Adakah Masa Depan Swasembada Pangan Indonesia?

Pena Opini537 views

Oleh: Yustina Salsinha

Indonesia di balik eksotisme keindahan ekosistemnya menyimpan resah sepanjang tahun akibat iklim kering yang berkepanjangan.

Tidak hanya menyumbang konsistensi bagi keindahan stepa dan sabana, iklim kering yang panjang juga membawa dampak negatif bagi pertanian di wilayah ini.

Tak dapat dipungkiri, kekeringan yang semakin meluas hingga beberapa tahun belakangan menyebabkan Indonesia harus bersiap-siap dengan segala kemungkinan terburuk pertaniannya di masa depan, hingga saat ini Indonesia masih tercatat sebagai negara pengimpor beras yang tinggi.

Tak pelak, kondisi ini berujung pada status pertanian yang goncang akhir-akhir ini.

Sebagai upaya mitigasi terhadap efek berantai dari penurunan produktivitas pertanian Indonesia, telah banyak usaha dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah melalui intensifikasi pertanian, peningkatan pasokan cadangan beras pemerintah, termasuk di antaranya membangun kerjasama dengan lembaga masyarakat.

Di tengah anomali iklim dan kekeringan ini, akankah NTT mencapai mimpi besarnya untuk berdaulat pangan di masa depan?

Potret Pertanian Indonesia

Secara komparatif, iklim dan geografis di wilayah Indonesia sebagian besar didominasi iklim tropis dengan cakupan lahan non-produktif yang luas. Potensi pertanian lahan kering di wilayah ini sekitar 76,3 juta hektar, sangat jauh dibandingkan potensi lahan basahnya sebesar 24,5 juta Ha yang tersebar diseluruh wilayah kabupaten/kota.

Dari total luas potensi lahan kering tersebut, yang sudah dimanfaatkan masih relatif sangat kecil, bergantung pada musim hujan dan sentuhan irigasi pertanian setiap kabupatennya.

Meski total lahan basah produktif masih sangat rendah, berdasarkan data BPS mayoritas penduduk di wilayah Indonesia menggantungkan mata pencahariannya pada produksi pangan dan pertanian. Selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, hasil produksi yang signifikan rendah ini juga menjadi sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Fakta lapangan menunjukkan, permasalahan pertanian di lahan kering tidak hanya disebabkan karena curah hujan yang rendah, ijin penggunaan lahan yang pelik, ekosistem lahan yang rapuh, infrastruktur yang terbatas dan sumber daya yang rendah. Lebih dari itu, rendahnya pemanfaatan lahan kering merupakan efek permasalahan sosial dan ekonomi yang kompleks.

Alternatif Solusi Pertanian

Rendahnya pemanfaatan potensi lahan kering berhubungan erat dengan masalah teknis budidaya pertanian lahan kering serta rendahnya motivasi masyarakat. Momok kekeringan seakan menghantui setiap usaha budidaya yang dilakukan. Dalam menghadapi efek kekeringan berkepanjangan, alternatif solusi untuk tetap meningkatkan produksi pertanian wilayah Indonesia harus difokuskan pada masalah ini.

Perbaikan sistem budidaya dengan memanfaatkan tanaman serelia seperti jagung, sorghum dan padi gogo toleran kekeringan merupakan bentuk usaha yang dapat dilakukan. Balitbang (2016) mengungkapkan bahwa wilayah timur Indonesia memiliki plasma nutfah padi gogo yang tinggi yang dapat dibudidayakan dengan cara sederhana.

Potensi ini hanya akan tinggal sebagai teori jika tidak ada kerjasama masyarakat, lembaga-lembaga terkait dan pemerintah.
Usaha pengembangan pertanian lahan kering yang besar tersebut juga membutuhkan koordinasi dengan perguruan tinggi sebagai mediator netral yang memiliki sumber daya manusia tinggi dan lingkup ilmu yang beragam.

Tidak hanya masalah ekosistem dan hujan, peningkatan produksi pertanian membutuhkan komunikasi, pemanfaatan teknologi tepat guna dan pola kemitraan yang sinergis antar pemerintah, peguruan tinggi, masyarakat dan lembaga terkait.

Namun di samping kemitraan yang kuat, hal mendasar yang menjadi akar pengoptimalan potensi lahan kering Indonesia adalah perubahan pola konsumsi masyarakat yang sudah terlanjur ‘mencintai beras’. “tidak ada nasi berarti tidak makan”.

Tentu saja untuk mengurangi hal ini tidak serta kita merta mengutuk pola konsumsi masyarakat tersebut.

Pendekatan melalui program-program diversifikasi pangan berbasis potensi lokal menjadi kuncinya. Mengangkat gerakan diversifikasi pangan tentu saja bukan hanya tugas badan ketahanan pangan.

Lingkup keluarga, lembaga pendidikan dan kelompok masyarakat perlu memposisikan gerakan ini sebagai bagian penting dalam keseharian menuju kedaulatan pangan. Tentu saja, tidak mudah untuk memulai gerakan ini, tetapi bukan tidak mungkin Indonesia swasembada pangan di tengah ancaman deras kekeringan di masa depan.(***)

Penulis: Mahasiswa Program Doktor Fakultas Biologi UGM