Oleh: Jaelani
23 Juli 1998–23 Juli 2018
Sebagaimana kita ketahui bersama, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) didirikan di Jakarta pada tanggal 23 Juli 1998 (29 Rabi’ul Awal 1419 Hijriyah) yang dideklarasikan oleh para kiai-kiai Nahdlatul Ulama. Secara organisasi partai ini terus tumbuh menjadi partai besar yang berideologi Pancasila dan konservatisme.
Seiring perkembangan demokrasi di Indonesia, partai ini tumbuh menjadi partai yang terus berbenah ditengah situasi politik yang mengalami pasang surut. Partai ini pertama kali mengikuti pemilu pada tahun 1999 dan pada tahun 2004 mengikutinya lagi. Partai yang berbasis kaum Nahdlatul Ulama ini sempat mengajukan Gus Dur sebagai presiden yang menjabat dari tahun 1999 sampai pertengahan 2001.
Pada tahun 2004, partai ini memperoleh hasil suara 10,57% (11.989.564) dan mendapatkan kursi sebanyak 52 di DPR RI. Partai Kebangkitan Bangsa mendapat 27 kursi (4,82%) di DPR RI hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2009, setelah mendapat sebanyak 5.146.122 suara (4,9%).
Ini berarti penurunan besar (50% kursi) dari hasil perolehan pada tahun 2004. Kemudian, pada Pemilu 2014 kemarin, suara partai meningkat dua kali lipat menjadi 9,04% (11.298.957) dengan mendapatkan 47 kursi di DPR-RI dan menargetkan pada pemilu 2019 akan memperoleh 100 kursi di DPR RI dan menjadikan Ketua Umum DPP PKB HA.Muhaimin Iskandar sebagai Wakil Presiden RI.
Dengan segenap perkembangannya, PKB hendaknya tetap merefleksikan posisinya—terlebih hari ini menjadi salah satu partai pengusung dan memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden, ditambah lagi dengan mendapatkan porsi 4 orang kader yang menduduki Kabinet Kerja Jokowi-JK. PKB tercatat sebagai partai yang konsisten mengawal pemerintahan sampai saat ini.
Pertarungan dimasa depan akan semakin berat bagi partai ini, terlebih PKB selain merepresentasi kekuatan Nahdliyin yang jumlahnya sangat signifikan dan merata di Nusantara–dengan segenap problematika keumatannya, disisi yang lain PKB juga adalah partai terbuka, sehingga penting untuk merefleksikan “lagi” banyak hal, termasuk segenap problematika kebangsaan.
Di ruang kebangsaan yang lebih makro, Islam di Indonesia—juga diminta zaman untuk menjaga sendi dan ruang hidup antar iman. Islam Indonesia yang pernah ditawarkan sebagai nilai dan praktik seharusnya tidaklah sekedar untuk menjawab tantangan zaman bangsa Indonesia. Lebih dari itu, ia harus menjadi model masyarakat Islam abad-XXI, yang kini bergulat melawan dua kecenderungan ideologi yang mengambil bentuk keyakinan dan praktik ekstrim, yakni radikalisme pasar dan radikalisme keagamaan.
Kekacauan sipil, politik dan militer yang melanda Timur Tengah, dengan judul bermacam-macam: Revolusi Yasmin, Revolusi Tunisami, Revolusi Melati, bukan saja berhasil menjungkirbalikkan tatanan politik lama yang tirani.
Serial revolusi, atau paling tidak, pemberontakan sipil yang menyerbu pusat-pusat kekuasaan, juga hendak mengatakan pada dunia internasional, jika model Islam Timur Tengah hari ini adalah cermin kegagalan rezim politik Islam bersenyawa dengan demokrasi dan tuntutan penegakkan HAM.
Kita juga tahu bersama, ditengah serial revolusi itu, negara-negara kuat (centris-state) bersiap menanam dan memperkuat pengaruh ekonomi, politik dan militernya.
Sebab itu, Islam di Indonesia akan menjadi sorotan internasional. Peristiwa teror yang diawali dari kerusuhan tahanan di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, tak lama berselang ledakan bom di tiga Gereja Surabaya (Gereja Santa Maria, Gereka Kristen Indonesia, Gereja Pantekosta), peristiwa teror di halaman Poltabes Surabaya dan aksi teror di Mapolda Riau yang barusan saja terjadi seolah seperti jerawat yang tumbuh dihidung gadis berparas cantik.
Peristiwa kekerasan berselubung jubah agama seperti hendak membawa kita berkesimpulan bahwa problem Islam Indonesia masih berkutat dengan kerukunan umat beragam. Sedang, kita tahu bersama, kompleksitas masalah kebangsaan kita bertumbuh hampir disemua ruang hidup kolektif; kerukukunan umat beragama seringkali hanya mewakili fenomena gunung es saja.
Pada konteks yang demikian, mau tak mau, PKB sebagai partai yang merepresentasi NU harus menampilkan perannya sebagai garda depan pergerakan politik yang berhaluan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Apa yang disebut sebagai Islam Rahmatan Lil Alamin haruslah diterjemahkan dalam praktik-praktik nyata termasuk dalam politik.
Jika tidak begitu, maka Islam Rahmatan Lil Alamin hanya bukan saja berhenti menjadi klaim dan fosil pemikiran, tetapi juga, akan punah dari sejarah kebangsaan kita.
Disisi yang lebih internal, pertumbuhan PKB juga menyertai beberapa perkembangan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Di antaranya adalah, pertama, transisi politik nasional, lebih khususnya adalah perkembangan dinamika politik, yakni pemilihan kepala daerah dan anggota perwakilan secara langsung. Salah satu dampak penting dari perkembangan ini adalah meluasnya pola politik transaksional dimana nilai, gagasan, dan ideologi yang menjadi ukuran utama, selain uang.
Kedua, terbukanya ruang komunikasi ditingkat publik, yang ditandai dengan pertumbuhan media massa, disatu sisi, memberi efek banjir informasi, namun disisi yang lainnya, memberi ruang bagi terkonstruksinya tirani media massa; yang mewakili trend dari bentuk-bentuk simulacra dalam bahasa Jean Baudillard.
Ketiga, otonomi daerah yang berjalan sejak 1999 juga menandai perkembangan demokratisasi yang sangat penting untuk disikapi. Sebagaimana lazimnya sebuah praktik, maka demokrasi juga memiliki potensi untuk dibajak oleh kekuatan-kekuatan dominan di masyarakat. Kekuatan-kekuatan dominan yang diberi judul oleh teori politik sebagai oligarki local, kartel politik, atau bahkan, dinasti politik.
Keempat, tata ekonomi nasional yang terbajak oleh nalar, kepentingan dan desain kapitalisme lanjut (spaatcapitalismus). Keterbajakan historis-structural yang demikian mengakibatkan negara berjalan sempoyongan diantara pertarungan modal dan kelompok-kelompok nasionalis.
Sedikit fenomena diatas menjadi penegas jikalau kompleksitas masalah yang terjadi dalam hidup berbangsa kita bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Saling berelasinya fenomena itu juga terkerangkakan dalam perang pengaruh diantara negara-negara kuat dan perebutan sumberdaya energi demi mengendalikan dunia.
20 Tahun Partai Kebangkitan Bangsa;
Dua puluh tahun PKB didirikan sebagai Partai yang mewarnai peta politik Indonesia, tahun politik 2019 mendatang merupakan momentum penting sekaligus ujian berat bagi perjalanannya. Ini tentu kita maknai sebagai perjalanan historis dimana PKB menata dirinya terus menerus seiring perubahan yang terjadi disekitarnya, baik dilingkungan terdekat, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), maupun lingkungan yang lebih besar, yakni tanah air dan bangsa.
Kelahiran PKB (1998) tak bisa difahami terpisah dari perubahan tata dunia internasional, transisi politik nasional, termasuk dinamika gerakan-gerakan Islam di Nusantara. Dari landskap sejarah demikian–PKB menginternalisasi sekaligus mentransformasi mandat sejarahnya.
PKB di masa kepemimpinan Muhaimin Iskandar telah mengambil pilihan untuk memajukan dan mempraksiskan visi politik Rahmatan Lil Alamin sebagai sebuah gerakan yang berbasis pada kenyataan geografi nasional kita.
Pilihan itu kemudian dibahasakan sebagai usaha kolektif partai dalam membangun sebuah partai yang lebih modern dan dalam konteks yang lebih real politik harus memiliki jumlah kursi yang signifikan di setiap locusnya, mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Dan yang utama adalah mengulang sejarah Gus Dur dengan menjadikan Muhaimin Iskandar sebagai Wakil Presiden Indonesia.
Salah satu jalan untuk membangun visi politik tersebut adalah dengan kaderisasi—yang menjadikan proses politik serta pendayagunaan kekuasaan dan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari ibadah termasuk terus-menerus melaksanakan konsolidasi masyarakat disemua lapisan dan semua kelompok sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.
Selamat Harlah Partai Kebangkitan Bangsa yang ke 20, semoga tetap Istiqomah dalam mengawal cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945, mewujudkan masyarakat adil dan makmur lahir dan bathin, materil dan spiritual, serta senantiasa menjadi partai yang bercita-cita mewujudkan tatanan politik nasional yang demokratis, bersih dan berakhlakul karimah.(***)
Wallahulmuwafieq Ilaa Aqwamithorieq
Penulis adalah :
1. Alumni Pascasarjana Kajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia
2. Ketua Umum Gema Desantara
3. Generasi Muda Kebangkitan Bangsa