PENASULTRA.COM, MUNA – Pengerjaan pelebaran jalan poros Sultan Sahrir-Waara-Maabodo, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara ternyata tidak seluruhnya memenuhi harapan warga.
Bagaimana tidak, pembangunan pelebaran jalan di jalur tersebut menyisahkan masalah dan keluhan bagi warga yang lahannya terdampak pengerjaan.
“Rumahku yang ada dibukit sudah mau rubuh gara-gara jalan yang dilebarkan. Tanah disamping rumahku diambil, kalau dihitung ada puluhan ret, tapi digantikan hanya Rp3 juta saja,” keluh Wa Ode Ntata, Kamis 7 Juni 2018.
Kondisi ini sebenarnya sudah disampaikan ke kontraktor pengerjaan jalan. Namun sayangnya, saat hendak ditindak lanjuti kembali, sang kontraktor hilang bak ditelan bumi.
“Kata kontraktornya mau ditambah (ganti ruginya), tapi saya datang di rumahnya tidak ada orangnya. Dikasi nomor HP-nya, saya telpon tidak ada yang aktif,” tutur wanita berusia 52 tahun itu.
Menyikapi hal ini, pihak DPRD Muna justru mempertanyakan nomenklatur pekerjaan jalan tersebut.
Menurut Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Muna Awaluddin, pembangunan jalan yang dianggarkan tahun 2017 itu semestinya peningkatan satu jalan. Bukan pelebaran ruas jalan.
“Yang dikatakan peningkatan jalan misalnya dari pengerasan menjadi penetrasi, kemudian jadi pengaspalan. Lalu pengaspalan menjadi hot mix,” terang Awaluddin pada PENASULTRA.COM beberapa waktu lalu.
Awaluddin merasa lucu jika Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Muna mengartikan peningkatan itu adalah semua aspek, dan pada akhirnya yang dilakukan pelebaran akan jalur tersebut.
“Memang ke depan ini sesungguhnya ada rencana pemerintah setempat menjadikan jalan itu (poros Sutan Sahrir-Waara-Maabodo) dua jalur. Tetapi nomenklaturnya kemarin mestinya bukan seperti yang sudah dikerjakan saat ini,” imbuhnya.
Politisi PAN itu menduga, secara teknis Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Muna melakukan adendum (merubah jenis kegiatan). Parahnya lagi kata dia, pembangunan jalan yang kemudian melewati tanah-tanah masyarakat belum sepenuhnya diganti rugi.
“Kemarin memang Pemda Muna tidak mengajukan anggaran ganti rugi untuk lahan-lahan masyarakat itu. Biasanya juga diajukan sehingga kita bahas di DPRD,” beber Awaluddin
Ia menyebut, Pemkab hanya menyiapkan nomenklatur untuk konflik-konflik agraria antara pemerintah setempat dengan warga sekitar.
“Anggarannya itu sekitar Rp98 juta. Saya kira itu untuk ganti rugi, ternyata untuk konflik agraria,” terang pria yang karib disapa Iran itu.(a)
Penulis: Sudirman Behima
Editor: Ridho Achmed