muhammad Ishak Razak.

Dengan hadirnya pandemi Covid-19 potret kemiskinan itu semakin nyata penampakannya, pendapatan masyarakat yang menurun, bahkan ada yang kehilangan pekerjaan khususnya di sektor informal. Masalah bertambah pelik bila bantuan sosial dari pemerintah tidak mencukupi, datang terlambat atau tidak tepat sasaran. Inilah sebab kemiskinan yang melanda rakyat Indonesia saat ini.

Akan tetapi, jika kita mengulik lebih mendalam faktor tersebut hanya berpengaruh kecil atas fenomena ini. Ada faktor lain yang lebih berkontibusi besar, sebagaimana ditulis oleh Ahmad Buwaethy (Fenomena Kemiskinan, 2009) bahwa kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat adalah faktor yang paling besar pengaruhnya bagi kemiskinan yang menggejala di berbagai negara, termasuk Indonesia dewasa ini mengalami dampak kemiskinan sangat luas dan fatal (lihat. Islam Rahmatan lil Alamin: hal. 337).

Kita perlu memahami bahwa kemiskinan yang melanda penduduk Indonesia sampai saat ini (baik di masa wabah Covid-19 maupun normal) bukan karena negeri ini miskin. Sebaliknya negeri ini sangat bergelimang kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) dari ujung Timur hingga Barat. Untuk itu, kemiskinan ini lebih disebabkan oleh kekayaan itu sendiri yang tidak terdistribusi secara merata dan adil pada seluruh elemen masyarakat. Kekayaan negeri ini dikelola dengan sebuah sistem yang tidak manusiawi, yaitu kapitalisme-demokrasi. Sistem ini mewujud dalam neoliberalisme, di dalamnya berlaku prinsip survival for the fittes ‘siapa yang kuat dia yang menang’. Akibatnya, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin semakin menganga lebar, yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin.

Kemudian atas nama demokrasi yang menopang sistem kapitalisme, lahirlah beragam UU yang meniscayakan kekayaan umat untuk dirampas oleh pemodal, termasuk asing dan aseng. Akhirnya, sistem ini menjadi jalan pemulus untuk memenuhi ambisi sebagian kalangan elite/konglomerat untuk terus memperkaya diri pribadi. Muncullah berbagai masalah hidup masyarakat yang kian kompleks dan tidak kunjung terselesaikan. Solusi khas kapitalisme yang disuguhkan kepada publik, justru memunculkan masalah baru dengan silih berganti, penerapannya jutru membuat jutaan masyarakat semakin berjibaku dengan kemiskinan yang menyesakkan.

Sehingga, jika melihat biang kerok kemiskinan hari ini, tidak lain adalah dampak dari penerapan sistem kapitalisme-demokrasi itu sendiri yang meniscayakan kemiskinan struktural/disengaja. Berbicara kemiskinan struktural, artinya berbicara pula soal peran negara. Dalam doktrin kapitalisme, peran negara secara langsung baik di bidang sosial maupun ekonomi diupayakan berperan seminimal mungkin. Implementasinya, negara hanya berperan dalam fungsi pengawasan dan penegakan hukum semata.

Ironinya, sistem ini menjadikan negara kehilangan fungsi utamanya sebagai pengurus/pemelihara urusan rakyat. Rakyat dibiarkan luntang-lantung berkompetisi mencari makan, sementara elite yang berduit turut berkompetisi mencari keuntungan dari apa saja yang dapat mendatangkan rupiah, di antaranya mengeruk kekayaan alam yang difasilitasi langsung oleh negara. Karena itu, kita memahami akibat penerapan sistem fasad (rusak) ini, jeratan kemiskinan semakin menjadi-jadi. Sementara kapitalisme memandang bahwa penanggulangan kemiskinan adalah tanggungjawab masing-masing masyarakat bukan urusan negara.

Walhasil, hancurnya perekonomian negara maupun masyarakat adalah buah yang dipetik dari penerapan sistem kapitalisme-demokrasi yang memang menghendaki hidup miskin ‘berjamaah’. Menyadari hal ini, solusi di atas dengan perbaikan kebijakan yang dimaksud prosedur penyaluran bantuan maupun yang lainnya bukanlah jalan penyelesaian yang tepat. Sebab, kemiskinan ini merupakan dampak dari seluruh kekayaan umat diberikan hak pengelolaannya kepada pemilik modal. Sesempurna apapun kebijakan yang lahir darinya, hanya akan menciptakan jalan buntu, nihil solusi. Selama menerapkan sistem ini, tidak ada kebaikan yang akan terwujud, sebaliknya hidup rakyat semakin miris, bergelimang kemiskinan dan kesengsaraan akibat biaya hidup yang tinggi dan semua hajat hidup rakyat dikomersialisasi oleh negara. Kritik dari beragam sudut pandang masyarakat pun senantiasa membersamai.

Islam Mengatasi Kemiskinan

Sebelum berbicara lebih lanjut bagaimana Islam menyelesaikan problem kemiskinan, kita perlu memahami terlebih dahulu bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia sekaligus telah menyediakan berbagai sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan, seluruh makhluk Allah SWT sudah menyediakan (rezekinya) masing-masing. Mustahil Allah menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkannya hidup begitu saja tanpa menyediakan rezeki bagi mereka. Dalam firman-Nya: “Allah-lah yang menciptakan kalian, kemudian memberikan rezeki,” (Q.s. Ar-Rum [30]: 40). Di dalam ayat lain, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezekinya,” (Q.s. Hud [11]: 6).

Namun, mengapa kemiskinan ini kerap terjadi? Kapitalisme menjawab, problem ekonomi disebabkan adanya kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian dan terjadilan kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru secara realitas. Dalam pandangan Islam, jumlah kekayaan alam yang disediakan Allah untuk manusia pasti mencukupi. Namun, ketika kekayaan ini dikelola dengan regulasi yang salah, maka akan muncul ketimpangan dalam distribusinya. Islam sebagai sistem hidup yang shahih, memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat  Islam memiliki pengaturan yang saling bersinergis dalam menyelesaikan problema kemiskinan secara tepat.

Melalui pemimpin Islam yang sadar dengan amanahnya untuk mengurusi urusan umat maka, setiap kebijakan yang diambil dan diterapkannya senantiasa memperhatikan kemaslahatan bagi masyarakat di bawah kepemimpinannnya. Dia akan menjadikan amanah tersebut untuk kepentingan rakyat sebagai misi yang harus dilaksanakan. Terkait pemenuhan kebutuhan primer (pangan) dalam situasi wabah, pemimpin Islam akan senantiasa memperhatikan kecukupan stok pangan serta menjamin pendistribusiannya agar tepat sasaran dan merata diseluruh wilayah negeri dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyatnya. Akan tetapi, pemenuhan ini bukan hanya dalam kondisi wabah, melainkan dalam kondisi apapun.

Islam juga mewajibkan kepada laki-laki untuk mencari nafkah, negara berkewajiban  menyediakan lapangan kerja bagi mereka agar dapat memberi nafkah kepada keluarga mereka, memberikan pendidikan dan pelatihan kerja, bahkan jika dibutuhkan akan memberikan bantuan modal. Begitupula, Islam yang mengatur masalah kepemilikan, dimana penempatannya akan disesuaikan dengan apa yang telah ditetapkan oleh syara’ tanpa mengingkarinya sedikitpun dengan alasan apapun. Khususnya, kepemilikan negara akan dikelola oleh negara dan hasilnya akan disalurkan kepada seluruh masyarakat secara adil dan merata.

Begitulah Islam dalam menyelesaikan masalah kemiskinan dengan menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat baik di tengah wabah ataupun tidak. Sistem Islam telah melahirkan sosok-sosok pemimpin yang bertakwa, takut kepada-Nya dan selalu merasa diawasi oleh-Nya sehingga membuatnya bersungguh-sungguh berusaha menjalankan tanggungjawabnya. Maka, sudah saatnya kita beralih kepada sistem pemerintahan Islam, Khilafah yang telah terbukti keunggulannya dalam menghadirkan solusi bagi kemiskinan. Dengan SDA yang melimpah ini, sangat mungkin jika perbaikan ini diwujudkan. Wallaahu a’lam bi shawwab.

Penulis adalah Pemerhati Sosial

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *