Oleh: Erwin Usman
YANG dikhawatirkan banyak pihak akhirnya terjadi. Eskalasi sosial meningkat dan jatuh korban jiwa. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, aksi mahasiswa yang berlangsung Kamis (26/9), dua orang korban mahasiswa meninggal. Diduga karena kena tembakan peluru dan benturan di kepala.
Jagat sosial media dan platform percakapan daring pun sontak ramai. Tagar #KendariBerduka menggema luas.
Hingga Kamis dan Jumat pagi, solidaritas dan kecaman pada aparat polisi yang diduga sebagai pelaku terus bermunculan. Meluas cepat. Juga tuntutan agar ada penyelidikan dan penghukuman tegas bagi pelaku. Siapapun yang kelak terbukti.
Randi (21) dan Muhammad Yusuf Kardawi (19) nama korban mahasiswa itu. Randi Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari semester tujuh. Angkatan 2016. Sedang Yusuf adalah mahasiswa Fakultas Teknik. Asal kampusnya sama dengan Randi. Kampus keduanya adalah PTN terbesar di Sultra.
Sebelumnya, pada siang harinya berlangsung aksi unjuk rasa damai sejumlah mahasiswa dari kampus negeri maupun swasta yang di pusatkan di kantor DPRD Sultra.
Tema aksinya relatif sama dengan aksi mahasiswa di Jakarta dan kota-kota lain yang digelar di hari sebelumnya. Masih terkait penolakan atas RUU KPK, RUU KUHP dan sejumlah RUU yang kontroversial.
Dilaporkan ribuan mahasiswa terlibat dalam aksi. Lalu entah apa pemicunya, mahasiswa terlibat ricuh dengan aparat polisi yang mengamankan gedung. Di tengah suasana ricuh, Randi roboh dan dilarikan ke rumah sakit oleh rekan-rekannya. Ada bekas luka di dadanya. Seperti luka tusuk atau kena tembakan peluru.
Di tengah jalan, nyawanya tidak tertolong. Randi meninggal. Jasadnya oleh keluarga diminta dilakukan autopsi. Sementara, rekan lainnya, Yusuf Kardawi (19), meninggal pada Jumat subuh setelah sebelumnya alami kritis dan dioperasi tim dokter RS Bahteramas Kendari.
LA SALI baru saja pulang dari melaut. Rumahnya yang berada di pesisir di Desa Lakarinta, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara mendadak ramai. Nelayan ini heran dan bertanya ada apa ramai malam-malam. Lalu perwakilan keluarga menyampaikan bahwa anaknya Randi telah meninggal di Kendari, setelah demo siang tadi.
Tangisan lantas pecah dari rumah panggung kayu itu. La Sali dan istrinya Wa Nasrifa menangis. Keduanya adalah orang tua kandung Randi. Jarak kampung ini dengan lokasi kejadian sekitar 3 jam perjalanan laut dan darat.
La Sali dan Wa Nasrifa, serupa harapan orang tua lain pada anak tersayangnya yang sedang menimba ilmu di rantau orang. Berharap anaknya kelak jadi sarjana. Lalu kemudian meniti karir untuk meraih sukses, lalu ikut membantu kehidupan keluarganya.
Tak pernah keduanya membayangkan putranya, Randi, anak kedua dari lima bersaudara, mengalami nasib gugur dalam aksi mahasiswa. Apalagi dengan luka tembakan di tubuhnya.
KEMATIAN Randi dan Yusuf tentu tidak ada yang menginginkan. Baik dari pihak keluarga, maupun bagi aparat kepolisian yang mengawal aksi.
Penjelasan humas Polda Sultra bahwa pada saat aksi personel polisi yang ditugaskan mengamankan aksi unjuk rasa tidak dibekali peluru tajam dan peluru karet. Sebelum bertugas personel diperiksa. Sesuai SOP hanya melengkapi diri dengan tameng, tongkat dan peluru gas air mata.
Demikian intisari keterangan disampaikan pihak humas polisi ke media, beberapa jam setelah informasi kematian Randi.
Namun nasi telah menjadi bubur. Duka nestapa kematian Randi dan Yusuf belum lagi akan sirna. Terlebih bagi orang tua, kerabat keluarga dan sahabat-sahabatnya. Pun bagi kita, warga Indonesia, yang masih punya empati pada kemanusian.
Kesedihan bapak La Sali, Ibu Wa Nasrifa, serta para saudara, kerabat dan kawan sejuang Randi dan Yusuf adalah kesedihan semua kita. Kesedihan Indonesia.
Randi dan Yusuf telah gugur karena berjuang bukan untuk kepentingan dirinya. Atau keluarganya. Dia berjuang, bersama barisan mahasiswa Indonesia, karena kebenaran yang diyakini sepenuh jiwanya. Sebagaimana tapak perjalanan historikal negeri ini yang tak pernah lepas dari peran penting kepeloporan kaum muda.
Presiden, Kapolri, Komnas HAM, Kompolnas dan institusi terkait, mesti menyikapi ini secara benar dan serius. Prosedur hukum mesti ditempuh secara tegas dan kongkrit pada pelaku. Termasuk pada pemberi perintah dan pengendali aparat yang berlaku sewenang-wenang.
Keadilan atas kematian kedua pejuang mahasiswa Indonesia ini mesti terwujud. Secara nyata, bukan dengan janji dan sebatas lipservice. Bagaimana pun caranya. Apapun risikonya. Yang paling penting, kasus serupa ini jangan terulang lagi. Pada siapapun.
Selamat jalan, Randi dan Yusuf. Al Fatihah untuk kalian berdua. Kembalilah pada Rabbmu dengan tenang. Sampai berjumpa di alam keabadian. Kami semua menyayangimu.
Dalam doa-doa terbaik untuk kalian berdua, izinkanlah kami titip penggalan syair “Darah Juang” ini:
bunda relakan darah juang kami
tuk membebaskan rakyat..
bunda relakan darah juang kami
padamu kami berbakti
padamu kami mengabdi…(***)
Penulis: Pendiri Lembaga Bantuan Hukum Kendari