Oleh: Muhamad Harif
Persoalan Papua adalah persoalan penindasan, persoalan ketidakadilan, persoalan ketimpangan sosial, persoalan kemiskinan, persoalan tuntutan kesejahteraan yang mana bumi Papua yang kaya tidak dinikmati oleh rakyat Papua.
Sejak Papua Barat resmi bergabung dengan NKRI melalui penentuan pendapat rakyat pada tahun 1969, rakyat Papua tidak pernah diperlakukan secara adil oleh pemerintah republik Indonesia. Pemerintah Orde baru melihat Papua sebagai kue yang bisa dinikmati oleh elit pemerintah orde baru bersama dengan negara imperialis Amerika Serikat. Bahkan Penentuan Pendapat Rakyat dianggap cacat hukum karena dilakukan dengan cara intimidasi dan bertentangan dengan prinsip Perjanjian New York tahun 1962.
Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang dimediasi oleh Amerika Serikat untuk menyelesaikan sengketa wilayah Papua Barat antara Indonesia dan Belanda berhasil memaksa Belanda untuk menyerahkan kekuasaan wilayah Papua Barat kepada Indonesia. Mediasi ini syarat dengan kepentingan perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Amerika Serikat tidak menginginkan Indonesia masuk ke dalam blok Uni Soviet.
Misi pembebasan Papua Barat yang digelorakan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia Bung Karno adalah misi kemanusiaan untuk menghapuskan penjajahan diatas dunia segaimana tercantum dalam konstitusi UUD 1945. Bahwa penyerahan kekuasaan Belanda atas wilayah Papua Barat bukanlah suatu penyerahan wilayah jajahan kepada Republik Indonesia, melainkan pembebasan Papua Barat atas penjajahan imperialisme Belanda.
Gerakan demonstrasi tanggal 15 Agustus 2019 yang baru-baru ini dilakukan oleh sejumlah aktivis mahasiswa Papua di beberapa daerah di tanah air dalam memperingati 57 tahun perjanjian New York harus mendapat perhatian serius dari pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah cara pandang Pemerintah terhadap Papua.
Papua haruslah dilihat sebagai bagian integral dari wilayah Kesatuan Republik Indonesia bukan sebagai wilayah koloni yang terus di eksploitasi kekayaan alamnya untuk dinikmati oleh segelintir elit yang menumpuk kekayaan pribadi, kelompok dan golongan. Keadaan seperti ini dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Jika tuntutan rakyat Papua Barat untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia terus bergejolak, maka ini menjadi sebuah ironi kegagalan pemerintah dalam mengelola Papua.
Rasisme yang menyulut kerusuhan di Manokwari dan Sorong, Papua Barat adalah bagian dari serangkaian gerakan politik identitas untuk mempertajam sentimen antara rakyat Papua dengan NKRI.
Gerakan politik identitas ini tentu bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi prinsip ideologis bangsa Indonesia.
Ada kelompok tertentu yang mencoba mengambil keuntungan dengan insiden ini dan patut diusut secara tuntas siapa dalang dibalik insiden tersebut.(***)
Penulis adalah Aktivis Demokrasi