Tambang dan Mitos Kesejahteraan

Pena Opini1,175 views

Oleh: Syahril Haruddin

Pertambangan sering kali dikaitkan dengan janji kesejahteraan bagi masyarakat. Janji kesejahteraan itu dibangun dengan berbagai argumentasi dan wacana bahwa dengan adanya pertambangan akan mengurangi kemiskinan, membuka lapangan pekerjaan, hingga meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Atas berbagai argumentasi tersebut, maka pemerintah seringkali memberikan jalan tol bagi setiap perusahaan pertambangan untuk masuk di daerahnya. Akibatnya banyak daerah yang ditransformasikan menjadi area tambang, salah satu diantaranya berada di Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).

Berdasarkan informasi yang diperoleh, terdapat 15 izin usaha pertambangan yang terdapat di Kabupaten Konawe Kepulauan. Akan tetapi, kehendak pemerintah dalam pemberian izin tersebut mendapat perlawanan dari masyarakat, aktivis dan penggiat sosial lainnya.

Masyarakat merasa resah karena kehadiran tambang dapat menghilangkan atau merusak tanah-tanah yang dapat dipergunakan untuk bertani dan sebagainya (Kompas, 6 Maret 2019). Akan tetapi, tuntutan masyarakat tersebut nampaknya tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.

Warga Konawe Kepulauan yang sudah kesekian kalinya melakukan aksi belum juga ditemui oleh Gubernur Sulawesi Tenggara. Ironisnya, untuk bertemu sang gubernur, ratusan warga bersama seorang ibu yang ikut berjuang mempertahankan sebidang tanah sumber makan mereka harus mendapat tindakan represif dari negara, hanya karena pemerintah ingin memberi makan segelintir pengusaha saja.

Peristiwa ini memberi kesan bahwa pemerintah yang semestinya harus berdampingan bersama masyarakatnya, justru terlihat seolah-olah cenderung lebih dekat dengan para pemilik modal. Keberpihakan Itu dapat dilihat juga dari sikap pemerintah yang memaksakan otoritasnya memberikan izin meskipun harus bertentangan dengan Perda RTRW Provinsi Nomor 2 tahun 2014.

Sebagaimana dalam peraturan tersebut telah diatur bahwa Kabupaten Konawe Kepulauan hanya diperuntukan menjadi daerah pengembangan perikanan, pertanian, dan pariwisata. Bukan sebagai daerah pertambangan.

Perlu digaris bawahi, bahwa pertambangan tidak selamanya dapat memberikan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat. Justru sebaliknya, kehadiran tambang dapat memberikan dampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Operasi pertambangan membutuhkan lahan yang luas, dipenuhi dengan cara menggusur, atau merusak tanah milik dan wilayah kelola rakyat. Akibatnya, masyarakat kehilangan sumber produksi (tanah & kekayaan alam) yang menjadi sumber makan mereka.

Jika belajar dari beberapa kasus pertambangan yang terjadi di Indonesia, maka agak sulit untuk mengaitkan antara tambang dengan kesejahteraan masyarakat sekitar. Papua dapat menjadi salah-satu contoh bahwa janji tambang mensejahterakan hanyalah mitos semata. PT. Freeport yang juga merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia belum mampu menyelesaikan permasalahan ekonomi sosial masyarakat di bumi Cendrawasih.

Berdasarkan data statistik pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin di Papua berjumlah 760.350 orang dari jumlah penduduk 2.056.500. Selain itu adanya kasus kelaparan yang menyebabkan meninggalnya hampir 100 orang di Yahukimo semakin memperjelas bahwa tambang justru tidak dapat menyelesaikan kesenjangan ekonomi untuk diwilayah sekitaranya.

Mitos lain yaitu dengan adanya penyerapan tenaga kerja yang besar jika tambang beroperasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Hendra (2016), PT. SI yang berada di Tuban sebelumnya telah menyebutkan Bahwa akan ada penyerapan hingga 3000 orang ketika pabrik sudah mulai berjalan.

Namun pada kenyataannya hanya sekitar 300-an yang nantinya akan benar-benar bekerja. Diantara 300 itu pun hanya akan dipilih dengan kualifikasi tertentu seperti lulusan sarjana teknik, hal ini disebabkan karena pengelolaan tambang memerlukan keahlian teknologi tinggi. Sementara rata-rata masyarakat sekitar tambang mayoritas belum mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Akibatnya, banyak masyarakt desa yang dipekerjakan dalam posisi yang rendah. Artinya, Rekrutmen masyarakat sekitar bukan secara serius untuk mensejahterakan, melainkan hanya sebuah prasyarat.

Dari sektor PAD pun demikian, beberapa tempat menunjukkan bahwa sumbangan pendapatan dari pertambangan tidak memberikan kontribusi yang cukup besar. Hendra (2016) memperlihatkan data terkait PT. SI di Tuban. Pendapatan tambang yang diterima Pemerintah disana hanya kurang lebih Rp50 M. Masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan pendapatan dari bidang kesehatan sebesar Rp160 M.

Kasus lain terjadi di Bojonegoro yang juga pendapatan dari sektor kesehatannya lebih besar dari tambang migasnya. Begitu juga yang terjadi di Sulawesi Tenggara, pendapatan terbesar daerah berasal dari pajak kendaraan, bukan dari sektor pertambangan.

Beberapa contoh kasus pertambangan tersebut sengaja diuraikan untuk menjadi pelajaran bersama, bahwa “janji kesejahteraan” yang diajukan pertambangan di Indonesia hanya baik secara fiksi tetapi buruk secara realitas.

Akselerasi pembangunan melalui pengelolaan di bidang pertambangan sebagai jawaban untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), penyediaan lapangan kerja, percepatan pertumbuhan ekonomi atau pengurangan kemiskinan perlu dicermati kembali. Sebab, realitas yang terjadi dalam praktek pertambangan di beberapa daerah justru tidak memberikan kontribusi yang signifikan untuk kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, tambang hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, sementara masyarakat sekitar hanya bisa menikmati dampak kerusakan lingkungan, sosial dan ekonominya.(***)

Penulis adalah Wasekum Bidang Hubungan Masyarakat DPD KNPI Kota Baubau