Oleh: Fadhliyah, S. Si
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani menyatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan berlaku mulai 1 September 2019. “Sudah (akan berlaku 1 September),” katanya di Gedung DPR, Kamis (29/8).
Sebelum diterapkan, kata Puan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal menerbitkan peraturan presiden pada akhir bulan ini. Setelah perpres terbit, Kementerian PMK akan menerbitkan aturan turunan berupa peraturan menteri koordinator PMK (cnnindonesia.com).
Neraca Selalu Defisit, Mengapa Bisa Terjadi?
Kenaikan iuran BPJS untuk yang kesekian kalinya ini merupakan bukti ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Permasalahan anggaran BPJS selalu menjadi polemik dimasyarakat yang tak berkesudahan. Mulai dari kesesuaiannya dengan Syariah, defisit anggaran, gaji direktur yang tinggi, pelayanan yang tidak memuaskan, bahkan penghapusan jenis-jenis penyakit yang tidak akan dibiayai.
Defisitnya anggaran BPJS menjadi tanda tanya besar, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Kita ketahui bersama bahwa setiap harinya jumlah semakin bertambah. Meningkatnya peserta BPJS Kesehatan tak lepas dari regulasi UU No. 24/2011 yang mewajibkan rakyat untuk menjadi peserta program jaminan sosial.
Awal 2019 tercatat bahwa peserta BPJS Kesehatan mencapai 75% sebagai peserta BPJS, dan 10 juta di antaranya disubsidi oleh Negara. Peningkatan tersebut nampaknya tak kunjung menyelesaikan defisit, sekalipun ke depannya kepesertaan berubah menjadi 100%. Besarnya iuran yang dibayar tak bisa menutupi rata-rata biaya peserta. Untuk mencukupi biaya pengobatan satu peserta saja BPJS Kesehatan mengalami kerugian per bulan, apalagi sampai menanggung ratusan juta peserta lainnya.
Melihat dari banyaknya peserta BPJS Kesehatan, seharusnya defisit berkurang dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada rakyat juga semakin baik. Adapun sejumlah orang yang merasakan manfaat BPJS Kesehatan, jelas tidak dapat menegasikan fakta buruk ini. Bahkan itu hanyalah manfaat semu.
Manfaat di atas penderitaan orang lain, yang bersusah payah membayar premi tapi belum tentu butuh dan saat butuh belum tentu mendapatkan pelayanan kesehatan. Bahkan BPJS Kesehatan sebenarnya tidak pernah bermaksud memberikan manfaat secara tulus. Yang ada hanyalah, publik dijadikan objek bisnis. Inilah fakta pelayanan kesehatan sistem politik demokrasi, cerminan kerusakan dan kegagalan peradaban barat sekuler.
Semua bermula dari kelalaian negara, berupa penyerahan wewenang dan tanggung jawab yang begitu penting kepada BPJS Kesehatan. Konsekuensi logis liberalisasi fungsi negara yang dipandang baik bahkan harus dalam sistem politik demokrasi. Karena dianggap institusi bisnis dalam hal ini BPJS Kesehatan lebih mampu dalam pengelolaan pelayanan kesehatan dari pada negara, meski hingga kini anggapan itu tidak pernah terbukti. Sebab, sedari awal BPJS Kesehatan terus didera tekanan keuangan yang semakin berat dari tahun ke tahun.
Ini di satu sisi, di sisi lain kemampuan BPJS Kesehatan begitu buruk dalam menjamin keterpenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan tiap orang sebagaimana tampak dari banyaknya kejadian diskriminisasi pelayanan. Ini jelas bukan persoalan kurangnya dukungan berbagai pihak terhadap pelaksanaan BPJS Kesehatan serta cakupan kepesertaan yang belum menyeluruh. Sebab, kondisi serupa juga diidap banyak lembaga bisnis keuangan kapitalisme asuransi kesehatan wajib, termasuk National Health System (NHS) di Inggris, yang berusia puluhan tahun dan (Gesetzliche Kranke Versicherung, GKV) di Jerman yang berusia hitungan abad.
Pelayanan Kesehatan Khilafah Model Terbaik
Kesehatan adalah kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi oleh negara terhadap rakyatnya. Selama pengaturan hidup bernegara tetap menjadikan kapitalis dan liberalis sebagai panduannya, maka setiap program yang dijalankan akan selalu memandang untung-rugi dalam hal pelaksanaanya.
Penyerahan tugas pemerintah kepada BPJS Kesehatan sebagai pihak swasta merupakan bukti bahwa negara berlepas tangan dalam mempertanggung-jawabkan hak rakyat dalam hal kesehatan.
Berbeda dengan pelayanan kesehatan khilafah. Ia adalah pelayanan kesehatan terbaik sepanjang masa, dilingkupi atmosfir kemanusiaan yang begitu sempurna.
Hal ini karena negara hadir sebagai penerap syariat Islam secara kaaffah, termasuk yang bertanggungjawab langsung dan sepenuhnya terhadap pemenuhan hajat pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik setiap individu publik. Sebab Rasulullah SWT telah menegaskan yang artinya,” “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari). Artinya, haram negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, apapun alasannya.
Kehadiran negara sebagai pelaksana syariah secara kaafah, khususnya dalam pengelolaan kekayaan negara menjadikan negara berkemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan berbagai fungsi dan tanggung jawabnya. Tidak terkecuali tanggung jawab menjamin pemenuhan hajat setiap orang terhadap pelayanan kesehatan. Gratis, berkualitas terbaik serta terpenuhi aspek ketersediaan, kesinambungan dan ketercapaian.
Dalam hal ini negara harus menerapkan konsep anggaran mutlak, berapapun biaya yang dibutuhkan harus dipenuhi. Karena negara adalah pihak yang berada di garda terdepan dalam pencegahan dan peniadaan penderitaan publik.
Demikianlah tuntunan ajaran Islam yang mulia. Hasilnya, rumah sakit, dokter dan para medis tersedia secara memadai dengan sebaran yang memadai pula. Difasilitasi negara dengan berbagai aspek bagi terwujudnya standar pelayanan medis terbaik. Baik aspek penguasaan ilmu pengetahuan dan keahlian terkini, ketersediaan obat dan alat kedokteran terbaik hingga gaji dan beban kerja yang manusiawi.(***)
Penulis adalah Pemerhati Sosial Pendidikan