Oleh: Rury Eprilurahman
Tingginya permintaan akan berbagai spesies Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) baik di pasar lokal maupun internasional memicu penurunan populasi di alam secara drastis. Salah satu spesies yang marak diperdagangkan terutama sejak satu dekade yang lalu adalah tokek rumah.
Perdagangan Tokek
Masyarakat telah mengenal tokek karena selain hidup di hutan, tokek juga dapat dijumpai di sekitar pemukiman warga. Hewan yang memiliki nama ilmiah Gekko gecko ini lekat dengan suaranya yang khas. Bahkan hingga saat ini tokek telah dikenal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tempat tinggal manusia. Pada umumnya tokek memiliki ukuran yang lebih besar daripada cecak. Salah satu peran penting tokek adalah sebagai pemangsa kecoa dan serangga lainnya yang berasosiasi dengan hunian manusia.
Tokek bagi sebagian besar masyarakat di Asia terutama Tiongkok dipercaya sebagai spesies yang memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit seperti asma, penyakit kulit hingga HIV/AIDS.
Meskipun belum teruji kebenarannya, permintaan tokek masih cukup tinggi dan memicu terjadinya perdagangan dalam jumlah yang besar yang mencapai jutaan ekor per tahunnya. Seperti dilaporkan dalam hasil investigasi Trade Records Analysis of Flora and Fauna in Commerce (TRAFFIC) di Malaysia (2013) dan Indonesia (2015), tokek merupakan komoditas yang cukup dicari di berbagai negara. Indonesiapun terkena imbasnya.
Sebagai negara yang merupakan habitat alami tokek dengan jumlah yang cukup besar, Indonesia juga berperan sebagai penyedia tokek bagi pasar dunia. Masyarakat mulai ramai mencoba memburu hingga mencoba membudidayakan tokek untuk mendapatkan keuntungan. Harga tokek yang cukup mahal merupakan iming-iming yang menggiurkan.
Tercatat di beberapa media massa pada tahun 2009 hingga 2018 pernah dilaporkan harga tokek dapat menembus miliaran rupiah. Hal tersebut tentu saja menyebabkan terjadinya perburuan yang cukup marak terutama individu tokek yang berukuran besar.
Ukuran normal tokek lebih kurang pada kisaran 30 cm dan berat individu dewasa berkisar antara 100 hingga 200 gram. Namun beberapa orang pernah mengaku menemukan individu dengan ukuran dan berat yang lebih dari kondisi tersebut. Semakin besar ukuran dan berat seekor tokek maka harganyapun akan semakin tinggi.
Penerapan Kuota
Setelah satu dekade berjalan, informasi terbaru tentang tokek rumah kembali muncul. Apa yang direkomendasikan dari hasil investigasi TRAFFIC tentang kondisi kebutuhan riil dan pemanfaatan tokek di Indonesia dan Malaysia akhirnya dilaksanakan.
Saat ini tokek rumah dimasukkan ke dalam daftar CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) apendiks II. Tokek masih bisa dipanen di alam namun dengan pembatasan kuota. Upaya lain seperti penangkaran juga bisa dilaksanakan tetapi harus sesuai dengan kapasitas biologi jenisnya.
Informasi tersebut seperti yang dilansir @CITES melalui akun twitternya pada 26 Agustus 2019, tokek saat ini telah resmi dimasukkan dalam apendiks II. Status tersebut memiliki pengertian bahwa tokek saat ini belum terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan.
Keputusan tersebut disambut baik oleh berbagai pihak. Seperti pernyataan dari Christiaan van der Hoeven sebagai perwakilan dari WWF yang menyampaikan: “Diperkirakan lebih dari satu juta tokek diperdagangkan setiap tahun. Meskipun belum diklasifikasikan sebagai terancam, ada indikasi bahwa perdagangan tokek sebagai obat tradisional dan hewan peliharaan telah menyebabkan penurunan populasi. Dengan penerapan yang efektif dari daftar terbaru ini, tokek akan mendapat manfaat dari peningkatan pemantauan dan regulasi perdagangan”.
Peraturan nasional tentang kuota perdagangan tokek sebenarnya juga sudah diterapkan dan dikaji tiap tahunnya. Seperti halnya pada tahun 2018 yang lalu, kuota tokek sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor: SK.500/KSDAE/SET/KSA.2/12/2017 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar Periode Tahun 2018 adalah 25.250 ekor untuk kuota tangkap dan 22.725 ekor untuk kuota ekspor.
Kuota tersebut merupakan gabungan dari 13 provinsi di Indonesia meliputi wilayah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan dan Sulawesi. Berdasarkan data-data yang diperoleh di lapangan, kuota tahun 2019 juga telah disesuaikan, disosialisasikan dan ditetapkan.
Implikasi Penetapan Apendiks II
Sebagai negara anggota CITES, Indonesia harus mematuhi peraturan tersebut. Perdagangan internasional tokek akan selalu diawasi dan dimonitor. Negara pengekspor dan pengimpor memiliki kewajiban untuk melaporkan volume perdagangannya kepada sekretariat CITES setiap tahunnya. Semuanya dilaksanakan untuk nilai kepatuhan terhadap konvensi agar perdagangan TSL memenuhi kaidah sustainability, legality dan tracebility.
Penerapan peraturan tersebut disisi lain memberikan keuntungan bagi Indonesia yaitu: 1) Perdagangan tokek menjadi lebih sistematis dan terpantau, 2) Populasi tokek di alam mendapatkan perhatian khusus demi menjaga keseimbangan ekosistem, 3) Budidaya tokek terutama untuk ekspor dapat dikembangkan di bawah pembinaan instansi-instansi terkait seperti Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Dengan masuknya tokek ke dalam daftar CITES Apendiks II diharapkan populasi di alam akan terus terjaga dan dapat bertahan secara berkelanjutan sesuai dengan tiga pilar konservasi yaitu study (pengkajian), save (melindungi dan menyelamatkan) dan use (pemanfaatan secara bijak).(***)
Penulis: Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Doktor Biologi Fakultas Biologi UGM