Oleh: Maolana Mohammad Sah
Perjuangan dalam meningkatkan perhargaan terhadap kemanusiaan sudah berlangsung sejak zaman dulu kala. Perjuangan ini dikobarkan dari beberapa aspek, misalnya agama dan ilmu pengetahuan. Berdasarkan kedua aspek ini saja melahirkan berbagai macam produk yang menjadi alat untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan di muka bumi ini. Kita bisa lihat banyak hukum-hukum yang dikeluarkan di seluruh dunia yang berdasarkan dari dua aspek yang tadi.
Keistimewaannya, satu-satunya makhluk yang memikirkan dan memperjuangkan nilai-nilai terhadap dirinya adalah manusia. Hal ini semestinya menjadi keajaiban dunia yang sayangnya tidak menjadi spesial lagi dikarenakan beberapa faktor. Faktor kebiasaan, Faktor sikap apatis dan lain sebagainya bisa menjadi pendukung keistimewaan ini tidak kelihatan lagi.
Namun, yang menjadi paradoks dalam tulisan ini adalah teman-teman yang berstatus Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) kehilangan nilai kemunisaannya sampai kehilangan Rahmat Tuhan yang disebabkan penfasiran manusia tehadap agama.
Akhirnyya agama yamg awalnya memperjuangkan nilai-nilai kemusiaan menjadi alat untuk menghilangkan nilai-nilai kemanusia. Sehingga keputusan Tuhan untuk menentukan dia masuk neraka dan surga telah diambil ahli oleh manusia-manusia yang beragama. Sampai hukum najis menghukumi untuk mendekati LGBT.
Pada suatu ketika saya berasumsi. Kayaknya masa-masa yang sedang mengalami kekosongan Nabi dan Rosul secara fisik, menyebabkan manusia-manusia yang anggap diri mereka suci mengisi kekosongan tersebut walaupun tanpa adanya wahyu turun kepada mereka. Sehingga peran Nabi dan Rosul (sampai peran Tuhan pun) diambil alih untuk menentukan siapa yang paling bersih dan siapa yang akan masuk surga/neraka, kapan azab tiba dan memastikan bencana alam adalah kemarahan Tuhan akibat LGBT, tanpa menghiraukan analisis ilmu pengetahuan.
Semakin parahnya, mereka mampu mencabut kemanusiaan LGBT di ujung kegelapan kemarjinalan. Seharunya kita harus membedakan hubungan vertikal dan hubungan horisontal yang menjadi acuan kita untuk mengakui bahwa kita semua (manusia) adalah mahluk yang sama dan akan diadili bersama-sama berdasarkan dosa dan amalan yang telah dilakukan di bumi ini, walaupun itu sebesar sebutir pasir zahara.
Saya takut teman-teman LGBT akan ragu untuk beragama, karena Tuhan saja tidak bisa terima diri mereka apa adanya. Padahal mereka merupakan ciptaan Tuhan juga atau apakah kita harus bertanya kalau LGBT adalah ciptaan Tuhan yang gagal?.
Saya bukanlah ahli agama yang dapat merincikan ayat per ayat untuk membela kemanusiaan LGBT yang pada hakikatnya mereka adalah manusia yang sama dengan yang lain. Disini pun kita harus mampu membedakan antara nilai kemanusiaan dengan prilaku atau dosa yang dilakukan.
Sebab seorang Nabi dan Rosul pun dapat menjaga kemanusiaan pada diri manusia yang berbuat kesalahan atau dosa. Namun kenapa yang berada dibaris depan mempelajari agama, memiliki kearogansian surga dan seolah-olah memiliki legalitas untuk menentukan siapa yang baik dan buruk di mata Tuhan. Saya pun menjadi penasaran, kapan Tuhan memberikan Surat Mandat kepada mereka, sehingga mereka bisa beprilaku seperti Nabi/Rosul sampai Tuhan.
Saya yakin, tidak satupun mansuia yang terjebat dengan kelainan seksualitas sudah direncakan sebelum mereka dikeluarkan dari rahim ibunya. Saya pun percaya, teman-teman LGBT ingin menjadi normal seperti yang lain. Apakah kita ingat, kelahiran kita sebagai rencana Tuhan yang sempurna dan Roh Tuhan ada di dalam diri kita. Lalu kenapa LGBT menjadi najis dan harus dijauhi, padahal mereka adalah korban dari pola asuh dan lingkungan.
Para ilmuan telah mengetahui hal ini, mereka juga telah mendalami nilai-nilai kemanusiaan. Namun sayangnya banyak diantara mereka yang mengingkari nilai-nilai kemanusia. Baik yang mendalami psikologi, sosial, budaya dan agama. Mereka adalah manusia-manusia yang memiliki kebijakan yang lebih karena mereka dapat melihat dibalik tubuh kasar yang berdiri tegak di depannya.
Mereka pun dapat meraba penyebab kenapa ada manusia yang abnormal. Saya pikir merekalah ujung tombak penentu penilaian kita terhadap mereka-mereka yang berbeda dengan mayoritas. Namun mereka kadang lupa dengan ilmu pengetahuan yang didapati untuk menunjukkan bahwa diri mereka paling sempurna daripada yang lain.
Perlu kita ketahui, ilmuan psikologi tidak semua memiliki jiwa psikologi, ilmuan sosial tidak semua berjiwa sosial dan seterusnya. Kenapa hal ini terjadi?. Seharusnya kita akui ilmu pengetahuan kadang tidak menjadi dasar pemikiran dan prilaku pada sebagian manusia yang menuntut ilmu di sekolah-sekolah.
Namun pendidikan dijadikan alat untuk memperkaya diri atau meninggikan derajat mereka dengan titel-titel yang mereka peroleh. Tanpa memperhatikan atau menginternalisasi ilmu pengetahuan ke dalam diri mereka. Misalnya, dalam ilmu psikologi mengatakan bahwa manusia itu berbeda-beda dan memiliki ciri khas yang dipengaruhi oleh faktor pengalaman dan gen.
Namun kadang saya mendapatkan ada ilmuan yang menuntut manusia yang berbeda itu harus sama dengan yang lain. Sampai menghukumi yang berbeda itu dengan dosa atau nereka. Saya langsung berpikir apakah dia adalah Tuhan yang turun ke bumi?.
Ilmu pengetahuan dan agama memang tidak memiliki spasi yang menjadikan kedua hal itu pembahasan yang terpisah. Namun, agama adalah norma ketika menafsirkan ilmu pengetahuan dan beprilaku. Bukan merupakan sebuah alat untuk memberikan nilai sampai menghukumi orang lain, karena agama yang dipercayai merupakan penafsiran manusia yang bisa salah atau benar.
Seharusnya agamawan dan ilmuan menjadi pelopor dibaris depan untuk merangkul teman-teman LGBT tanpa melihat dosa yang mereka lakukan. Saya pun yakin, kita tidak luput dari dosa yang telah dilakukan, baik itu besar ataupun kecil. Hanya saja dosa itu ditutupi dengan topeng agama dan titel.
Saya sayangkan, jika termarjinalkan teman-teman LGBT di ligkungan yang mereka dilahirkan dan hidup diakibatkan dari pembenaran yang dilakukan oleh oknum agamawan dan ilmuan. Disinipun kita tidak pernah mengposisikan diri kita di tempat orang lain, tidak pernah mengerti apa yang dirasakan dan dilalui.
Mereka selalu menggambarkan super hero yang bisa melalui segala rintangan dengan aman dan tenang. Padahal mereka sendiri kadang jatuh pada lubang dan bangkit dengan keterpurukan.
Dunia ini sangat indah dengan perbedaan, dunia ini maju karena perbedaan. Kriminalisasi tetap di larang dan dihukumi di dunia ini. Namun tindakan itu tidak seharusnya menghilangkan kemanusiaan teman-teman LGBT. Kita tidak perlu kahwatir jika surga sepi dan neraka ramai. Kita pun tidak perlu cemas jika banyak yang menyimpang sampai kiamat datang. Tugas kita bukan sebagai hakim akhirat.
Tapi kita harusnya berlomba-lomba berbuat kebaikan dan tidak memaksa keinginan kita kepada orang lain.
Biarlah Tuhan yang mengadili semua perbuatan kita di dunia ini. Hentikanlah berperan menjadi tuhan-tuhan yang menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan teman-teman LGBT.
Kesetaraan harus dijunjung tinggi, ilmuan harus merangkul dan mengajak dengan baik sesuai keilmuannya. Teman-teman LGBT adalah teman/sahabat yang harus dirangkul.***
Penulis adalah Dosen Psikologi di Universitas Halu Oleo Kendari