Segitiga Bermasalah: Masyarakat, Gangguan Kejiwaan dan Kursi Namrud (Perspektif Psikologi Sosial)

Oleh: Maolana Mohammad Sah, S.Psi., M.Si.

Beberapa minggu lalu, salah satu jurusan di Universitas terkemuka bagian timur Indonesia, mengadakan seminar academic stress. Info ini saya ketahui dari media sosial. Awalnya saya bertanya, mengapa harus mengambil isu ini di tengah-tengah ruang akademik yang ingin memanusiakan manusia?

Setelah saya menyusuri dunia maya dengan kemampuan seadanya, ternyata, tingkat stres pada remaja cenderung mengalami peningkatan setiap semesternya. Jadi mungkin kegiatan seminar tersebut salah satu sikap preventif untuk menghambat melonjaknya tingkat stres pada mahasiswa.

Namun, bagian barat Indonesia – Brebes, Jawa Tengah, sehari setelah kegiatan seminar itu, terjadi tindakan percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu kepada anaknya. Menurut berita, ibu yang merupakan pelaku, mengalami stres akut, mungkin bisa dikatakan dia sedang depresi. Katanya, gangguan kejiwaan yang dialaminya disebabkan masalah rumah tangga dan ekonomi.

Dua peristiwa ini sepertinya tidak memiliki hubungan secara langsung. Tetapi, sebenarnya, kedua kejadian ini adalah gambaran perilaku manusia yang terjebak dalam lingkaran setan – personal problem.

Agar lebih jelas, saya akan mencoba menguraikan secara sederhana. Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Dr. Celestinus Eigya Munthe, permasalahan kesehatan jiwa di Indonesia berada di posisi yang tinggi. Lanjutnya dalam situs sehatnegeriku.kemkes.go.id, Indonesia berpotensi mengalami gangguan kejiwaan sekitar 1 dari 5 penduduk, artinya sekitar 20% populasi di Indonesia itu mempunyai potensi-potensi masalah gangguan kejiwaan.

Apakah ini disebabkan kurangnya para ahli di bidang kejiwaan atau kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap gangguan kejiwaan itu, khususnya depresi?

Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos, Bapak Harry Hikmat pada rapat kerja bersama Komisi X DPR RI terkait RUU Praktik Psikolog pada bulan Mei 2020, mengatakan, jumlah Psikolog dari ikatan psikolog kurang lebih berjumlah 11.500 orang. Sedangkan jumlah Psikiater menurut Dr.Celestinus Eigya Munthe dalam situs sehatnegeriku.kemkes.go.id, adalah 1.053 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 270 juta jiwa pada tahun 2020. Berarti rasio antara ahli kejiwaan dengan jumlah penduduk Indonesia adalah 1:21.509 orang. Berdasarkan rasio ini, maka bisa dikatakan jumlah tenaga ahli kejiwaan di Indonesia sudah memenuhi standar WHO yang menetapkan 1 tenaga psikolog atau psikiater melayani 30 ribu orang.

Tapi kenapa masalah kejiwaan masih menjadi hal terpenting? Agar amannya, kita harus berbaik sangka dulu kepada para ahli atau mungkin terdapat kesalahan dalam pengambilan data serta proses perhitungan yang saya lakukan. Sekarang kita lupakan dulu rasio tersebut. Mungkin benar, rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang gangguan kejiwaan, khususnya depresi mengakibatkan gangguan kejiwaan semakin tinggi.

Beberapa tahun ini, seminar-seminar atau pelatihan yang preventif menjadi wabah di Indonesia, apalagi ketika Indonesia diserang Covid-19. Biasanya kegiatan-kegiatan itu dilakukan, baik dari kalangan Perguruan Tinggi (PT) maupun kalangan organisasi yang menghimpun ahli-ahli kejiwaan, seperti contoh jurusan yang tadi saya ceritakan.

Namun sayang, kegiatan tersebut tidak bisa dikonsumsi oleh semua masyarakat, karena sebagian besar kegiatan-kegiatannya memiliki tarif. Hal ini memastikan bahwa kegiatan tersebut hanya diperuntukkan kepada masyarakat yang ekonominya pada tingkat sedang dan atas. Selain itu juga, informasi kegiatan tersebut sangat terbatas, karena penyelenggaraan hanya mempublikasikan ke platform-platfrom yang mereka miliki. Intinya, kegiatan tersebut bukan untuk semua masyarakat, sedangkan yang rentang mengalami gangguan kejiwaan adalah masyarakat yang ekonominya di bawah.

Akhirnya, alternatif penyelesaian masalah yang masyarakat ekonomi bawah bisa konsumsi adalah religiusitas, misalnya bersabar. “Ini ujian dari Tuhan, jadi harus bersabar, semakin besar iman kita maka semakin berat ujiannya”, kalimat religius inilah yang mereka pergunakan untuk menyelesaikan masalahnya (coping stress), apalagi nasehat itu diperoleh secara gratis dari Ustad hingga Ustad-ustad-san. Tapi sampai kapan mereka harus bersabar? Akhirnya mereka harus terkurung oleh sistem yang memiskinkan mereka untuk selamanya dan ketika mereka tidak mampu lagi bersabar, mereka lebih memilih mengakhiri permasalahan dengan kematian.

Konon, salah satu organisasi para ahli memiliki uang yang berlimpah. Katanya, uang itu berasal dari hasil iuran para anggotanya, dan lebih menghebohkan adalah uang ini tidak tau mau “dikemanakan”. Arti kata “dikemanakan” adalah uang itu digunakan untuk kepentingan organisasinya. Berita burung yang terakhir saya dapat, mereka ingin membeli tempat atau rumah di daerah elit untuk dijadikan basecamp atau kantor. Entahlah, apakah tempat itu akan digunakan, nantinya atau tempat itu akan menjadi markas para makhluk astral.

Jadi, hematnya, organisasi itu memerlukan bantuan penguasa, karena mereka adalah avatar yang menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Adanya bantuan tersebut, diharapkan kegiatan-kegiatan seperti seminar, pelatihan atau konsultasi dapat dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat secara gratis. Tapi kenapa mereka tidak bisa membuat kegiatan yang gratis tanpa bantuan penguasa? Mungkin perlu penelusuran lebih dalam lagi, untuk memastikan beberapa hal, seperti; keuntungan yang mereka harapkan, seberapa dalam kantong mereka sehingga susah membuat kegiatan yang gratis atau memastikan kesalahan-kesalahan dalam tulisan saya. Tapi horornya, dengan adanya bantuan penguasa, bisa-bisa kegiatan tersebut dijadikan alat keuntungan bagi mereka!?

Terlepas dari teori konspirasi keuntungan di atas, sebenarnya, permasalahan kejiwaan tidak hanya diselesaikan dengan kegiatan tersebut. Sebab, kegiatan seminar, pelatihan, atau konsultasi hanya menyelesaikan masalah pada tingkat personal saja (personal problem), hal ini disebabkan fokus kegiatan hanya menciptakan individu-individu yang kuat menghadapi badai-badai sosial. Namun sayang, kegiatan itu tidak dibarengi dengan penyelesaian sampai lumbung permasalahannya.

Bayangkan, ada gerakan anti korupsi. Gerakan ini bertujuan untuk menghabisi atau menghentikan tindakan korupsi yang merugikan di kantor A. Jadi pegawai-pegawai yang belum melakukan tindakan korupsi atau berpotensi melakukannya, dipanggil untuk disadarkan. Alhamdulillah, hasilnya mereka menyadari korupsi itu salah, dosa dan paling penting, mereka tidak mau melakukannya. Tapi, ketika mereka kembali ke kantor yang merupakan lumbung korupsi, alih-alih mau mempengaruhi orang-orang sekitar untuk tidak korupsi, malahan mereka sendiri yang melakukan tindakan korupsi. Itu artinya, tindakan dosa dan salah itu tergantung keamanan dan kenyamanan kita di sosial.

Cerita yang terjadi di Kantor A merupakan keadaan yang menggambarkan penyelesaian secara personal tidak akan berhasil ketika masuk dalam lingkaran permasalahan sosial. Jika mereka memaksakan diri untuk menyelesaikannya, maka akan muncul permasalahan personal lainnya.

Makanya, kebanyakan orang akan melakukan berbagai coping capabilities atau biasa diartikan kemampuan menanggulangi masalah. Menurut Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc dalam bukunya “Rekayasa Sosial: Reformasi, Resolusi dan Relasi Media-Agama atas Kuasa”, kemampuan menanggulangi yang biasa digunakan adalah escape mechanism (mekanisme pelarian diri). Maksudnya, ketika masyarakat menganggap yang dihadapi adalah masalah personal, mereka akan lebih memilih untuk tidur daripada menyerang/mengubah sosial.

Selain itu masih banyak lagi mekanisme pelarian diri yang bisa dilakukan oleh masyarakat ketika menganggap masalah sosial adalah permasalahan personal-pribadi. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh ibu yang mencoba membunuh anaknya di wilayah Brebes. Ibu tersebut menggunakan rasionalitas untuk membenarkan tindakannya. Rasionalitas adalah salah satu escape mechanism atau bisa dikenal self defense mechanism (mekanisme pertahanan ego) dalam ilmu psikologi.

Jadi sebenarnya. Penyelesaian masalah personal (personal problem) di tengah-tengah sosial, ibaratnya kita berdoa kepada pohon yang dianggap keramat. Apalagi penyelesaian persoalan kejiwaan hanya dijadikan proyek keuntungan semata bagi penyelenggara.

Tapi apakah semua masalah harus diselesaikan secara sosial atau pertanyaan kerennya, apakah semua masalah adalah personal problem atau social problem? Pertanyaan ini sudah disinggung di tulisan saya yang lain. Pada intinya, semua masalah bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, apakah masalah disebabkan oleh kualitas individu (personal problem); Kedua, apakah masalah disebabkan oleh kondisi sosial yang rusak (social problem).

Misalnya, masalah dapur rumah tangga, jika ini dilihat dari sudut pandang personal, maka akan terjadi penyalahan kepada ibu-ibunya atau istilahnya victim blame. Suami-suami akan menyalahkan istri mereka karena tidak beres mengurus dapur. Penyalahan kepada ibu-ibu ini akan menghasilkan self blame atau menyalahkan diri sendiri. Ujungnya, ibu-ibu akan mencari pemecahannya secara personal. Tapi naasnya solusi tersebut akan terbantahkan secara sosial.

Sedangkan, jika masalah dapur rumah tangga dianggap sebagai social problem. Maka suami-istri akan berkerjasama mencari solusi sehingga masalah tersebut bisa teratasi. Jadi dalam kondisi social problem, victim blame atau self blame tidak akan dialami oleh ibu-ibu.

Jadi, langkah awal yang harus kita lakukan adalah mengubah  perspektif kita dari personal problem menjadi social problem. Sehingga kita bisa merasakan rasa yang sama dalam suatu permasalahan. Kesadaran ini sangatlah penting untuk mencegah diri untuk mencari keuntungan-keuntungan pribadi atau kelompok. Setelah kesadaran ini mengikat kita semua, maka akan muncul gerakan-gerakan sosial (collective action). Istilah gerakan ini sebenarnya sudah dikenal di Indonesia, namun dalam istilah yang lain, yakni gotong-royong. Gotong-royong ini adalah gerakan andalannya Indonesia dalam membangun daerahnya dan gerakan ini sudah ada sebelum negara Indonesia merdeka.

Tulisan ini bukan untuk menyerang penyelengara seminar dan pelatihan atau apapun itu. Tapi tulisan ini adalah ajakan menuju gerakan kemanusiaan yang tidak kenal siapa dia dan apakah dia miskin atau kaya. Memang Indonesia tidak terjajah seperti dulu, sehingga kita tidak perlu lagi memegang senjata untuk melawan penjajah. Namun semangat dan pengorbanan yang dilakukan pahlawan-pahlawan dulu. Dimana kesadaran mementingkan sosial lebih tinggi daripada keuntungan pribadi seharusnya terinternalisasikan kepada orang-orang pintar kita, sekarang ini, kecuali saya.

Terakhir, sebenarnya saya berniat memelihara anjing di rumah saya. Tapi beberapa orang melarangnya. Salah satu alasannya adalah anjing yang dipelihara di dalam rumah akan mengusir malaikat dan selagi anjing masih ada di rumah, malaikat tidak akan masuk di rumah kita.

Setelah saya renungkan berhari-hari. Ternyata manfaat malaikat di dalam rumah kita adalah untuk menjaga diri kita dari kemiskinan secara gaib. Sedangkan yang kaya tanpa bantuan gaib-gaib tidak perlu cemas memelihara anjing di dalam rumahnya, hal ini juga berefek pada kualitas me time yang semakin bagus. Tapi tidaklah masalah, sebagai manusia yang dibentuk oleh dogma agama dari lahir, kita wajib mempercayai adanya malaikat, apalagi kepercayaan tersebut bertujuan untuk kepentingan duniawi, saya pikir tidak masalah?

Sebenarnya saya tidak tau apa hubungan cerita itu dengan tema tulisan saya. Tapi menurut saya, kita sebagai makhluk yang dikarunia akal bertugas  membawa rahmatan lil alamin (kasih sayang) kepada siapapun yang ada di dunia ini. Inilah konsenkuensi peran khalifah Tuhan di dunia ini. Bukan alih-alih bersahabat dengan iblis ketika ada kesempatan.

Tapi benar juga, bagaimana kita bisa memberikan kasih sayang kepada orang lain, sedangkan kita dalam kelaparan, misalnya? Jadi solusinya, kita harus kaya dulu. Para Nabi dan Rasul As pun mungkin tidak akan berhasil menjalankan tugasnya sebagai utusan Tuhan jika mereka dalam kelaparan atau tidur di bantal yang keras.

Polemik di atas biarkan dulu mengambang. Tapi yang perlu disadari, hampir semua masalah yang kita hadapi adalah masalah sosial, walaupun pada akhirnya dianggap sebagai masalah personal. Adanya kesadaran ini bisa menjadi awal kita menepati janji sebagai mahkluk sosial dan Khalifah Tuhan untuk mencoba membuat gerakan bersama-sama – menciptakan dunia dengan cinta. Tapi saya yakin tulisan ini masih banyak kekurangannya, sehingga pembahasan social problem bisa menjadi bahan diskusi dipikiran-pikiran kita tanpa adanya hujatan satu sama lain.

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh,” (QS. Al-Ahzab 33: Ayat 72)

Terima kasih.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *