Oleh: Muhammad Risman
Dalam negara demokrasi, setiap satu suara rakyat sangat berharga karena dapat menjadi penentu kemenangan. Pada paradigma ini, kita selalu diperhadapkan dengan tantangan kepentingan politik, tantangan transaksional antara yang berkepentingan dengan “oknum” penyelenggara seperti yang terjadi di daerah-daerah.
Adanya pelanggaran pemilu di daerah-daerah, maka penyelenggara perlu melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang diproses oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan diteruskan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sesuai ketentuan dan mekanisme pemilihan umum (Pemilu).
Hampir semua daerah menjadikan pelanggaran pemilu sebagai dasar untuk melakukan PSU. Tetapi jika penentuan itu ditentukan dari kompromi kepentingan politik maka akan menyebabkan proses tatanan demokrasi menjadi rusak.
Pada pemilu 2019 ini, tetap kita apresiasi kinerja penyelanggara dan pihak TNI/Polri serta semua pihak terutama kepada masyarakat walau tahapan pemilu 2019 belum selesai.
Meski tahapan pemilu belum selesai, namun petugas penyelenggara seperti Kelompok Penyelenggara Pungutan Suara (KPPS) khususnya di Sulawesi Tenggara (Sultra) banyak yang jatuh sakit bahkan meninggal dunia.
Miris benar!
Ketika demokrasi diharapkan menjadi tumpuan untuk dapat memilih pemimpin atau wakil-wakil rakyat di daerah, tetapi tidak sebanding dengan perjuangan yang dialami oleh para petugas-petugas penyelenggara maupun pihak lain yang terlibat.
Korban beberapa orang dari anggota Kepolisian saat melakukan pengawalan proses berlangsungnya tahapan pemilu juga ada.
PSU ini akan menjadi potensi konflik. Bisa jadi. Misalkan saja di Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara pada Pemilu 2014 lalu. PSU di sana terjadi di beberapa tempat pemungutan suara (TPS) berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebelumnya dilayangkan oleh partai politik (parpol) yang dirugikan saat proses pemilu saat itu.
Putusan MK menjadi dasar bagi KPUD Maluku Utara bersama KPUD Halmahera Selatan untuk melakukan PSU khusus pemilihan DPR RI yang diikuti oleh semua Parpol. Di situlah mulai peran-peran yang berkepentingan terlibat untuk pemenangan parpol masing-masing.
Sehingga inilah yang akan berpotensi konflik. Gejolak sosial mulai terjadi karena hampir semua parpol “menyerbu” di setiap daerah yang melakukan PSU.
Bahkan di daerah yang basis akar rumput dapat di kotak-kotakan dengan berbagai kepentingan, janji-janji politik, politik uang, mobilisasi massa, isu SARA dan lain sebagainya untuk menjadi upaya pemenangan.
Kondisi daerah pun pada akhirnya menjadi buruk hingga hari H PSU dilaksanakan. PSU lah yang menjadikan daerah masuk dalam kategori rawan pemilu.
Inilah yang dikhawatirkan. Semoga PSU di Sultra, yang salah satunya akan dilaksanakan di TPS Kecamatan Pasarwajo tidak mengalami hal-hal yang mengkhawatirkan.(***)
Penulis: Pemuda Kepulauan Buton (Kepton)