Rekrutmen PPPK Tak Ada Formasi Guru PAI, Upaya Penghapusan Pelajaran Agama Islam?

Oleh: Wa Ode Rachmawati, S.Pd. MPd.

Heboh. Luapan kekecewaan datang dari guru honorer Pendidikan Agama Islam Kota Kendari. Pasalnya dalam rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) tahun 2021 formasi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) tidak tersedia. Ironisnya, menurut keterangan dari kepala dinas Pendidikan Kebudayaan dan Olahraga (Dikmudora) Kendari, bahwa kebutuhan akan guru agama di kota kendari cukup besar. Sekitar 85 guru untuk sekolah negeri dan 25 untuk sekolah swasta (beritakotakendari.com, 25/8/2021).

Kekecewaan dari pejuang honorer ini pun disikapi oleh ketua Komisi III DPRD Kota Kendari La Ode Rajab Jinik. Beliau berkomitmen ikut bertanggung jawab guna dikoordinasikan ke pemerintah pusat. Lebih lanjut  La Ode Rajab Jinik mengungkapkan bahwa sampai saat ini belum ada penjelasan dari pusat, padahal dinas pendidikan sudah megusulkan kebutuhan guru PAI. Tak ayal, hal ini menimbulkan kecurigaan jangan sampai pemerintah pusat sengaja melakukan ini untuk menghilangkan pendidikan agama. Pungkasnya  (beritakotakendari.com, 25/8/2021).

Benarkah demikian?

Kecurigaan terkait penghilangan atau penghapusan pendidikan agama sudah diendus oleh berbagai kalangan mulai dari para intelektual, tokoh agama, ormas maupun parpol berbasis islam. Ditandai dengan dihilangkannya frasa “agama” dalam rumusan Peta Jalan PendidikanIndonesia 2020-2035.

Mengapa frasa sepenting itu bisa hilang dalam draf atau rancangan peta jalan pendidikan? Padahal, peta jalan itu akan menjadi pedoman kerja dalam pembangunan pendidikan di Indonesia untuk puluhan tahun ke depan.

Setelah mendapat protes dan kritik dari berbagai kalangan. Mendikbud Nadiem Makarim menyatakan akan memasukan kembali frasa “agama”. Dengan kutipan pernyataan yang dilansir dari laman detik.com (10/3/2021), “Dan kalau misalnya dari aspirasi dari masyarakat, bahwa kata agama itu yang penting dalam frasa itu, ya kita silakan masuk di dalam peta jalan. Jadi nggak masalah. Jadi nggak perlu panik, nggak perlu menciptakan polemik, kita terbuka dan nggak ada masalah.”

Langkah pemerintah di awal yang menghilangkan frasa “agama” dan pernyataan enteng tersebut, seolah menegaskan bahwa posisi agama memang kian tak dianggap penting dalam sistem pendidikan Indonesia.

Harus disadari bahwa sejak negara ini memproklamasikan kemerdekaanya, para founding father memang sudah yakin memilih sekularisme sebagai fondasi bernegara. Itulah kenapa tujuh kata sakral di piagam Jakarta ditolak mentah-mentah dengan berbagai cara. Syariat Islam? “No way!” katanya.

Dengan demikian ruh sekularisme akan selalu mewarnai kebijakan di berbagai lini kehidupan termasuk sistem pendidikan. Saat ini para pengusung dan penganut sekularisme, mengemas ruh sekularisme ke dalam ide moderasi beragama. Yang gencar ditanamkan dan dimasukan dalam kebijakan sistem pendidikan.

Agama diakui, tapi cukup di ranah individu. Beragama tidak perlu berlebihan, yang biasa biasa saja. Agama tidak boleh mengatur urusan bernegara. Sebab, membawa agama di kehidupan publik justru akan berbahaya. Melahirkan sikap intoleransi, pecah bela dan lain sebagainya. Paradigma inilah yang coba dibangun dalam dunia pendidikan kita saat ini.

Sehingga, bisa jadi kalimat “mewujudkan manusia Indonesia beriman dan bertakwa” selalu muncul dalam rumusan tujuan pendidikan nasional. Tapi yang dimaksud tentu bukan “menciptakan manusia yang siap taat pada Allah dan Rasul-Nya”, apalagi “siap menjalankan syariat Islam seutuhnya dalam kehidupan bernegara”.

Sangat kontras dengan berbagai kebijakan politik pendidikan saat ini lebih fokus pada peningkatan sains, teknologi, dan industrialisasi. Kemudian adanya program vokasional, konsep link and match lembaga pendidikan dan industri, riset-riset berbasis industri, seolah pendidikan hanya berfungsi sebagai alat mencapai tujuan materi. Sedangkan fungsi untuk menciptakan generasi pemimpin yang beriman dan bertaqwa terlupakan.

Dengan demikian, kecurigaan terhadap upaya penghilangan pendidikan agama islam dengan tidak adanya rekrutmen guru Honorer PAI tidaklah berlebihan. Sebab kebijakan politik pendidikan saat ini tidak menunjukan kebutuhan terhadap Guru PAI.

Meskipun Pemerintah daerah melalui Dikmudora Kendari telah mengusulkan data kebutuhan guru PAI. Akan tetapi, pihak Kemenag tidak mengakomodasi usulan tersebut. Maka ini mengindikasikan Kemenag tidak memberi perhatian dan memperjuangakan kepentingan guru honorer. Apalagi memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan agama islam.

Padahal saat ini anak bangsa sedang berada dalam krisis moral dan akhlak. Akan tetapi pemerintah agaknya lebih fokus pada pencapaian tujuan materil.

Kemudian, dengan kebijakan tersebut siapa yang akan diuntungkan? Jawabannya, tentu pihak-pihak yang menguasai sumber ekonomi yang hendak menguasai pasar produksi. Siapa lagi kalau bukan para kapitalis dan negara pengusung ideology kapitalisme, yang didukung oleh penguasa negara jajahannya.

Keadaan ini harus disadari oleh umat islam. Penguasaan kapitalisme yang berlandaskan sekularisme akan terus menggerogotik negeri ini, manakala kita tidak melepaskan cengkramannya. Termasuk pengaruhnya dalam sistem pendidikan.

Selama asas sekularisme tetap dipertahankan, maka tujuan pendidikan yang sebenarnya yakni mewujudkan manusia Indonesia beriman dan bertakwa  akan terjauhkan. Tujuan mulia ini memang hanya mungkin terwujud jika ada support system dari pemerintah. Mulai dari sistem politik, ekonomi, pergaulan, serta sistem-sistem lainnya. Dan islam telah terbukti memiliki support system yang mumpuni dengan menerapka aturan Allah SWT.

Sejarah peradaban islam dimasa kekhilafahan yang berlangsung kurang lebih 14 abad, membuktikan kegemilangannya dalam menaungi kehidupan umat. Sistem pendidikan telah terbukti berhasil melahirkan generasi umat yang berkepribadian Islam, cerdas, dan berkarakter pemimpin. Tentu ini ditunjang dengan ketersediaan tenaga pendidik (guru) yang memadai. Tidak ada perbedaan status guru PNS dan honorer. Dalam Islam, guru berposisi sebagai aparatur negara (muwazif daulah). Semua guru dimuliakan dalam sistem Islam karena perannya yang begitu strategis.

Wallahu ‘alam bishowwab..

Penulis merupakan praktisi pendidikan di Kota Kendari

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *