Oleh: Sahrul
Ingatkan saya jika ada uraian yang merusak aqidah. Islam dalam catatan sejarah sukses menguasai lebih dari seperdua belahan Bumi ini. Kisah pilu, air mata dan darah menjadi ujian bagi Nabi Muhammad, SAW menyiarkan kebenaran Islam; Berjaya dan kokoh mengukir peradaban besar lalu runtuh.
Masa ke emasan itu berlalu dengan begitu cepat hingga menjadi kisah-sejarah yang diagung-agungkan. Sesungguhnya runtuhnya peradaban Islam bukanlah sejarah yang patut di kenang. Sebab akan tiba saatnya, Islam menjadi satu-satunya Agama yang menyempurnahkan peradabannya; hingga seisi Bumi pun memeluk Islam.
Janji Allah itu bukan tanpa tantangan. Melalui firmanya, Dia memerintahkan kepada seluruh umat Manusia untuk melaksanakan semua perintahnya dan menjauhi semua laranganya (Iman dan Taqwa). Kini, kebesaran Islam tinggal kenangan setelah Rasulullah wafat bahkan para sahabat pun tak harmonis. Saling klaim kepantasan untuk melanjutkan kekhalifaan Nabi Muhammad semakin membuat Islam terpuruk.
Para sahabat masing-masing mengurai sejarahnya sebagai cara untuk meyakinkan bahwa salah satu diantara mereka pantas menggantikan kepemimpinan Rasulullah. Demikian yang terjadi antara kelompok Syiah dan Sunni, juga bagian-bagian Islam lainya dengan menjadikan mazhabnya sebagai alat kebenaran. Sungguh peliknya persoalanya hingga darah dan nyawa tak lagi berharga dalam pencarian kebenaran.
Sejarah bukan kitab suci. Membongkarnya, karena itu, bukan sesuatu yang tabu, apalagi diharamkan. Sejak dulu kala, sejarah itu tergantung dari siapa yang menulisnya. Selama penulisnya bukan Tuhan atau golongan orang suci seperti nabi, maka sejarah terbuka untuk dikritik, dibongkar habis atau malah dihapus sama sekali.
Memahami sejarah tanpa kritik sama saja menuhankan sejarah itu sendiri-atau mungkin sejarah itu tidak lebih dari sekedar mitos. Dan jika sejarah diurai dengan metode periwayatan sesuai dengan kaidah hukum, budaya Islam yang kita miliki saat ini, maka sudah selayaknya bagi kita untuk menjadikan sejarah sebagai sumber ilmiah yang penting. Bergaul dengan sejarah sama artinya dengan bergaul bersama kejadian masa lalu yang terstruktur dalam sebuah teori.
Kesenjangan kian memuncak tatkala Siyah-Sunni saling mengkafirkan. Syiah dengan dalilnya tak menghendaki hadis yang diriwayatkan oleh Abu Huraira diikuti oleh umat Islam. Sebab ia hanyalah seorang yang terakhir memeluk Islam dan hanya sebentar hidup bersama Rasulullah. Sementara hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ali cenderung ditinggalkan karena dianggap lemah oleh kelompok Sunni. Kendati demikian, Syiah menganggap Abu Huraira adalah “Komputer” Muawiyah yang khusus menagani riwayat Rasul. Mungkin kedua kelompok ini berusaha menjadikan pahaman sejarahnya sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dan mereka gagal memahami, jika Al-Quran menjadi sumber kebenaran umat Manusia untuk mengetahui sejarah masa lalu. Sebab, kebenaran Al-Quran bebas dari kendali ideologi bahkan jauh dari intrik politik.
Berbicara tentang Syiah-Sunni sama dengan berbicara tentang Islam dalam lingkup sejarah. Perilaku bermazhab yang mengatur kesadaran umat memiliki kecenderungan negatif. Bahkan menghancurkan kerukunan dan keharmonisan umat. Dan perilaku ini yang harus benar-benar kita tolak. Namun ini adalah kehendak yang amat sangat sulit dapat terwujud; pertumpahan darah diantara hamba Allah ini kian menakutkan hinggi kini. Rintihan berdarah tak henti-hentinya “Syiah-Sunni” mencari kebenaran sampai mati satu-satu. Saya katakan bahwa pembicaraan Syiah-Sunni sangatlah penting. Sebab, dengan membicarakannya dimungkinkan dapat mengikis jurang perbedaan antara keduanya.
Syiah-Sunni penamaan kelompok umat Islam yang tidak mencerminkan kebenaran. Penggunaan nama yang semakin salah kaprah ini dikarenakan penolakan gerakan Umawiyah. Hal sensitif yang memompa terpisahnya dua nama ini adalah bahwa sbutan “Ahlussunnah wal Jama’ah” masih berbau kata “sunnah” Rasul. Sedangkan nama “mazhab Siyah” tak berbau sedikitpun kata “sunnah”. Dengan demikian, Syiah adalah oposan dari Sunnah wal Jama’ah yang menjadi representasi sunnah Rasul. Namun Syiah menganggap hal ini sebagai penodaan dan penipuan sepanjang zaman.
Syiah, secara etimologi berarti mereka yang mengikuti dan menolong. Dalam lisan al’Arab, kata Syiah diartikan sebagai kelompok yang menyepakati suatu permasalahan. Bagi mereka yang menyepakati suatu permasalahan dan mengikuti pendapat sebagian yang lain disebut Syiah. Kata Syiah juga terdapat dalam al-Quran yang berarti golongan: Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (ash-Shafat:83). Kata syàya`a (bentuk kata kerja yang memiliki akar kata yang sama dengan syiah) yang mengandung arti “menguasai”. Seperti dalam puisi al-Kumait : Aku tidak ada kecuali keluarga Ahmad telah menguasaiku (menjadi tuanku). Aku tidak punya keyakinan kecuali keyakinan yang benar.
Secara terminologis, kata syiah adalah mengikuti dan menolong Ahlul Bait Nabi. Dan merekalah orang-orang yang membantu Ahlul Bait dalam setiap kesempatan, mengikuti perilaku Ahlul Bait, dan juga menjadikan Ahlul, Bait sebagai pemimpin mereka. Sementata istilah as-sunnah, secara etimologis, berarati jalan atau metode. Maka kata sunnah ar-rasul memiliki pengertian jalan atau metode Rasullullah SAW. Dalam lisan al-Arab karya Ibnu Mandhur, kata sunnah atau tasannun berarti jalan terpuji dan lurus.
Oleh karena itu, jika dikatakan “orang itu ahlussunnah” maka artinya orang itu melangkah kejakan yang terpuji dan lurus. Kata ahlussunna sendiri diambil dari kata as-sunan yang berarti jalan. Kata sunnah juga memiliki arti “garis hitam pada punggung keledai”.
Sedangkan secara terminologis, kata sunnah memiliki arti ssmua yang keluar dari Rasul saw, baik itu berupa perkataan, tindakan ataupun keputusan. Dan kata sunnah dijadikan mazhab bagi kaum Ahlussunnah wal Jama’ah yang berarti orang-orang yang memiliki jalan terpuji dan mengikuti Rasul serta golongan muslim. Orang-orang yang mengikuti jalan Rasul saw dissbut jama’ah sebagaimana sisabsakan Rasul saw dalam hadianya, “Tangan Allah itu bersama jama’ah.” Ibnu Khaldun berkata, “Ketahuilah, syiah secara etimologis adalah orang-orang yang mengikuti, dan dalam pengertian ahli fikih maupun teolog baik yang kuno maupun yang mutakhir adalah pengikut Ali dan keturunanya.
Syiah menurut pengertian ulama syiah sendiri adalah orang-orang yang menjalankan sunah Rasul saw, yang diambil dari silsilah keturunan yang suci. Hanya saja, dikarenakan adanya relasi-relasi politik dan ideologi yang menyertai perjalanan ke dua kelompok ini, akhirnya berbuahlah pertentangan yang tak terhitung jumlahnya. Dengan demikian pengungkapan kebenaran ini menjadi penting, setidaknya dapat mengakhiri konflik berdarah sesama hamba Allah. Dan menjadikan Alqur’an dan hadis sahih sebagai satu-satunya rujukan kebenaran Islam. Insha Allah.***
Penulis adalah Wakil Ketua PKB Muna Barat