Oleh: Wahyu Pratama
Pada tanggal 17 April 1960 PMII dideklarasikan setelah sebelumnya, organisasi berbasis nadhliyin ini masih bernaung dibawah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) dalam bentuk Departemen Pendidikan Tinggi.
Selain itu, masih banyaknya organisasi mahasiswa Nahdlatul Ulama yang berdiri secara lokalistik, sebut saja misalnya Ikatan Mahasiswa Nahlatul Ulama (IMANU) yang berbasis di Jakarta yang diprakarsai oleh Wa’il Haris Sugianto, dan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama yang berpusat di Solo dan diinisiasi oleh Mustahal Ahmad.
Selain faktor internal mahasiswa NU, faktor eksternal perjanjian umat islam digedung seni sono juga semakin mendorong mahasiswa NU untuk membentuk wadah mahasiswa NU sebagai respon atas sikap diskriminasi mahasiswa NU dalam berorganisasi pada organisasi mahasiswa islam yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Setelah NU membentuk PMII, Muhamadiyah juga membentuk IMM empat tahun setelahnya yakni 1964.
Ibarat manusia, usia PMII adalah sosok yang sudah tua dan matang. Lantas apa kiprah yang sudah dikontribusikan untuk negara dan bangsa ini? Jika pada masa awal-awal kelahirannya PMII banyak melakukan peran-peran strategis dalam turut serta menyelesaikan problem bangsa saat itu, maka bagaimana dengan sekarang? Apakah PMII sekarang masih memiliki greget untuk tampil berkiprah di tengah-tengah perubahan zaman yang begitu cepat dan pesat?
Jika berdirinya organisasi PMII kala itu karena hasrat kuat para mahasiswa NU untuk menyelesaikan problem carut marutnya situasi politik bangsa Indonesia dalam kurun waktu 1950-1959, dan tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada saat itu, maka kondisi tersebut tidak berbeda dengan sekarang.
Justru persoalan bangsa saat ini lebih kompleks dan memerlukan penyelesaian dari berbagai elemen masyarakat, termasuk para mahasiswanya. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini, apa peran yang mesti dimainkan oleh PMII?
Problem yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini sangat kompleks, menyangkut berbagai aspek kehidupan. Ada tiga problem besar yang mesti direspon, yaitu: korupsi, narkoba, dan terorisme. Jika bangsa ini bisa terbebas dari tiga problem besar tersebut, maka cita-cita untuk mewujudkan Indonesia adil, makmur dan damai bisa tercapai.
Untuk mencapai cita-cita itu tentu membutuhkan kepemimpinan yang visioner, bersih dan berwibawa. Dalam konteks ini, maka persoalan regenerasi dan kaderisasi menjadi amat urgen untuk diperhatikan.
Kita sadar, bahwa para negarawan dan politisi negeri ini tidak lahir tanpa penempaan dan pendidikan yang dilaluinya selama masih menjadi mahasiswa, terutama melalui organisasi ekstra seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI dan seterusnya.
Pada umumnya para politisi itu adalah para aktivis dan kader-kader pilihan. Hal demikian juga berlaku bagi sistem dan pola rekrutmen kepartaian di negeri ini.
Para politisi Senayan dan para pejabat negara selama ini pada umumnya adalah dari para aktivis saat masih berstatus mahasiswa. Dengan demikian, para aktivis memiliki potensi besar untuk memperoleh akses di dunia politik dan pemerintahan.
Masalahnya sekarang, bagaimana pendidikan dan pengkaderan itu mampu mengantarkan mereka ke kancah politik dan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, bebas korupsi dan narkoba?
Sebab bagaimana pun, praktik-praktik yang dialami di kampus saat mereka menjadi aktivis (BEM, MPM dan beberapa istilah jabatan fungsionaris lainnya di organisasi itu) akan terus terbawa sampai mereka menjadi tokoh dalam masyarakat.
Di sinilah maka pengkaderan dan pembelajaran politik di kampus menjadi sangat menentukan perilaku politik mereka ke depan.
Kampus atau perguruan tinggi dengan demikian menjadi miniatur Indonesia. Jika dalam praktik mengelola organisasi sejak dini sudah berani melanggar ketentuan AD/ART atau aturan main lainnya, maka ini merupakan awal pengalaman yang buruk bagi seorang aktivis, dan akan berbahaya pada masa-masa mendatang jika sudah terjun di masyarakat dan memegang jabatan tertentu.
Suatu contoh kecil adalah, ketika menangani kepanitiaan organisasi di kampus (baik kegiatan intra maupun ekstra) mereka sudah berani melanggar aturan organisasi dan tidak mampu mempertanggungjawabkan laporannya.
Tentu kebiasaan ini akan terbawa ketika mereka menjadi pemimpin dan pejabat publik. Maka, pendidikan karakter dan mental sejak menjadi aktivis mahasiswa sangat diperlukan demi menghindari praktik-praktik korup seperti yang terjadi di kalangan kebanyakan pejabat saat ini.
Demikian juga kebiasaan menggunakan narkoba atau zat adiktif lainnya yang merusak generasi bangsa.
PMII sebagai organisasi ekstra kampus yang lahir dari tradisi NU juga memiliki misi dan tanggung jawab melestarikan pemahaman keislaman ahl al-sunnah wa al-jama’ah (Aswaja) yang moderat dan toleran bagi terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang rukun dan damai, menolak segala macam pemahaman dan gerakan Islam yang melawan dan mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Orientasi gerakan mahasiswa sudah saatnya untuk berubah, dari paradigma lama menuju paradigma baru yang transformatif, artinya bagaimana pengkaderan itu mampu mengubah perilaku dan mengantarkan mereka dari berpikir sektarianisme menuju berpikir inklusivis dan plural.
Pengkaderan dengan demikian menjadi sangat penting untuk menyiapkan para pemimpin bangsa ke depan. Ini tentu memerlukan review kurikulum pengkaderan yang ada selama ini.
Idealnya review ini dilakukan setiap periode kepengurusan seiring dengan situasi dan kondisi yang terus berkembang. Karena PMII sebagai organisasi kemahasiswaan yang memiliki ciri khas keislaman dan keindonesiaan, maka bagaimana arah keislaman dan keindonesiaan itu diformulasikan.
Dari aspek keislaman misalnya, bahwa wajah keislaman PMII bukanlah berwajah transnasional, tetapi bertumpu pada konsep nation-state, corak pemikiran keislamannya bukanlah skripturalis-fundamentalis atau ekstrem.
Dengan demikian, maka PMII mesti mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai sebuah bentuk negara yang final. Doktrin tawasuth, tawazun dan tasamuh mesti menjadi paradigma berpikir dalam berorganisasi.
Sehingga, PMII tidak menjadi gerakan ekstrem, baik ekstrem kiri maupun ekstrem kanan. Pola-pola berpikir seperti ini harus menjadi perhatian dari masa ke masa sebagai bentuk dari melestarikan perjuangan the founding fathers negeri ini.
PMII juga mesti mencari rumusan baru tentang bagaimana wawasan Islam keindonesiaan yang tetap mampu memelihara khazanah dan budaya bangsa, sebab tuntutan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia ke depan jauh lebih rumit jika dibandingkan dengan dulu dan sekarang.
Pandangan-pandangan para pendahulu kita, seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Shidiq, dan Gus Dur tentang wawasan kebangsaan (nation state) dengan demikian menjadi penting untuk diaktualisasikan kembali melalui kajian-kajian rutin di kampus, latihan kader dasar, menengah dan lanjut.
Selain itu isu-isu fundamental seperti HAM, demokratisasi, keadilan dan pengentasan kemiskinan juga harus menjadi bagian dari kajian intensif di kampus-kampus, partisipasi dalam penanggulangan bencana, termasuk keikutsertaan dalam penanganan pandemi covid-19 yang terjadi saat ini, misalnya turut memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang regulasi dan kebijakan pemerintah dan MUI dalam penanggulangan bencana atau pandemi covid-19 tersebut.
Demikian juga turut serta membantu para pemangku kebijakan atau pemerintah setempat baik yang berupa pendidikan maupun pelayanan-pelayanan lain yang bermanfaat untuk masyarakat.
Aktivitas-aktivitas yang sudah dilakukan selama di kampus seperti pramuka, Palang Merah Indonesia (PMI), keterampilan bela diri, menjelajah hutan dan mendaki gunung (Mapala) serta keterampilan bermasyarakat lainnya dapat disumbangkan dalam konteks kepedulian sosial seperti sekarang ini.
Peran PMII akan terlihat penting dan bermakna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara jika orientasi dan sensitivitas kepeduliannya di kedepankan.
Ini sejalan dengan dua ciri utama yang menjadi pilihan namanya, yaitu ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Dua ciri utama itu juga menjadi arah tujuan yang harus dijadikan platform pergerakan.
Pilihan nama sebagai “pergerakan” bukan “himpunan” atau “ikatan” tentu juga memiliki reasoning tersendiri.
Diharapkan dengan nama tersebut, mahasiswa dapat berkiprah dan berperan aktif dalam menegakkan kebenaran di negeri tercinta ini.
Hal ini sejalan dengan cita-cita luhur the founding fathers itu sendiri yang tertuang dalam mars PMII, yaitu “ilmu dan bakti kuberikan, adil dan makmur kuperjuangkan….”.
Ini artinya, bahwa sebagai mahasiswa tidak bisa lepas dari pergumulan akademik-keilmuan, dan sebagai pergerakan ia harus dinamis untuk mengusung wacana keislaman khas Indonesia.
Jika ini bisa dilakukan maka sepuluh tahun ke depan kader-kader PMII dapat mewarnai percaturan politik Indonesia yang membanggakan.
Semoga.**
Penulis adalah Kader PMII Komisariat UHO dan Ketua DPM FKIP UHO