Oleh: Teti Ummu Alif
Indonesia babak belur dihajar pandemi virus Corona. Kondisi ekonomi selama setahun belakangan pun kian suram. Hal ini, membuat negeri kita akhirnya turun kelas. Menurut Bank Dunia, Indonesia anjlok dari negara berpendapatan menengah atas menjadi negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Alhasil, krisis ekonomi pun menghantui. Pasalnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki masalah berat di masa pandemi (Tempo.co 1/08/2021).
APBN setiap tahunnya bisa dikatakan selalu defisit anggaran, artinya pengeluaran selalu lebih besar daripada penerimaan negara. Pada 2020, realisasi defisit APBN mencapai Rp947.7 triliun dan 2021 pemerintah memproyeksikan defisit untuk keseluruhan tahun Rp 939,6 triliun atau lebih rendah dari target Rp1.006,4 triliun. Kekurangan anggaran negara ini selalu ditutup dengan utang. Besaran utang pemerintah dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat. Untuk membiayai APBN, selain utang luar negeri, utang juga berasal dari domestik, seperti penerbitan surat utang negara (SUN). Bahkan jauh sebelum pandemi melanda, pemerintah memang gemar berutang dengan berbagai alasan.
Rektor Universitas Paramadina Didik Rachbini mengatakan setidaknya ada lima faktor di dalam APBN yang berpotensi menyebabkan krisis di kemudian hari. Faktor tersebut antara lain adalah proses politik APBN yang sakit dan bias. Defisit primer yang semakin melebar dan tidak terkendali. Rasio pembayaran utang terhadap pendapatan yang naik di era Presiden Joko Widodo. Dana yang mengendap dan bocor di daerah. Serta pembiayaan PMN dan BMN sakit yang berpotensi menjadi masalah di masa depan (bisnis.tempo.co 1/08).
Ya, APBN yang dirancang berdasarkan asas kapitalisme memanglah rentan mengalami defisit dan krisis. Sebab, sumber pemasukannya bertumpu pada utang dan pajak. Karena sumber lain seperti hasil ekspor, perkebunan, dan pertambangan, jumlahnya minim. Begitu pun pengeluarannya justru dikendalikan korporasi sehingga kebijakan yang dihasilkan tak pernah berpihak pada kepentingan rakyat. Belum lagi, kebocoran anggaran dimana-dimana akibat sistem pengawasan negara yang lemah. Meski, negara mengklaim penarikan utang demi membiayai penanganan Covid-19 dan menyelamatkan ekonomi rakyat. Namun, faktanya laju virus malah kian tak terkendali. Sedangkan, rakyat semakin tak berdaya di hadapkan balada PPKM yang berkepanjangan. Pertumbuhan ekonomi yang digaungkan tak kunjung bertumbuh. Padahal alokasi anggaran PEN begitu besar mencapai Rp744,75 triliun.
Lantas mengapa defisit anggaran selalu berulang? Bukankah negeri kita kaya akan sumber daya alam dari daratan, lautan hingga perut bumi? Kemana potensi sumber daya alam kita? Jawabannya tak lain tak bukan. Semua ini akibat dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Liberalisasi kepemilikan menjadi poin penting dalam sistem ini. Sehingga setiap orang, baik individu swasta dalam negeri atau pun asing boleh memiliki SDA. Dengan demikian, selama sistem rusak kapitalisme masih bercokol di negeri ini. Maka selama itu pula APBN negara akan selalu tekor. Sudah saatnya rakyat mencampakkan sistem batil ini. Beralih pada sistem paripurna yang mengembalikan negeri gemah Ripah loh jinawi.
Setiap negara pasti memiliki Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Begitu pun dalam sistem pemerintahan Islam. Daulah Islam memiliki mekanisme pengelolaan anggaran negara. APBN Daulah disebut Baitulmal. Pengaturannya yang langsung datang dari sang pencipta, membuat Baitulmal kuat dan stabil. Sehingga jarang ditemukan defisit kecuali di akhir-akhir masa keruntuhannya. Mengapa demikian?
Pertama, karena Baitul Mal dibawah pengaturan Khalifah, yaitu pemimpin negara yang menerapkan syariat Islam. Sehingga, dalam setiap kebijakan yang diambil akan merujuk pada sumber syarak yaitu Al-Qur’an dan Sunah. Alhasil, suara ulama akan didengar, bukannya dikriminalisasi. Begitu pun suara pakar, karena merekalah yang paling mengerti satu permasalahan.
Kedua, pengaturan kepemilikan yang jelas akan menjadikan sumber APBN kuat. Misalnya kepemilikan umum seperti tambang, batu bara, air, sungai dll digolongkan menjadi kepemilikan umum yang haram dimiliki swasta apalagi asing. Sehingga hasil pengelolaannya oleh negara bisa maksimal diberikan pada rakyat. Kepemilikan umum ditambah dengan kepemilikan negara berupa fai dan kharaj, juga ditambah kepemilikan individu berupa zakat, infak, sedekah, menjadikan sumber APBN melimpah, hingga tak perlu memajaki rakyat apalagi berhutang pada negara lain.
Ketiga, selain sumber Baitul Mal yang melimpah, khilafah pun memiliki kebijakan pengeluaran yang sangat ketat. Sehingga pengeluaran tidak boros dan mengenal skala prioritas, tentu prioritas utama adalah terselesaikannya urusan umat. Tak ada campur tangan asing dalam pemilihan khalifah, membuat kebijakannya bisa independen bebas dari setiran korporasi. Inilah gambaran APBN yang sudah terbukti tangguh bebas krisis selama puluhan abad. Wallahu a’lam bisshowwab.
Penulis adalah Pegiat Literasi Kota Kendari