Rasa Malas Dan Kesalahan Persepsi Lunturkan Profesionalisme

Oleh : La Ode Husaini

Sejumlah sumber menyebut, malas adalah rasa ketidakinginan seseorang untuk melakukan sesuatu baik yang sudah menjadi rutinitasnya ataupun yang menjadi aktivitas sekali-kali dengan berbagai penyebab. Yang dimaksudkan ketidakinginan disini adalah kita tidak mau melakukan sesuatu yang seharusnya kita lakukan. Rasa malas seharusnya tidak ada dalam kehidupan kita.

Rasa malas hanya akan membuang waktu kita karena dengan waktu tersebut kita tidak menghasilkan apa-apa. Secara teori rasa malas itu disebabkan karena dua faktor, yaitu faktor intern (sangat berbahaya) dan faktor ekstern.

Yang paling sulit diatasi adalah faktor yang timbul dari diri sendiri, artinya kalau rasa malas itu ada, dimotivasi sebesar apapun oleh orang lain, sulit untuk mengembalikan ke kondisi awal.

Siapa pun bisa terkena penyakit Malas. Dari pelajar, mahasiswa, karyawan, ibu rumah tangga, bahkan pengangguran sekalipun. Malas dalam psikologi sudah dimasukkan sebagai salah satu bentuk perilaku.

Menunda pekerjaan atau menyelesaikan tugas tapi tidak sesuai waktu yang sudah ditetapkan saja sudah bisa disebut perilaku malas. Muara perilaku ini sudah tentu penurunan produktivitas yang bersangkutan. Seseorang bisa berperilaku malas terhadap suatu pekerjaan atau kegiatan karena dia tidak memiliki motivasi untuk melakukan pekerjaan atau kegiatan itu. Dalam psikologi, seseorang berperilaku tertentu karena adanya energi yang mendorongnya untuk berperilaku. Energi inilah yang disebut motivasi, yakni hal yang mendorong seseorang bertingkah laku mencapai suatu tujuan.

Motivasi dipengaruhi oleh suatu sikap yang terdapat dalam diri orang itu. Sikap yang bisa positif atau negatif itu timbul lantaran adanya persepsi atau pemberian makna terhadap suatu objek atau peristiwa. Persepsi atau pemberian makna tersebut ditentukan oleh suatu sistem nilai, yakni suatu patokan untuk berperilaku yang berlaku pada suatu lingkungan tertentu. Sistem nilai yang tertanam dalam diri seseorang ini dipengaruhi oleh budaya, lingkungan masyarakat, dan orang tua.

Misalnya ada salah satu etnis di Indonesia terkenal rajin dan serius dalam bekerja. Perilaku ini muncul lantaran mereka memiliki suatu sistem nilai bahwa kalau ingin hidup layak, mereka harus bekerja keras. Sistem nilai itu telah ditanamkan oleh orang tua sejak kecil dalam perilaku sehari-hari, baik dalam memarahi, memberi nasihat, atau memberi suatu contoh. Lingkungan budaya etnis ini juga memberikan teladan.

Mereka yang hidup layak ya karena mereka bekerja keras. Sebaliknya, yang hidupnya berkekurangan lantaran tidak mau bekerja keras.

Pada budaya kantor, biasanya ada karyawan yang menganut nilai RMS (rajin malas sama saja) bakal menjadi malas melakukan tugasnya. Akan tetapi berbanding terbalik ketika ia bekerja pada kantor yang nilai profesionalismenya dijunjung tinggi. Prinsip ‘Jika kita bekerja baik, imbalannya akan baik. Jika kita tidak bekerja baik atau prestasi rendah, imbalannya juga rendah, kalau perlu di-PHK’ tentu akan memberikan motivasi positif dalam pekerjaannya.

Kalau seseorang malas terhadap suatu pekerjaan, artinya motivasi dia terhadap pekerjaan tersebut sangat rendah. Sikapnya terhadap pekerjaan itu negatif akibat persepsi yang diberikannya terhadap pekerjaan itu kurang baik. Ini lantaran sistem nilai yang ada dalam dirinya membuat dia berperilaku malas untuk melakukan pekerjaan itu. Sementara terhadap pekerjaan lainnya mungkin tidak begitu. Jadi, perilaku malas merupakan hasil suatu bentukan. Artinya, perilaku itu bisa dibentuk kembali menjadi baik atau tidak malas.

Pembentukan kembali perilaku seseorang tadi sebetulnya sangat besar dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya, bisa orang tua, teman, atau orang lain di sekitarnya. Lingkungan yang bisa memberi pengaruh lebih kuatlah yang bisa membentuk seseorang. Dalam mengubah perilaku seseorang, yang paling mendasar adalah mengubah persepsinya. Untuk itu, perlu mempelajari dan mengambil sistem nilainya yang bisa mengubah persepsinya atau memberikan sistem nilai lain yang baru baginya.

Perilaku malas atau kurang disiplin ini banyak juga dijumpai pada beberap oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ada di Kabupaten Muna, dimana pada Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei, bertepatan dengan hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara, pahlawan nasional yang dihormati sebagai bapak pendidikan nasional di Indonesia, menurut saya tidak berlangsung secara hikmat. Pasalnya dalam momentum peringatan tersebut, ada hal yang tidak pantas dilakukan oleh beberapa oknum ASN yakni mereka asyik berteduh di bawah pohon sambil duduk santai pada saat upacara berlangsung di lapangan kantor Bupati Muna.

Bahkan di antara mereka ada yang lagi diskusi, merokok dan main handphone, ini sangat tidak mencerminkan nilai-nilai patriotisme sebab upacara perinngatan 2 mei merupakan salah satu moment yang sakral dan disitulah kita mengenang kembali jasa-jasa para pahlawan yang telah berjuang dan mengorbankan harta benda sampai titik darah penghabisan demi meningkatkan harkat dan martabat bangsa indonesia.

Mudah-mudahan saja beberapa oknum tersebut bukan dari kalangan pendidik atau guru, karena saya tidak bisa bayangkan apabila seorang pendidik yang seharusnya dapat menanamkan sikap patriotisme kepada anak didiknya yang bukan hanya menyampaikan secara teoritis namun dapat memberikan contoh secara kontekstual.

Seorang ASN baik itu dari lembaga pendidikan maupun dari instansi lain harus bisa menanamkan dan mengaplikasikan semboyan yang telah di cetuskan oleh bapak Ki Hadjar Dewantara yaitu, Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi teladan atau contoh), Ing madyo mbangun karso, artinya (di tengah memberikan motivasi/semangat) dan (Tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan).

Jadi kalau kita pahami makna dalam beberapa semboyan yang di ungkapkan tersebut serta di aplikasikan dalam setiap tugas yang di lakukan maka akan tercipta ASN yang displin dan profesional, bukan menghindar dari tanggung jawab sebagai generasi penerus kemerdekaan.***

Penulis adalah Ketua HMJ Psikologi UHO Kendari