Stunting Mengintai Anak, Butuh Solusi Tepat

Pena Opini529 views

Oleh: Ratni Kartini, S.Si

Di tengah pandemi Covid-19 yang semakin meningkat kasusnya dari hari ke hari, persoalan stunting pada anak pun tetap menjadi perhatian oleh pihak pemerintah daerah khususnya Pemerintah Kabupaten Kolaka Timur (Koltim).

Sebagaimana yang dilansir dari media Rakyatsultra.com (26/07/2021), Bupati Koltim Andi Merya Nur di acara peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-28 mengungkapkan bahwa persoalan stunting penting untuk segera diselesaikan. Menurutnya hal tersebut dikarenakan stunting berpotensi menganggu potensi sumber daya manusia (SDM) daerah, berhubungan dengan tingkat kesehatan, dan kematian anak.

Ia menekankan bahwa upaya untuk mencegah stunting ini ada pada peran keluarga sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan anak. Menurutnya, keluarga dapat berperan dalam menurunkan beban masalah gizi, menyediakan gizi seimbang dan berkualitas, hingga menerapkan pola asuh yang berkualitas di sebuah keluarga.

Tentu saja keluarga memiliki peran yang sangat besar untuk mencegah stunting terjadi pada anak. Namun persoalan stunting ini tentu bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak keluarga saja, melainkan menjadi tanggung jawab semua pihak terutama negara. Karena persoalan stunting ini bersifat sistemik, tentu solusinya harus bersifat sistemik.

Akar Masalah Stunting

Stunting menurut BKKBN adalah kekurangan gizi pada bayi di 1000 hari pertama kehidupan yang berlangsung lama. Kondisi ini menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak. Bayi stunting tumbuh lebih pendek dari standar tinggi balita seumurnya dikarenakan mengalami kekurangan gizi menahun (Bkkbn.go.id, 18/02/2021).

Langkah Pemerintah Kabupaten Kolaka Timur tentunya sejalan dengan program pemerintah pusat, mengingat program percepatan pencegahan stunting adalah sebagai salah satu program prioritas pemerintah di sektor kesehatan. Apalagi Provinsi Sulawesi Tenggara termasuk 10 provinsi yang memiliki pravalensi stunting tertinggi, salah satu wilayah sebarannya adalah Kabupaten Kolaka Timur. Sedangkan untuk Indonesia sendiri, pada akhir tahun 2020 menempati posisi urutan 4 dunia dan urutan ke 2 di Asia Tenggara terkait kasus balita stunting.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sekaligus sebagai Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting, Hasto Wardoyo mengungkapkan bahwa penyebab tingginya angka stunting di Indonesia dikarenakan berbagai faktor kekurangan gizi pada bayi. Diketahui bahwa antara 5 juta kelahiran bayi setiap tahun, sebanyak 1,2 juta bayi lahir dengan kondisi stunting. Artinya stunting itu terjadi di masa kehamilan. Sehingga ketika lahir, bayi dalam keadaan stunting. Tidak hanya itu, tingginya angka stunting juga ditambah dari bayi yang terlahir normal akan tetapi tumbuh dengan kekurangan asupan gizi baik dari kualitas ASI maupun makanannya sehingga menjadi stunting (Bkkbn.go.id, 18/02/2021).

Kondisi ketidakmampuan keluarga memberikan asupan gizi yang baik kepada ibu di masa kehamilan dan menyusui, atau asupun gizi yang diberikan kepada bayi menurut penulis berhubungan dengan ketidakmampuan ekonomi keluarga tersebut. Karena kebanyakan kasus stunting ini menimpa keluarga miskin. Kemiskinan yang mendera, membuat mereka sulit menyediakan makanan yang bergizi. Sayangnya kemiskinan yang terjadi bukan hanya secara kultural, melainkan lebih banyak karena struktural. Diterapkannya sistem ekonomi kapitalis di negeri kita, membuat jurang kemiskinan yang semakin menganga. Yang kaya semakin kaya, yang miskin bertambah menderita. Ditambah lagi dengan kondisi pandemi saat ini, memperburuk keadaan yang sudah ada.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Suprapto mengasumsikan bahwa adanya peningkatan angka pengangguran dan angka kemiskinan selama pandemi akan meningkatkan angka stunting. Hal ini dimungkinkan karena konsumsi pada kelompok ibu hamil, pada anak-anak, pada bayi, akan terjadi penurunan (Kemenkopmk.go.id, 03/02/2021).

Butuh Solusi yang Tepat

Sejauh ini upaya-upaya penurunan angka stunting telah dilakukan pemerintah baik pusat maupun daerah. Hanya saja upaya-upaya tersebut belum menyentuh akar persoalan. Selama akses para kepala keluarga untuk mendapatkan sumber penghasilan yang digunakan untuk membeli kebutuhan yang diperlukan untuk memenuhi gizi seimbang anggota keluarganya itu masih sulit, begitupun dalam hal mengakses fasilitas kesehatan tentunya persoalan stunting ini akan senantiasa ada. Oleh karena itu butuh solusi yang tepat dan bersifat sistemik dalam mengatasi akar masalah stunting ini. Solusi tersebut tentu saja tidak bisa diperoleh dari sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini.

Buktinya di saat warga negara membutuhkan pekerjaan karena banyaknya pengangguran dan pemutusam hubungan kerja (PHK), namun lapangan pekerjaan yang ada ternyata disediakan untuk warga negara lain (WNA). Tidak terkecuali perusahaan-perusahaan tambang di Sulawesi Tenggara. Padahal sesuai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa ”tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Adanya pasal tersebut harusnya negara menjamin agar setiap rakyatnya mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dengan penghidupan yang layak tentu saja tidak akan ada lagi keluarga-keluarga yang anaknya mengalami kasus stunting.

Sedangkan Islam memandang bahwa persoalan pemenuhan kebutuhan pokok memang menjadi tanggung jawab kepala keluarga. Jika kepala keluarga tidak ada atau tidak mampu, maka tanggung jawab itu akan diambil alih oleh kerabat dekat (yang memiliki kewajiban dalam memberi nafkah). Jika kerabat dekat tidak ada atau tidak mampu, kewajiban itu diambil oleh negara yaitu dari baitul mal. Namun terkait terjaminnya kebutuhan pokok bagi rakyat adalah tetap menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Orang per orang, bukan kolektif.

Seorang pemimpin harus memastikan bahwa negara memiliki ketersediaan pangan yang cukup bagi seluruh rakyatnya dan tentunya dengan harga terjangkau. Pemimpin juga memastikan negara memiliki ketersediaan lapangan pekerjaan untuk setiap kepala keluarga yang berada di wilayahnya. Sehingga setiap kepala keluarga keluarga bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Selain itu pemimpin harus memastikan bahwa setiap warga negaranya dapat mengakses fasilitas kesehatan tanpa ada kendala. Karena ketiga hal tersebut merupakan tanggung jawab seorang pemimpin yang nantinya akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. Rasulullah Saw. bersabda bahwa, “Seorang imam (pemimpin) adalah pengatur dan pemelihara urusan rakyatnya; dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, untuk menyelamatkan generasi dari bahaya stunting, harus dimulai adanya perubahan paradigma berfikir bahwa persoalan ini adalah persoalan sistemik. Solusi yang bersifat hakiki hanya dengan mengembalikan aturan Allah dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara yaitu aturan Islam.

Allah SWT berfirman, “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (TQS. Al A’raf: 96). Wallahu a’lam bisshowwab.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *