PT. Antam Hanya Bisa Rugikan Daerah dan Miskinkan Masyarakat Konut?

Oleh: Ashari

Daerah kami Konawe Utara adalah bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan mempertahankan kemerdekaan, jiwa raga atas nama seluruh rakyat Konawe Utara ikhlas mewakafkan potensi kekayaan sumber daya alam yang ada di perut Konawe Utara (Konut) untuk dikelola oleh perusahaan negara BUMN. Sekalipun itu tidak lagi memperdulikan amanah daripada UUD 1945 Pasal 33 dan UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009.

Kementerian ESDM RI melalui Dirjen Minerba, Bambang Gatot Aryono yang tidak lain adalah Komisaris PT. Aneka Tambang (Antam) merekomendasikan kepada PT. Antam untuk mengeksploitasi hutan dan perut bumi Konut.

16 ribu yang engkau caplok di Mandiodo, 6 ribu engkau rampas di Tapunopaka, di Bahubulu yang engkau klaim, blok Lalindu yang engkau miliki dan blok Langgikima (Matarape) 1.682 Ha yang engkau incar, setidaknya menjadi sumber pencadangan untuk devisa negara serta garansi atas keutuhan kemerdekaan NKRI dari utang yang melanda negeri ini.

Demi kedaulatan, kami rela tutup mata membiarkan Antam ekspor ore nikel ke Cina. Percepat, habiskan lalu tinggalkan, terserah. Resiko kami tinggal di daerah tambang belantara Utara, telah siap menerima dampak kerusakan lingkungan yang engkau akan tinggalkan.

Biarlah kami jadi penonton terbaik di tanah kelahiran sendiri. Kami tak berharap lagi janjimu untuk dirikan pabrik yang kelak menjamin lapangan kerja bagi beribu-ribu tenaga lokal. Semuanya itu ternyata hanya sebatas mimpi belaka. Biarlah khayalan kesejahteraan itu menjadi kesengsaraan kami.

UU Nomor 13 tentang Pembentukan Daerah dan UU 22 tentang Otoda terbantahkan dengan berlakunya UU Nomor 23 tahun 2014. Terima kasih pemerintah pusat atas belenggu keterbelakangan. Daerah kami pasrah tak berdaya.

Yang pasti, hasil dari perut bumi Konut telah diperuntukkan membangun infrastruktur di luar Bumi Anoa Sulawesi Tenggara (Sultra). Semoga saja hal itu dibarengi pula dengan manfaat langsung yang diterima masyarakat Konut sebagai daerah penghasil dan masyarakat Sultra pada umumnya.

Eksistensi PT. Antam di Konut sejak awal hingga hari ini ada beberapa catatan bersejarah yang patut diketahui menurut kami. Di antaranya:

Pertama, sejak 1995 PT. Antam unit Geomin melakukan penyelidikan (Eksplorasi) kandungan mineral nikel yang tersebar hampir 2/3 wilayah Kabupaten Konawe Utara telah dirintis. Ditaksir miliaran bahkan triliunan uang negara yang digunakan sebagai pembiayaan kegiatan tersebut sampai selesai dan masuk ke tahapan eksploitasi.

Kedua, dalam peningkatan ke tahapan eksploitasi, manajemen PT. Antam Tbk wilayah Konut ternyata masih berada di bawah kendali UBPN Pomalaa. Jika PT. Antam punya niat baik untuk melakukan investasi jangka panjang, tentu harus memiliki manajemen tersendiri di wilayah Konut. Bahkan, fasilitas maupun gedung kantor bukan sewaan. Semestinya sejak awal kantornya sudah terbangun minimal berlantai dua.

Ketiga, program kemitraan atau pemberdayaan PT. Antam di Pomalaa, Kabupaten Kolaka dilakukan dengan sistem lelang (Tender). Hal ini diduga tidak ada keterbukaan, baik melalui media, maupun penyampaian kepada Pemerintah Daerah Konut. Sehingga prosesnya tentu merugikan masyarakat Konut terkhusus perusahaan lokal yang bergerak di bidang penyediaan/jasa.

Keempat, pencaplokan lahan PT. Antam atas dasar kebijakan dan regulasi yang diambil oleh Pemda Konut saat Bupati Aswad Sulaiman menjabat menjadi problem tak berkesudahan hingga saat ini. Puluhan Izin Usaha Pertambangan (IUP) diantaranya telah melakukan eksploitasi tanpa melakukan eksplorasi lebih awal untuk mengetahui jumlah cadangan yang mau ditambang. Hal ini dikarenakan adanya indikasi kebocoran data–data eksplorasi (titik bor) oleh oknum PT. Antam Unit Geomin.

Kelima, pada 2012 terjadi keresahan sosial di tengah masyarakat Konut terhadap perjuangan masyarakat Konawe Utara bersatu mendukung PT. Antam melawan kebijakan pemerintah daerah Konut. Alhasil mengorbankan generasi muda (aktivis) Konut menjadi tahanan politik atas gerakan tindakan anarkis.

Ironisnya, setelah kepentingan PT. Antam tercapai, janji dan komitmen kepada masyarakat untuk membangun pabrik juga tidak dapat direalisasikan sampai sekarang.

Keenam, janji komitmen PT. Antam membangun pabrik nikel bukan persoalan alasan Pemda (Aswad Sulaiman) yang menghalang- halangi, tapi dikarenakan dari manajemen sendiri PT. Antam Jindal Stenlis Indonesia (AJSI). Dimana oknum AJSI yang melakukan transaksi pembebasan lahan terjadi manipulasi kurang lebih sebesar Rp40 miliar yang dianggarkan berujung proses hukum (proses pidana) sehingga proyek terhenti dan terbengkalai.

Ketujuh, diduga terjadi politik bisnis antara PT Antam dengan perusahaan swasta. Penambangan, pengiriman dan penjualan perdana dari ratusan IUP yang ada di Konut pada 2009, yang dimotori PT. Cinta Jaya Site Mandiodo di Kecamatan Molawe yang saat itu ditaksir bernilai ekspor nikel pertonnya mencapai 50–80.000 US Dollar.

Disaat penambangan dan puluhan kapal (Vessel) yang dijual ekspor tuntas, PT. Antam terlihat tak menaruh perhatian. Terkesan diam. Tutup mata. Pembiaran seakan tidak ada masalah. Padahal lahan tersebut yang ditambang PT. Cinta Jaya areal rintisannya yang pernah di eksplorasi oleh Antam Unit Geomin.

Kedelapan, selain PT. Cinta Jaya, ada sederet perusahaan swasta diwilayah Mandiodo yang sudah melakukan penambangan dan melakukan penjualan nikel. Pasca pemberlakuan PP Nomor 1 Tahun 2014, saat itu, PT. Aneka Tambang justru keberatan bahkan menggugat atas klaim lahan yang telah dicaplok.

Dengan demikian langkah serta tindakan sebagai perusahaan BUMN kami nilai negatif terhadap pertumbuhan iklim investasi pertambangan di Kabupaten Konawe Utara.

Kesembilan, 18 IUP perusahaan swasta yang notabene digugat PT. Antam bersifat kontroversi yang berakibat konflik horizontal ditengah masyarakat khususnya para karyawan atau pekerja tambang lokal yang saat ini menggantungkan nasibnya di beberapa perusahaan swasta tersebut.

Selain itu masalah konflik lahan juga semakin berdampak dimana belasan IUP sudah memiliki hak atas tanah yang dibebaskan kepada masyarakat pemilik lahan, belum lagi polemik terkait soal tanggung jawab di bidang lingkungan, jaminan reklamasi dan pasca tambang termasuk dokumen izin yang sifatnya mengikat yang dimiliki masing-masing perusahaan swasta tersebut.

Kesepuluh, tuntutan masyarakat Konut kepada PT. Antam hanya satu. Yakni, dapat merealisasikan janjinya membangun pabrik nikel (Smelter) bukan fokus pada kegiatan penambangan. Kami dengan tegas menolak pengiriman ekspor nikel secara besar-besaran yang dilakukan oleh PT. Antam.

Alasannya, akan terjadi pengurangan pencanangan (Deposit) nikel mengakibatkan kekhawatiran masyarakat Konut serta menjadi ancaman dan kegagalan akan hadirnya investasi industri tambang.

Parahnya, saat ini, puluhan ribu hektar lahan yang dikuasai PT Antam sejak 2010 hingga 2019 ini hanya sebatas dijadikan lahan tidur. Dari hitungan luas, potensi, sampai dengan nikel berkualitas kadar tinggi yang dikapling tak juga terlihat ada progres keseriusan untuk mendirikan smelter.

Kami pesimis bahkan hal yang mustahil Antam akan wujudkan jika dilihat progres pembangunan pabrik yang sementara dibangun di Pulau Gebe juga sampai hari ini belum rampung.

Sebagai maklumat kami paham tentang keberadaan PT. Antam di blok Tapunopaka yang terfokus pada rencana kegiatan penjualan ekspor ore nikel yang akan digelar bulan depan. Ini tidak lain dilakukan karena dasar PT. Antam kecewa terhadap kebijakan eks Bupati Konut sebelum Ruksamin-Raup memimpin. Padahal dalam IUP-nya jelas tercantum dalam Surat Keputusan Bupati Nomor 15 Tahun 2010 bahwa kepemilikan saham 65% untuk negara dan 35% dimiliki oleh masyarakat.

Pertanyaannya, dimana implementasi serta apa yang didapatkan oleh rakyat dan daerah sebagai daerah penghasil, apalagi dengan cara ekspor nilai tambahnya dimana?.

Upaya ekspor PT. Antam ini berdalih dengan cara menggiring opini bahwa seolah-olah bertopengkan keuntungan negara. Wajar saja jika kami mengklaim PT. Antam telah melakukan investasi sakit yang berujung pada “balas dendam” atau pembodohan secara tersistematis mengorbankan hak-hak masyarakat serta keterbelakangan kemajuan daerah.

Bahwa perlu juga diketahui, dasar PT. Antam melakukan penambangan di blok Tapunopaka menggunakan SK IUP Nomor 15 Tahun 2010. Padahal SK ini sudah pernah dicabut berdasarkan Putusan MA Nomor 129 K/TUN/2011 bahkan telah dieksekusi oleh pemerintah daerah di masa Aswad Sulaiman atas perintah Kejaksaan Negeri.

Bukankah ini cacat hukum? Bagaimana mungkin IUP-nya bisa hidup kembali….???

PT. Antam yang saat ini tengah melakukan kegiatan penambangan secara besar-besaran dengan tujuan ekspor, justru menuai konflik dengan ratusan pemilik lahan. Cukup langkah-langkah persuasif yang dilakukan oleh pemilik lahan termasuk surat-menyurat namun niat baik itu tidak mendapat respon dari manajemen PT. Aneka Tambang.

Kelompok pemilik lahan Polasuanokadue, Bahonggororo, dan Bahontilu dalam pertemuan akbar seluruh pemilik lahan di areal Desa Tapunopaka yang digelar di Molawe pada 27 Maret 2019 sepakat mereka mengatakan PT. Antam telah melakukan penyerobotan lahan mereka.

PT. Antam yang notabene merupakan perusahaan plat merah justru terlihat diperlakukan khusus dan tidak diberlakukan untuk mematuhi Undang-undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 135, 136, dan 137. Maka dengan demikian, patutnya PT Antam dapat dikatakan perusahaan negara, manajemen Belanda.

Harapan kami terkhusus kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Utara untuk tidak terhipnotis dengan segala pencitraan melalui aksi-aksi sosial yang dilakukan PT. Antam yang nilainya juga tidak sebanding dengan milyaran hasil yang diperoleh di daerah kita.

Dan bagi Pemprov Sultra sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, dapat kiranya merekonsiliasi ulang izin-izin PT Antam dan mengevaluasi esensi daripada investasi yang tidak menguntungkan tersebut. Terakhir, Pemprov juga kami minta melaporkan kondisi prakesejahteraan masyarakat termasuk keterbelakangan pembangunan Sultra di tengah maraknya eksploitasi sumber daya alam.(***)

Penulis: Ketua Lempeta Konut