Oleh: Maolana Mohammad Sah
Banyak tanggapan orang tua mengatakan anak tidak boleh dijadikan bahan percobaan. Namun sadar atau tidak sadar, anak telah menjadi objek eksperimen mereka di rumah, di masyarakat, maupun di sekolah. Mari kita berpikir!!!.
Hampir semua orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang “sukses”. Arti kata “Sukses” bukanlah suatu yang objektif dan bersifat generalisasi. Karena arti kata “sukses” tergantung pada keinginan, ambisi, keyakinan, budaya ataupun sesuatu yang orang tua inginkan tapi tidak tercapai pada dirinya. Hal inilah yang menjadi perbedaan dari setiap cara, teknik atau jenis pola asuh yang mereka terapkan kepada anaknya.
Pada umumnya pola asuh terdiri dari empat jenis, yakni: demokrasi, permisif, otoriter dan pola asuh yang menggambarkan orang tua yang acuh terhadap anaknya. Keempat pola asuh ini sangat terkenal dikalangam orang tua maupun yang belum menjadi orang tua. Serta masih menjadi perdebatan yang menarik untuk menentukan pola asuh mana yang efektif atau bagus untuk diterapkan kepada anak. Saat ini kita tidak perlu membahas perdebatan tersebut, biarkan para akademisi yang pusing tentang hal tersebut. Marilah kita lihat lingkungan kita, tetangga kita dan diri kita sendiri (orang tua).
Apakah orang tua bisa konsisten menerapkan satu pola asuh kepada anaknya?. Kemungkinan besar mereka tidak bisa konsisten dengan hal itu, karena terkadang dalam kondisi tertentu mereka cenderung melakukan pencampuran dari keempat pola asuh tersebut untuk menghindari penilaian negatif dari orang lain. Misalnya, orang tua yang demokrasi bisa menjadi otoriter ketika menghadapi tingkah laku anak di ruang publik, seperti saat anak merengek-rengek meminta sesuatu yang diinginkan atau ketika anak banyak bertanya/bicara ketika orang tua sedang bicara dengan tamu. Hal ini kemunginan terjadi disebabkan karena orang tua tidak ingin dinilai negatif oleh orang lain.
Perlu diketahui, hasil yang dicapai dari 4 jenis pola asuh atau campuran dari keempat tersebut tidak memiliki kepastian. Semua gambaran hasil yang dicapai merupakan prediksi yang masih perlu dipertanyakan. Namun kebanyakan orang tua berkeyakinan dengan menerapkan salah satu dari jenis pola asuh tersebut dapat menghasilkan anak yang diinginkannya. Bahkan ada orang tua menyakini apa yang mereka terapkan merupakan hal yang paling bagus, karena apa yang mereka terapkan adalah sesuatu yang mereka dapat dari orang tua mereka di zaman dulu dan hasilnya bisa terlihat dari mereka sendiri.
Imam Ali pernah mengatakan “Jangan paksa anakmu seperti dizamanmu, tapi didiklah mereka sesuai zamannya. Agar mereka bisa siap mengahadapi zamannya”.
Beberapa orang tua yang masih berkeyakinan bahwa pola asuh yang mereka dapatkan waktu mereka kecil, merupakan pola asuh yang paling bagus dan wajib diterapkan kepada anaknya agar kelak anaknya bisa sukses seperti mereka. Namun fenomena ini adalah gambaran yang menyatakan masih banyak orang yang tidak mengetahui bahwa setiap manusia itu unik dan berbeda-beda. Baik itu sesama saudara kandung, saudara kembar, bahkan antara anak dan orang tua.
Kurangnya kesadaran ini mengakibatkan lahirnya anggapan bahwa setiap manusia bisa dikendalikan seperti robot, jika manusia tersebut tidak bisa mengikutinya/dikendalikan berarti manusia itu adalah robot yang rusak. Sesungguhnya sangat banyak faktor yang harus kita perhatikan sehingga kita bisa menyimpulkan pola asuh mana yang terbaik untuk anak.
Cobalah kita melihat fenomena anak yang dihukum karena merokok di sekolah. Selain mereka menerima hukuman dan dipermalukan di depan teman-temannya, mereka pun dicap sebagai anak yang rusak karena tidak mematuhi aturan di sekolah. Namun apa yang terjadi sebenarnya, perilaku merokok tidak hanya dilakukan oleh siswa, tapi guru juga melakukannya. Namun bedanya, guru dapat leluasa merokok di manapun dalam lingkungan sekolah, sedangkan siswa harus bersembunyi dipojok-pojok sekolah agar tidak kedapatan oleh pihak sekolah. Apakah kita tidak menyadari anak tidak mengikuti nasehat orang tua, namun mereka akan lebih cenderung mengikuti atau meniru tingkah laku orang tuanya.
Selain itu, ada fenomena menarik. Terkadang orang tua atau guru memaksa anak untuk berubah menjadi baik dalam tempo sesingkat-singkatnya. Tapi ironinya ketika kita bertanya kepada orang tua atau guru, apakah mereka bisa merubah perilaku negatif mereka dalam waktu singkat?. Kemungkinan jawaban yang kita terima adalah tidak bisa, susah dan lain sebagainya. Jadi apa dong dasar mereka memaksa anak berubah menjadi lebih baik?. Berdasarkan aturan sekolah?. Mmmmmmm sudahlah. Saya hanya bisa mengatakan, orang tua atau guru adalah pendidik atau pembimbing, bukan seorang penentu takdir seseorang.
Kita kembali ke rumah. Apapun alasan dan keyakinan orang tua terhadap pola asuh yang diberikan kepada anak, tidak menjadi tolak ukur anak tersebut akan menjadi anak yang diinginkan. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Perlu kita menyadari waktu kita menemani anak sangatlah terbatas, baik itu dibatasi oleh umur kita di dunia, kesibukan kita diluar rumah maupun keasikkan kita main HP di rumah.
Selain itu, kita juga tidak bisa menutup mata pengaruh lingkungan masyarakat, sekolah dan teman sebaya yang sedikit banyaknya dapat mempengaruhi kehidupan anak ketika dewasa nanti. Sekarang coba kita perhatikan 2 anak yang berbeda orang tua menerima pola asuh yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama. Siapa yang berhasil?. Tidak ada satu orang bisa mengetahui pemenangnya.
Apakah kita masih tidak percaya kita sudah menjadikan anak kita sebagai bahan percobaan untuk masa depan?. Sekali lagi apapun keinginan, keyakinan itu hanya menjadi hipotesis belaka. Bahkan apa yang saya tulis inipun hanya sebuah hipotesis semata.(***)
Penulis adalah aktivis Jiwa Indonesia sekaligus dosen Psikologi Universitas Halu Oleo Kendari