Oleh: Sahrul
Rakyat mulai berbincang; 2019 ganti presiden. Kini negara tak lagi menghendaki rakyatnya untuk sejahtera di negerinya sendiri. Mereka mengatakan pemimpinnya telah menjadikan negara sebagai media konspirasi pihak asing untuk memuluskan investasi 9 naga. Tak ada lagi harapan, kita kalah, kita tak berdaya.
Modal asing sangat dekat dengan tahta-menyulap rakyat sebagai subjek yang tak penting lagi di republik ini. Gelombang kritik menyeruak dengan masifnya, tapi itu dianggap ujaran kebencian hingga berakhir di dalam jeruji besi. Rakyat tak mampu lagi melawan.
Janji kesejahteraan ibarat mutiara di sepeninggalan senja. Akhirnya, gerbong jenius tampak muram, kehilangan harapan, tak sanggup menceraikan Jokowi dengan konglomerat taipan.
Negara sebagai entitas rakyat harus berdaulat penuh. Sementara presiden adalah produk demokrasi yang dipilih oleh rakyat untuk memimpin negara. Dengan demikian Jokowi harus patuh terhadap amanah rakyat, menggerakan roda pemerintahan tanpa intervensi asing dan taipan.
Sungguh, ini konsep bernegara yang amat ideal jika komitmen pemimpin hadir sebagai solusi atas segala persoalan rakyat. Tapi, cerita ini tidak lebih dari sekedar ilusi rakyat tanpa makna. Jokowi lebih berpihak pada kepentingan modal asing; masuk tanpa syarat menjarah seluruh aset produksi di negeri ini.
Bahkan tenaga kerja mulai dari kuli hingga pimpinan perusahaan yang mengelola aset pertambangan dan energi di datangkan dari Cina.
Kita jadi penonton, selebihnya menjadi budak di perusahaan asing yang tersebar di beberapa wilayah di republik ini. Generasi penerus bangsa ini dibiarkan tak produktif, hidup melarat di tengah-tengah kekayaan alam yang melimpah.
Kebijakan dan aturan perusahaan asing lebih kuat dari kebijakan presiden. Para pencari kerja menenteng map masuk melamar di perusahaan tambang tapi selalu gagal syarat. Ironisnya, tenaga kerja asing mulai dari buru kasar hingga direktur melanggeng tanpa syarat mengisi ruang-ruang kerja diperusahaan tambang. Jokowi memerintahkan agar tenaga kerja asing di permudah masuk di Indonesia.
Tanpa kita sadari, Jokowi lebih kejam dari orde baru di bawa komando Soeharto. Pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis yang dahsyat, tapi rakyat tak berteriak dengan nasibnya. Di era ini boleh jadi sebagai puncak krisis di mana rakyat meraung-raung meratapi nasib, generasi muda bergejolak marah tak dapat kesempatan kerja.
Dan tenaga kerja menari-nari bahagia di atas penederitaan rakyat yang kelaparan. Padahal, Jokowi dalam kampanyenya sebagai calon presiden menjanjikan jutaan lapangan kerja untuk anak negeri. Ia berhianat. Entah bagaimana negeri taipan mengkompromi Jokowi hingga ada kesepakatan berdirinya perusahaan asing/Cina demikian tenaga kerjanya?.
Gerakan perlawanan terhadap rezim Jokowi tidak cukup dengan hastag “2019 Ganti Presiden” yang beredar luas di lembaran kaos. Semangat perlawanan yang solid harus kembali dikomandangkan sebagaimana Budi Utomo sukses menyatukan seluruh elemen pemuda di republik ini.
Gerakan rakyat 1998 sukses meruntuhkan kekuasaan orde baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Jika kita belum sanggup menyatukan gagasan perlawanan untuk sebuah perubahan maka yang terjadi hanyalah protes tanpa tujuan, boleh jadi dianggap hanya sebagai lelucon dan ilusi.
Lalu, masih layak kah Jokowi untuk di pilih kembali?
Pertanyaan yang amat sederhana untuk di jawab, tapi boleh jadi kita sanggup sama sekali menemukan jawabannya. Sebab, mengganti pemimpin bukan perkara mudah jika kita tak memiliki tokoh alternatif.
Teriak ganti presiden di prakarsai oleh kelompok yang krisis integritas dan moral. Isu SARA dianggap satu-satunya cara yang mumpuni untuk melengserkan Jokowi. Ini pertanda bahwa tokoh-tokoh penggerak Ganti Presiden tak cerdas, krisis gagasan dan tak layak menggantikan Jokowi. Mereka yang mempropaganda isu SARA adalah kelompok yang secara nyata berhianat terhadap negara.
Republik ini berdiri tegak dalam kebihnekaan-keragaman suku bangsa, agama, dan budaya.
Jika kita menolak kebihnekaan, maka kita menolak NKRI sebagaimana Bung Karno dan sejumlah tokoh perjuangan kemerdekaan mencatatanya dalam butir-butir Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jika semangat mengganti presiden masih mendorong tokoh-tokoh lama, itu artinya mereka sama buruknya dengan Jokowi. Atau lebih kerennya tidak lebih baik dari Jokowi.
Republik ini butuh tokoh alternatif yang lantang menyuarakan nasionalisasi aset pertambangan dan energi, mengambil alih perusahaan asing yang menjara kekayaan alam Indonesia dan mendeportasi tenaga kerja asing. Dengan semangat yang sama, kita harus segera menemukan tokoh alternatif yang dapat memberi solusi atas persoalan rakyat dan bangsa ini.***
Penulis adalah Wakil Ketua PKB Muna Barat Provinsi Sulawesi Tenggara