Plus Minus Relaksasi Kredit Di Era Pandemi Dampingi Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)

PENASULTRA.COM : Bumi tempat kita berpijak saat ini tengah menghadapi pandemi Covid-19. Termasuk Indonesia, infeksi coronavirus disease (Covid-19) nyatanya sudah merata hingga seluruh sudut negeri. Pandemi ini rupanya berpengaruh pada perekonomian Indonesia maupun global. Dunia ini terancam resesi global. Dampak negatif terhadap kesehatan, pelemahan daya beli masyarakat, dan lesunya perekonomian di berbagai daerah tak bisa dihindari lagi.

Pemerintah telah mengambil langkah bijak dalam rangka menekan angka penularan Covid-19 yakni Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Di sisi lain, kebijakan pembatasan sosial berskala besar ini semakin mengganggu aktivitas sosial dan ekonomi seperti kehilangan sumber pendapatan yang mengakibatkan sektor riil dan keuangan turut terganggu. Hal tersebut terlihat dari perubahan aktivitas usaha serta kenaikan risiko kredit macet terhadap sektor perbankan.

Sebagai dukungan pada dunia usaha dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, selanjutnya Pemerintah menerapkan berbagai kebijakan dan relaksasi di sektor keuangan. Bersama OJK, Pemerintah mengeluarkan kebijakan relaksasi kredit yang memudahkan sebagian debitur yang tidak mampu menjalani kewajiban dalam membayar kredit.

Melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Counter cyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 14/POJK.03/2020 Tentang Kebijakan Counter cyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank, lahirlah payung hukum bagi perbankan / leasing yang berkenan memberi kebijakan relaksasi kepada debiturnya.

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020, disebutkan bahwa debitur yang berhak atas relaksasi kredit adalah debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban pada Bank karena debitur atau usaha debitur terdampak dari penyebaran coronavirus disease 2019 (Covid-19) baik secara langsung ataupun tidak langsung. Sasaran utama kebijakan tersebut adalah debitur pada sektor ekonomi antara lain sektor pariwisata, sektor transportasi, sektor perhotelan, sektor perdagangan, sektor pengolahan, sektor pertanian, dan sektor pertambangan.

Kemudian, apa yang harus dilakukan agar seorang debitur bisa mendapatkan relaksasi kredit? Debitur yang ingin mendapat relaksasi harus melakukan pengajuan dengan syarat-syarat tertentu dengan kriteria seleksi yang tepat tergantung kebijakan lembaga penyedia jasa keuangan. Prinsip keadilan, kemakmuran rakyat, transparansi, akuntabilitas, dan kehati-hatian harus diperhatikan oleh lembaga penyedia jasa keuangan, agar tercapai tujuan kebijakan dengan risiko terkendali dan tidak menimbulkan moral hazard.

Menilik dari segi tujuan, relaksasi kredit memang memiliki nilai positif bagi pihak debitur. Tetapi, dari debitur sendiri juga bisa memunculkan nilai negatif. Contohnya adalah moral hazard yang bisa saja terjadi ketika debitur yang tidak terdampak Covid-19, tetapi mengajukan relaksasi pembayaran, padahal masih memiliki kemampuan keuangan untuk membayar cicilan dan angsuran. Tentu saja menjadi masalah karena merugikan pihak perbankan, dan pemberian relaksasi kredit menjadi tidak tepat sasaran.

Di samping itu, ada masalah lain yang mungkin dialami pihak penyedia jasa keuangan. Sebagian masyarakat umum sepertinya masih memiliki kesalahpahaman terhadap kebijakan relaksasi kredit ini. Ada penafsiran bahwa relaksasi kredit merupakan kebijakan pembebasan kredit secara menyeluruh. Presepsi tersebut tentu saja salah, sudah jelas berbeda dengan apa yang dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020. Jika diungkapkan dengan kata lain yang lebih mudah diterima, relaksasi kredit dapat diartikan bahwa debitur yang kesulitan membayar kredit karena terdampak Covid-19 untuk sementara boleh ‘cuti membayar” angsuran dalam jangka waktu tertentu. Selanjutnya setelah masa cuti membayar habis, tentu saja debitur wajib melanjutkan angsurannya kembali kepada lembaga penyedia jasa keuangan..

 Selain masalah dari sisi debitur, terdapat juga masalah dari sisi lembaga penyedia jasa keuangan. Beberapa lembaga penyedia jasa keuangan yang kurang menyambut kebijakan relaksasi kredit tidak akan menerapkan kebijakan ini. Akibatnya, debitur yang benar-benar mengalami kesulitan membayar karena terdampak Covid-19 tidak akan terbantu sama sekali. Sedangkan lembaga penyedia jasa keuangan yang setuju, akan mempersulit proses pengajuan dan memperketat seleksi. Akibatnya, datang aneka keluhan dari debitur yang ingin melakukan pengajuan relaksasi kredit, walaupun sebenarnya hal tersebut dilakukan guna meminimalisir risiko.

Terbukti, relaksasi kredit yang pada awalnya dikhawatirkan akan mengganggu cash flow lembaga penyedia jasa keuangan, berdasarkan siaran pers OJK, likuiditas dan permodalan perbankan berada pada level yang memadai. Hingga 17 Juni 2020, rasio alat liquid dan alat liquid terpantau pada level 123,2% dan 26,2%, jauh di atas threshold masing-masing sebesar 50% dan 10%. Permodalan lembaga penyedia jasa keuangan seperti Bank Umum Konvensional pun memiliki Capital Adequacy Ratio sebesar 22,16%.

Berdasarkan siaran pers Otoritas Jasa Keuangan, sampai dengan 15 Juni 2020, restrukturisasi kredit perbankan telah mencapai Rp 655,84 T dari 6,27 juta debitur, terdiri dari sektor UMKM dengan nilai restrukturisasi mencapai Rp 298,86 T yang berasal dari 5,17 juta debitur, dan sektor non UMKM dengan nilai restrukturisasi mencapai Rp 356,98 dari 1,1 juta debitur. Sedangkan untuk perusahaan pembiayaan lainnya, berdasarkan siaran pers Otoritas Jasa Keuangan, sampai dengan 16 Juni 2020, terdapat 183 perusahaan pembiayaan yang sudah melaksanakan restrukturisasi. Dari 4,15 juta jumlah kontrak permohonan restrukturisasi yang diterima perusahaan pembiayaan, 3,43 juta diantaranya sudah mendapat persetujuan, dengan total nilai restrukturisasi mencapai Rp 121,92 T.

Meskipun perekonomian Indonesia pada kuartal kedua tahun 2020 ini diprediksi mengalami kontraksi, namun setelah kebijakan-kebijakan seperti relaksasi kredit tersebut dilakukan, Pemerintah mengharapkan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dapat terdukung. Selain itu, dengan kerjasama dari berbagai pihak, perekonomian diharapkan dapat berjalan normal kembali.

Sumber terkait penulisan opini :

www.ojk.co.id

Biodata Penulis:

Nama              : Rinisti Ekaningrum

TTL                  : Magelang, 17 April 2000

Status              : Mahasiswa aktif PKN STAN prodi D III Kebendaharaan Negara Semester IV

Sosial Media   : instagram @rinisti17