Penyetaraan Sumber Sejarah dalam Historiografi Indonesiasentris

Oleh: Salebaran

Historiografi Indonesiasentris untuk kalangan sejarawan bukan hal yang baru dilakukan. Historiografi Indonesiasentris dimulai sejak Seminar Sejarah Nasional pertama di Yogyakarta tanggal 14-18 Desember 1957 (Kuntowijoyo, 2003: 1). Hal ini dilakukan untuk menghadirkan narasi sejarah nasional dari ‘dalam’, karena pembelajaran sejarah yang ekplorasi pacsa kemerdekaan adalah narasi yang sangat Neerlandosentris dengan menempatkan orang-orang Eropa khususnya orang Belanda sebagai pelaku sejarah Indonesia. Percobaan untuk meninggalkan narasi sejarah Neerlandosentris bukannya tidak dilakukan, namun adanya euforia yang berlebihan membalik narasi sejarah dari historiografi Neerlandosentris ke hinstoriografi Indonesiasentris sehingga menimbulkan ketidak selesaian menulis sejarah nasional yang benar-benar dari ‘dalam’. Bukti real ketidakmampuan menghadirkan narasi Indonesiasentris pasca kemerdekaan adalah masih menggunakan karya Stapel yang sangat Neerlandosentris sebagai landasan pengetahuan sejarah baik untuk pelajaran sejarah maupun pengetahuan sejarah masyarakat umum (Nursam. M, dkk, 2008: 41).

Usaha historiografi Indonesiasentris sampai pada penemuan konsepsi baru sebagai garapan sejarah nasional Indonesia yakni konsepsi filsafat sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah (Kuntowijoyo, 2003: 1). Penemuan konsepsi ini menandakan pembaharuan untuk penulisan sejarah nasional Indonesia sebagai pengetahuan sejarah. Uniknya pembahas dari konsep penulisan sejarah nasional Indonesiasentris hanya Sartono Kartodirjo yang memiliki background keilmuan sejarah. Maka untuk menyematkan Sartono Kartodirdjo sebagai bapak Historiografi Indonesia tidak berlebihan.

Adanya konsep penulisan sejarah nasional pada seminar pertama, persoalan historiografi Indonesiasentris tidak menjadi selesai. Hal ini disebabkan masih adanya perbedaan penempatakan sumber-sumber sejarah dalam rekonstruksi sejarah yang dilakukan para sejarawan nasional maupun sejarawan tempatan. Padahal penyetaraan penempatan sumber sejarah adalah bentuk menuju penulisan sejarah Indonesiasentris yang sesungguhnya.

Penempatan Sumber Sejarah Dalam Rekonstruksi Sejarah Di Indonesia

Dalam penelitian ilmu sejarah memiliki tiga kategarori sumber yakni, sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber artefak. Pada dekade kekinian karya-karya sejarah yang menggunakan sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber artefak mulai memadati rak-rak buku perpustakaan. Pertama karya Ravando dan FX Harsono yang berjudul ‘Dari Nisan Ke Informan: Penggunaan Sumber Alternative Dalam Penulisan Sejarah Indonesia’ (Margana, dkk, 2017). Tulisan ini menyajikan periode revolusi Indonesia dengan menggunakan sumber artefak sebagai sumber alternative dalam historiografi Indonesia. Ravanda dan FX Harsono menegasikan bahwa sekalipun peristiwa yang direkonstruksi adalah periode ‘gelap’ penggunaan sumber tidak hanya berbasis pada sumber tertulis, sumber lain (lisan dan artefak) juga memiliki sifat yang faktualtif untuk merekonstruksi peristiwa sejarah. Kedua, tulisan Nasihin dengan judul ‘Mnemohistory dan Problem Historiografi di Indonesia: Studi Kasus Tentang Kenangan Masa Perang Dunia II Di Kendari’ (Margana, dkk, 2017). Karya ini memberikan gambaran baru dalam penulisan sejarah dengan menghadirkan konsep mnemohistory sebagai alat untuk mencari sumber lisan pada masyarakat yang memiliki ingatan kolektif tentang masa penjajahan Jepang. Penggunaan konsep mnemohistori adalah kebaharuan untuk memetakan sumber sejarah khususnya sumber lisan dalam rekonstruksi sejarah. Ketiga, karya Reza Hudiyanto dengan judul ‘Yang Tersisa Di Tengah Kemajuan: Kaum Miskin Kota Malang 1916-1950’ (Kartodirdjo, dkk, 2013). Tulisan ini menyajikan pengemis, gelandangan, dan prostitusi sebagai golongan yang dianggap abnormal. Dalam historiografi Indonesia-pun golongan ini masih dipinggirkan, karena dianggap tidak memiliki peran. Reza Hudiyanto telah memberikan hal baru untuk historiografi Indonesia dengan menempatkan para gelandangan, pengemis, dan prostitusi dalam narasi sejarah yang dianggapnya memiliki korelasi dengan pertumbuhan kota. Reza Hudiyanto menekankan bahwa keberadaan golongan ini tidak pernah berhenti selama kehidupan kota masih terus berputar.

Karya-karya sejarah diatas menegasikan bahwa pasca seminar sejarah pertama di Yogyakarta tahun 1957 historiografi Indonesiasentris mulai dilakukan dari sudut pandang orang dalam, sekalipun pernah terhenti pada masa Orde Baru dan kembali dilakukan era reformasi.

Penyetaraan Sumber Sejarah Dalam Historiografi Indonesia

Paruh kedua abad dua puluh satu ini, penyetaraan sumber sejarah masih menjadi pekerjaan yang sulit dilakukan para sejarawan. Hal ini disebabkan masih adanya sejarawan membedakan keabsahan dan keautentikan antara sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber artefak. Untuk itu, permasalahan hisotriografi Indonesia selalu ada, mulai orang yang menulis, metodologi yang digunakan hingga perlakuan yang hero pada salah satu sumber sejarah.

Padahal, sudah ditegasikan Nordholt, dkk (2013: 2) bahwa selama metodologi dapat diuji dan diperiksa secara ilmiah, penulisan sejarah tidak menjadi persolan. Maka, narasi ‘no document, no history’ perlu dihilangkan untuk mewujudkan historiografi Indonesiasentris yang sesungguhnya. Sebab, ada peristiwa-peristiwa sejarah yang tidak mampu direkam salah satu sumber saja. Ketika memanfaatkan salah satu sumber sejarah dalam historiografi, maka banyak peristiwa sejarah yang dipinggirkan dalam sejarah nasional Indonesia. Sebagai contoh peristiwa Gerakan 30 September, Representasi Petugas Kebersihan Dalam Historiografi Kota, Peristiwa Revolusi Indonesia Di Sulawesi Tenggara, Sejarah Batu Lukis di Mowewe, Representasi Wakoila sebagai Raja Laiwoi, Peran Wa Eke Masa Kolonial Belanda di Bombana yang memerlukan kehadiran sumber tertulis, lisan, dan artefak untuk direkonstruksi.

Untuk itu, penyetaraan sumber sejarah dalam rekonstruksi sejarah perlu dilakukan sebagai wujud untuk mengahadirkan narasi sejarah yang saling mengelengkapi demi terwujudnya historiografi Indonesiasentris.

Penulis adalah Dosen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Halu Oleo

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *