Polemik Pembelaan Diri Mbah Minto

Oleh: Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H.

Nasib sial menimpa Kasmito atau Mbah Minto (74) warga Desa Pasir, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Diusianya yang sepuh, Mbah Mintoyang seharusnya menikmati sisa-sisa hari tuanya ternyata mesti digelandang ke jeruji besi akibat menganiaya pelaku pencuri ikan di kolam yang dijaganya.

Kejadian yang terjadi pada malam hari tanggal 7 September 2021 dimana M pelaku pencuri ikan sedang melancarkan aksinya tetiba langsung dibacok oleh Mbah Minto menggunakan cerurit. Tebasan pertama mengenai lengan kiri dan tebasan kedua mengenai leher kanan M.

Diketahui bahwa saat tebasan pertama itu M sudah meminta maaf kepada Mbah Minto tetapi tidak dihiraukan dan kembali mengayunkan ceruritnya hingga mendarat dileher M. Hingga akhirnya M berupaya melarikan diri dan ditolong oleh warga setempat.

Dalam dakwaannya Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang diperoleh dari penelurusan perkara di Pengadilan Negeri Demak, mengungkapkan bahwa Mbah Minto sudah mengamati semua tindakan yang dilakukan M baik saat tiba, merakit alat setrum ikan hingga saat masuk ke kolam. Melihat hal itu, Mbah Minto kemudian mengendap-endap dan langsung mengayunkan cerurit yang dibawanya.

Berbeda dengan isi surat dakwaan JPU, pantau penulis dibeberapa media yang memberitakan kasus ini diungkapkan bahwa Mbah Minto menganiaya M diakibatkan adanya serangan lebih dulu yang dilakukan oleh M dengan mengarahkan alat setrum ikan yang digunakan untuk mencuri ikan kepada Mbah Minto.

Akan tetapi serangan itu berhasil dihindari. Berhasilnya menghindari itulah yang mengakibatkan Mbah Minto membacok M sebanyak dua kali. Hal inilah yang dianggap sebagai tindakan pembelaan diri dan menjadi viral di media sosial.

Dalam uraian ini, penulis mencoba memposisikan kasus ini sesuai dengan berita yang tersebar bukan sesuai dengan surat dakwaan yang diperoleh penulis.

Hal ini dianggap menarik karena adanya argumentasi tentang pembelaan diri. Sebab, jika merujuk pada surat dakwaan yang diperoleh tentu sangat berbeda yang mana tidak ditemukan adanya uraian kronologi kejadian yang menggambarkan tentang pembelaan diri yang dimaksudkan.

Melainkan isi surat dakwaannya lebih condong kepada tindakan yang memang sudah direncanakan dan dilakukan dengan sengaja.

Pembelaan Diri dalam Hukum Pidana

Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman kepada pelaku yang diajukan ke pengadilan meski telah melakukan suatu perbuatan pidana.

Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapusan pidana atau stafuit-sluitingsgronden.

Salah satu alasan penghapusan pidana itu adalah termasuk pembelaan diri atau yang lebih dikenal dengan pembelaan terpaksa atau noodweer.

Marteen Luther mengungkapkan bahwa, noodweer ini merupakan fenomena yang dianggap sama usianya dengan usia dunia (night unrecht noch ubels leychen wollen, das gibs die natur).Dengan kata lain,alasan penghapusan pidana berupa noodweer telah lama dikenal dan diakui di dalam lapangan hukum pidana.

Noodweer merupakan suatu alasan pembenar yang mana dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya dari perbuatan itu. Noodweer bukan merupakan alasan yang membenarkan perbuatan melanggar hukum, melainkan seseorang yang terpaksa melakukan tindak pidana dapat dimaafkan karena terjadi pelanggaran hukum yang mendahului perbuatan itu.

Oleh karena itu, noodweer merupakan pembelaan hak terhadap ketidakadilan, sehingga seseorang yang melakukan perbuatan dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana oleh undang-undang dimaafkan karena pembelaan terpaksa atau noodweer.

Oleh karena noodweer bukan alasan yang membenarkan perbuatan melanggar hukum, maka tidak semua tindakan pembelaan itu termasuk dalam noodweer. Setidaknya ada empat syarat yang mesti dipenuhi sehingga seseorang yang melakukan suatu permbelaan dapat dibenarkan oleh hukum, yakni:

Pertama, ada serangan seketika. Kedua,serangan tersebut berisifat melawan hukum. Ketiga, pembelaan merupakan keharusan. Keempat,cara pembelaan adalah patut. Serangan yang dimaksudkan dalam syarat pertama adalah serangan nyata yang berlanjut ditujukan terhadap badan, martabat atau kesusilaan dan harta benda. Sedangkan seketika yang dimaksudkan adalah begitu terjadi serangan, seketika itu ada pembelaan tidak ada selang waktu lama. Sedangkan melawan hukum yang dimaksud dalam syarat kedua adalah serang yang bertentangan dengan undang-undang.

Merujuk pada pemberitaan yang beredar, Mbah Minto membacok pelaku pencuri ikan M karena adanya serangan lebih dulu yang dilakukan, dimana serangan itu berupa mengarahkan alat setrum ikan kepada Mbah Minto tetapi hanya mengenai sarungnya. Maka dapat dikatakan telah memenuhi syarat noodweer yang pertama dan kedua.Pertama yang diserang adalah tubuh sedangkan yang kedua adalah serangan berupa mengarahkan alat setrum itu tentu adalah hal yang melanggar undang-undang.

Tetapi pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah perbuatan membacok itu adalah benar-benar terpaksa harus dilakukan? Menjadi suatu keharusan dan tidak ada pilihan lain untuk menghindari serang itu?Dan apakah hal itu sudah patut dilakukan? Pertanyaan ini adalah merujuk pada syarat ketiga dan keempat dari noodweer dan untuk menjawab ini tentu mesti melihat fakta lainnya.

Diketahui bahwa upaya pembelaan yang dilakukan oleh Mbah Minto karena adanya serangan dari M, namun apakah pembelaan itu sebuah keharusan? Dalam hal ini tidak ada upaya lain yang bisa dilakukan Mbah Minto selain harus mengarahkan cerurit ke tubuh M? Tentu tidak. Kondisi Mbah Minto tidak sedang dalam keadaan yang terdesak karena sejatinya Mbah Minto memiliki pilihan lain untuk menghindari serangan M, misal dengan berlari ke tempat lain atau meminta bantuan kepada warga sekitar.

Untuk memahami maksud syarat ketiga noodweer ini penulis memberikan ilustrasi sebegai berikut:

A hendak diperkosa oleh B dan dikunci dalam sebuah kamar. A kemudian menendang alat vital B sehingga B melepaskan cengkramannya terhadap A dan akhirnya bisa keluar dari kamar terkunci itu. Ilustriasi tersebut memperlihatkan tidak ada upaya lain yang bisa dilakukan oleh A selain sebuah keharusan untuk melakukan pembelaan dengan menendang alat vital B. Hal ini yang dimaksudkan oleh syarat ketiga noodweer.

Bandingkan dengan kasus Mbah Minto, kolam ikan itu berada ditanah yang lapang, sehingga Mbah Minto sesungguhnya masih memiliki kesempatan untuk menghindari serangan dari M dengan berlari ke tempat lain yang lebih aman. Akan tetapi hal ini tidak dilakukan oleh Mbah Minto.Sehingga dapat dikatakan syarat ketiga dari noodweer tidak dapat terpenuhi.Tidak terpenuhinya syarat ketiga ini telah mengakibatkan alasan penghapusan pidana tidak dapat diterapkan kepada Mbah Minto oleh karena syarat noodweer itu adalah bersifat kumulatif, artinya keempat syarat itu mesti terpenuhisecara keseluruhan bukan salah satu saja diantaranya.

Melanjutkan pada syarat yang keempat dari noodweer, melihat pembelaan yang dilakukan oleh Mbah Minto sesungguhnya tidak dilakukan secara patuh.Hal ini bila dilihat dari segi alat yang digunakan keduanya tidak termasuk dalam prinsip proporsionalitas yang mana pembelaan diri itu harus seimbang dengan serangan yang dihadapi.Melihat alat yang digunakan, penulis berasumsi bahwa alat setrum yang digunakan oleh M adalah termasuk daya tegangan rendah sehingga tidak membahayakan orang lain. Sebab apabila alat setrum yang digunakan untuk mencuri ikan itu adalah daya tegangan tinggi maka sesungguhnya M telah membahayakan diri sendiri apa lagi daya listrik itu digunakan di dalam air tentu akan semakin membahayakan. Dengan demikian, penulis berasumsi bahwa daya tengangan pada alat setrum itu adalah rendah yang hanya dimaksudkan untuk membuat ikan itu menjadi tidak berdaya hingga naik ke permukaan dan memudahkan untuk ditangkap.

Jika asumsi itu benar, maka membandingkan dengan alat yang digunakan oleh Mbah Minto yang menggunakan cerurit tentu terlihat ketidakseimbangan dari alat yang digunakan keduanya.Cerurit justru lebih besar menimbulkan dampak bila dibandingkan dengan alat setrum dengan daya tegangan rendah sehingga prinsip proporsionalitas yang menjadi bagian dari syarat pembelaan secara patuh sesungguhnya tidak dapat terpenuhi.Dengan demikian, agak sumir kiranya menyatakan kasus Mbah Minto termasuk dalam pembelaan terpaksa atau noodweer.

Diungkapkan dalam pemberitaan yang beredar, bahwa motif Mbah Minto membawa cerurit karena melihat ada motor yang terparkir di area kolam ikan dan melihat seseorang sedang menyetrum ikan.Melihat hal ini sesungguhnya niat itu sudah ada di dalam diri Mbah Minto, apakah niat itu dimaksudkan untuk melakukan pertahanan diri ataukah untuk menyerang M. Tetapi untuk dapat termasuk dalam noodweer tindakan pembelaan tersebut mesti dilakukan seketika serangan itu terjadi.Hal ini justru berbanding terbalik dengan faktanya, bahwa sebelum ada serangan terhadap Mbah Minto oleh M, cerurit itu sudah ada dalam kekuasaan Mbah Minto. Dengan kata lain, sesungguhnya telah ada unsur kesengajaan dalam tindakan tersebut. Hal ini dikuatkan dengan fakta bahwa tindakan Mbah Minto melakukan pembacokan kepada M sebanyak dua kali tebasan.Tebasan pertama mengenai lengan kiri M sedangkan tebasan kedua mengenai leher kanan M. Sebelum tebasan kedua yang mengenai leher M sesungguhnya M telah meminta ampun kepada Mba Minto tetapi tidak dihiraukan.Melihat hal ini tentu bukanlah menjadi bagian dari noodweer yang dimaksudkan melainkan telah termasuk dalam unsur kesengajaan.

Penggunaan Alat Setrum Ikan

Polemik kasus Mbah Minto ini sesungguhnya telah terjadi dua peristiwa pidana, yang pertama tentu adalah tindakan pencurian yang dilakukan oleh Mmeskipun dia menjadi korban dari upaya perlawanan Mbah Minto, tetapi perbuatan memasuki pekarangan milik orang lain yang tertutup, dilakukan di malam hari dan mengambil barang milik orang lain adalah bentuk dari tindak pidana pencurian dengan pemberatan. Sedangkan tindakan Mbah Minto yang dianggap sebagai bentuk pembelaan diri secara teoritik agak sumir mengatakan hal itu termasuk dalam alasan penghapusan pidana yang menghapuskan sifat melawan hukumnya.Untuk itu, perbuatan Mbah Minto termasuk dalam pengainayaan dengan pemberatan karena mengakibatkan luka berat.

Penggunaan alat setrum ikan sejatinya adalah hal yang dilarang oleh hukum karena dapat membahayakankelestarian sumber daya ikan dan juga dapat merusak lingkungan.Untuk itu, setiap penggunaannya diancaman dengan sanksi pidana. Dengan kata lain, tindakan M yang mencuri ikan di kolam yang dijaga oleh Mbah Minto seharunya tidak boleh luput dari perhatian pihak kepolisian yang memeriksa perkara ini. Hal ini penting karena secara langsung M telah melakukan dua perbuatan pidana dalam satu rangkaian, yang mana hal itu memiliki konsekuensi yuridis terhadap sanksi pidana yang dapat diberikan terhadapnya.Disisi lain terungkap fakta bahwa M juga merupakan pelaku yang sama atas kasus pencurian ikan yang terjadi sebelumnya di kolam yang dijaga oleh Mbah Minto. Maka hal ini seungguhnya sudah menjadi dasar yang kuat menjadikan perbuatan tersebut sebagai suatu pemberatan sanksi pidananya.

Wallahu a’lam bishawab.

PenulisAlumnus Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *