Oleh: Amrin Lamena
Buton Tengah merupakan kabupaten baru di Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara usia Kabupaten Buton Tengah (Buteng) baru 4 tahun sejak mekar sebagai daerah otonomi baru (DOB) pada tahun 2014 lalu bersama dengan Kabupaten Buton Selatan (Busel) dari Kabupaten Buton sebagai daerah induk. Dua kabupaten baru di jazirah Kepulauan Buton ini juga sering kali disebut kembar.
Sekalipun Buteng tercatat baru berusia 4 tahun, namun wilayah yang juga dikenal dengan nama Gulamasta itu dominan wilayahnya berada di pesisir yang menyumbang penghasilan perikanan hampir setengah dari penghasilan Kabupaten Buton kala itu.
Di usia ke 4 ini, dibawa paket kepemimpinan pasangan Samahuddin dan Lantau sebagai Bupati dan wakil Bupati Buton Tengah, merupakan paket kepemimpinan definitif pertama, yang terpilih 15 Februari 2017 lalu.
Dibawa komando dua pemimpin yang bertangan dingin ini, daerah penghasil jambu mente itu kini mulai menunjukan perubahan yang signifikan.
Pembangunan infrastruktur di berbagai lini kini hampir klimaks, pelebaran dan pengaspalan jalan, pembangunan sarana dan prasarana pariwisata, rehabilitasi fasilitas pendidikan begitu gencar dibangun. Sebuah apresiasi yang patut disematkan pada paket kepemimpinan berakronim SamaTau itu.
Hal itu merupakan sala satu upayah Pemerintah Daerah (Pemda) Buton Tengah untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dengan kabupaten/kota lain di Indonesia. Minimal Buteng bisa menjadi “juara” di Kepulauan Buton sebagai daerah yang berkembang dan mampu bersaing dengan daerah lainnya di Indonesia yang sudah lebih dulu ada.
Sebagai DOB, Buteng harus menampakkan “wajah” yang ramah bagi penduduknya maupun kepada para investor yang menanamkan modal kedepannya. Nampaknya pada posisi ini Pemda Buteng berhasil menggait hati masyarakat sehingga dengan suka rela masyarakat merelakan lahan bahkan bagian rumah mereka harus dipotong dengan cuma-cuma, tanpa kompensasi. Istilah ini akhir-akhir ini dikenal “Yang Penting Kamu”.
Kepercayaan besar yang diperoleh dari masyarakat Buteng itu diharapkan berbagai program yang diimplementasikan mampu merubah wajah Buton Tengah dan mensejahterakan masyarakat. Namun, sangat disayangkan terkadang Pemda “kehabisan” stok ide yang kreatif untuk melakukan ekspansi pembangunan. Sehingga terkadang harus melakukan kecerobohan yang fatal bahkan mengabaikan regulasi yang ada.
Salah satu sumber pemasukan Pemda untuk menggerakan roda pembangunan di Buteng yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih dinilai sedikit sehingga Bupati Buteng menginstruksikan pada seluruh jajaran Dinas untuk melakukan upaya melobi ke pusat agar mendapatkan progran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Mengejar program yang jumbo atau besar dari pusat biasanya memaksa birokrat untuk memutar otak agar sesuai dengan target dan syarat-syarat yang diberlakukan pemerintah pusat untuk menurunkan programnya, sehingga dalam konteks tertentu birokrat di daerah mengambil jalan “pintas” untuk mengejar program-program dari kementrian tersebut.
Terkait dengan itu, berbagai kebijakan yang “meneror” warga Buton Tengah khususnya Kecamatan Mawasangka Timur menjadi perbincangan publik. Misalnya saja salah satu kebijakan kilat Pemda Buteng yang menempatkan lokasi rencana pembangunan Tempat Pemprosesan Akhir (TPA) kabupaten di Desa Batubanwa, Kecamatan Mawasangaka Timur yang sebelumnya diperuntukkan di Desa Metere, Kecamatan Lakudo.
Kebijakan kilat yang akan ditempuh Pemda tersebut tidak hanya melanggar Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2017-2037 juga mendapat kecaman dari sejumlah mahasiswa dan warga dari berbagai kelangan sosial.
Di media sosial (medsos) misalnya. Hal ini menjadi “dagelan” bagi para netizen yang notabene berasal dari Mawasangka Timur dan saya menganggap penolakan warga melalui medsos dan aksi demonstrasi beberapa waktu lalu begitu “heroik”.
Sayapun sepakat dengan sekelompok mahasiswa yang saban hari melakukan aksi unjuk rasa di kantor Bupati dan DPRD Buton Tengah menolak rencana Pemda tersebut. Pasalnya, lokasi yang direncanakan untuk pembangunan TPA tersebut jika merujuk pada Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 03-3241-1994 terkait kriteria lokasi TPA ditempatkan pada lahan yang tidak lagi produktif, jauh dari pemukiman dan beberapa kriteria lainnya yang tidak sesuai pada lokasi rencana pembangunan TPA di Desa Batubanawa.
Lantas mengapa Pemda akan menempuh kebijakan “kilat dan horor” tersebut. Pertama, mengejar terlaksananya program dengan anggaran besar (kepentingan proyek). Dengan dalih untuk meningkatkan pembangunan dan keterbukaan lapangan kerja, biasanya kebijakan yang “haram” pun akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Padahal, masih banyak alternatif lain yang dapat ditempuh untuk menempatkan lokasi TPA sesuai kriteria yang berlaku atau mengembalikan pada lokasi awal sebagaimana peruntukkannya di Perda RTRW dengan menempuh negosiasi pada masyarakat Desa Lolibu dan Pemerintah Desa Metere yang sempat kles.
Kedua, Mastim (Mawasangka Timur) adalah lahan basa. Bagaimana mungkin Pemda tidak tertarik dengan menempatkan lokasi TPA dengan anggaran besar tersebut di Mastim. Lahan-lahan dan tanah di Mastim tidak berharga, dalam hitung-hitungan proyek biaya pembebasan lahan lebih sedikit, tinggal bagaimana menghadiahi pihak-pihak terkait.
Ketiga, kepolosan masyarakat. Istilah, “Yang Penting Kamu” kini tenar di masyarakat, terlebih bagi kalangan aktivis yang menyimpan perhatian terhadap kebijakan-kebijakan Pemda yang begitu manjur melakukan negosiasi dengan masyarakat Mastim. Masyarakat Mastim begitu fanatik dengan orang nomor satu di Buteng itu sehingga apapun titahnya mulus-mulus saja sekalipun rumah, tanaman peliharaan dan tanah-tanah mereka diserahkan dengan ikhlas.
Ketiga, modus baru kebal hukum antikritik. Sepertinya Pemda Buteng ingin kembali ke orde baru dengan memanfaatkan kefanatikan dan kepolosan masyarakat, mencoba menunjukkan taringnya dengan membungkam sikap kritik kelompok pemuda yang ada di Buteng. Melalui tokoh-tokoh yang berpengaruh keluarga hingga orang tua para demonstran dirasuki agar melumpuhkan gerakan yang dibangun kelompok-kelompok pemuda itu.
Bila jiwa kritik telah menjauh dari warga dan semua kebijakan Pemda akan dianggap sah-sah saja, secara perlahan kontrol masyarakat akan hilang, dan inilah salah satu cara “halus” untuk melanggengkan hegemoni agresi yang mengabaikan prinsip humanis, bahkan mengabaikan peraturan-peraturan yang ada.
Benar, masyarakat harus bersinergi dengan mendukung setiap program yang baik dari Pemda. Tetapi, tidak pula memberikan kepercayaan berlebihan, bahwa “apapun kebijakan Pemda akan baik hasilnya”. Masyarakat tetap harus punya daya kritik, menjadi mitra yang kritis bagi pemerintah. Mengatakan salah jika salah, mengatakan benar jika benar.
Dengan begitu, setiap kebijakan dan program Pemda akan selalu tertuju pada bagaimana bisa memaksimalkan semua potensi, serta bagaimana bisa memaksimalkan pembangunan yang diharapkan bisa memberikan manfaat bagi masyarakat.
Kembali pada kebijakan kilat tadi. Kebijakan ini tentu saja tidak humanis dan bertentangan dengan visi SamaTau, yakni mewujudkan Kabupaten Buteng “Bersinar” (Berbudaya, Religius, Sejahtera, Indah, Amanah, dan Berdayasaing). Bagi penulis, Buteng akan bersinar bila pembangunan dan program Pemda bisa bersinergi perdasarkan pemanfaatan potensi di masing-masing wilayah kecamatan. Bukan yang penting membangun.
Dengan adanya penolakan warga Buteng terkait kebijakan kilat penetapan Desa Batubanawa sebagai lokasi TPA Kabupaten harus dikaji ulang. Bila kebijakan ini dipaksakan, penulis yakin akan terjadi perlawanan rakyat khususnya dari masyarakat Mawasangka Timur yang akhir-akhir ini tengah gencar-gencarnya mempromosikan Mastim sebagai kawasan destinasi pariwisata di Buteng.
Birokrat yang baik, harusnya memberi contoh yang baik. Merancang kebijakan, memberikan edukatif atas ketaatan pada aturan yang dibuat. Namun dengan kejadian ini menggambarkan kalau Pemda Buteng kekurangan stok birokrat yang konsisten dalam menegakan aturan. Kejadian ini juga, kedepan Pemda akan kehilangan power di masyarakat akan penegakan aturan-aturan yang di produksi Pemda Buteng.
Pemda harusnya mau duduk bersama masyarakat terlebih pemuda untuk merumuskan kebijakan- kebijakan alternatif yang bisa memacu pembangunan Buton Tengah. Terlebih terkait rencana pembangunan TPA di Desa Batubanawa yang menyangkut lingkungan hidup dan hajat hidup orang banyak, tidak hanya Mastim tapi juga Kecamatan Lakudo dan Mawasangka Tengah.
Namun, selama ini Pemda enggan untuk melibatkan masyarakat khususnya pemuda, melainkan mangkir dari ajakan diskusi pemuda. Padahal pemuda Buteng terdiri dari berbagai disiplin ilmu dan profesi yang tentu saja ada segudang ide yang akan disampaikan bila saja dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan.
Kebijakan publik tidak elok diberlakukan bila pelibatan masyarakat hanya secara perseorangan, apa lagi mendadak seperti kilat. Hasilnyapun tidak akan berefek baik di masyarakat. Bangunlah Buteng dengan terbuka dan humanis bukan dengan cara “agresi” yang mengakibatkan kecurigaan-kecurigaan di masyarakat, menghasilkan kebijakan yang tumpah tindih. Dan agar tidak menyimpan kesan “dibalik semangat pembangunan yang luar biasa terdapat borok korupsi yang tak kalah luar biasanya.”
Semoga saja tidak, dan semoga Pemda juga cepat sadar dengan kebijakan penetapan lokasi TPA tersebut.
Secerca tulisan ini bukan karena penulis benci ataupun tidak suka pada Pemda apalagi Bupatinya. Tapi bagi saya, sebagai masyarakat yang baik sudah semestinya menjadi jam weker (pengingat) bagi pemerintah.(***)
Penulis adalah Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Buton Tengah (HIMA Buteng) Baubau dan juga wartawan Penasultra.com