Oleh: Maolana Mohammad Sah, S.Psi., M.Si.
Pada tahun 1984, Indonesia digemparkan dengan cerita seorang anak laki-laki yang bernama Arie Hanggara. Waktu itu usianya belum genap 8 tahun, namun dirinya harus kehilangan nyawa akibat pendisiplinan dengan kekerasan oleh orang tuanya sendiri. Arie adalah seorang anak yang dilahirkan di tengah keluarga yang mengalami kekurangan dari segi ekonomi. Arie pun harus tinggal bersama ayah kandung, ibu tiri serta kedua saudaranya di Pengedengan Timur, Kalibata, Jakarta Selatan. Setelah ayahnya berpisah dengan ibu kandungnya bernama Dahlia Nasution (Teguh, 2019).
Kebahagiaan Arie dimasa kecil tidak terlukis indah ketika berada di tengah keluarganya. Senyumannya digantikan oleh tangisan dan kesakitan yang dirasakan hampir sekujur tubuhnya. Pukulan ayahnya adalah kasih sayang yang didapatkannya hampir setiap hari, serta panggilan “anak yang nakal” adalah seruan cinta dari orang tuannya (Teguh, 2019). Kesedihan Arie tidak berhenti disitu saja, dirinya selalu menjadi pelampiasan ayah dan ibu tirinya ketika masalah ekonomi menimpah keluarga mereka (Audisheren, 2018).
Tanggal 8 November 1984 merupakan puncak dari kesedihan dan kesakitan yang dirasakan oleh Arie. Tepatnya pukul 03.00 WIB, saat tubuhnya tidak mampu lagi bertahan setelah kepala yang kecil itu dibenturkan ke tembok oleh orang tuanya (Taufiqurrohman & Syah, 2014). Sehingga tubuh yang kecil itu terbujur kaku dan tidak bernyawa lagi (Teguh, 2019).
Sekarang Arie Hanggara telah tenang di dalam makam yang berukuran 2×1 meter. Dia tidak lagi merasakan kekerasan dari ayah dan ibu tirinya. Makamnya telah dihiasi oleh sebuah nisan berwarna hitam, dengan samping kiri dan kananya tertulis “Maafkan Papa” dan Maafkan Mama” (Tufiqurrohman dan syah, 2014). Apakah Arie Hanggara adalah satu-satunya anak yang pernah mengalami kekerasan dilingkungan yang seharusnya memberikan perlindungan dan kasih sayang?
Fenomena Arie Hanggara adalah bagian-bagian puzzle dari peristiwa kekerasan anak di dunia, khususnya Indonesia yang ada sejak dulu, baik yang dilaporkan kepada pihak yang berwewenang maupun menjadi rahasia yang disimpan di dalam diri anak-anak. Berdasarkan hasil dari Global Prevalence of Past-year Violence Against Children: A Systematic Review and Minimum Estimates, 2016. Diterbitkan oleh Official Journal of The American Academy of Pediatrics mencatat bahwa ada 1 milyar anak atau rata-rata 50% anak yang berada dunia, berusia 2-17 tahun di kawasan Afrika, Asia dan Amerika Utara pernah mengalami kekerasan fisik, seksual, emosional, dan penelantaran (Mardina, 2018).
Sedangkan menurut Kurniasari, Widodo, Husmiati, Susantyo, Wismayanti & Irmayani (2017) dalam penulisannya yang berjudul prevalensi kekerasan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan di Indonesia, menunjukkan bahwa prevelensi kekerasan seksual terhadap laki-laki yang berusia sebelum 18 tahun sebesar 8,3% dan perempuannya sebesar 4,12%. Prevelensi kekerasan fisik yang dialami anak laki-laki yang berusia sebelum 18 tahun adalah 40,57%, sedangkan perempuan yang usianya sebelum 18 tahun sebanyak 7,63%. Disisi lain, prevalensi kekerasan emosinal yang dirasakan anak laki-laki yang berusia sebelum 18 tahun sebesar 13,35% dan 3,76% perempuan yang berusia sebelum 18 tahun mengalami hal tersebut.
Peristiwa Arie memang menjadi permasalah dalam lingkup pola asuh keluarga. Namun jika penganiayaan atau tindakan kekerasan bisa dilakukan oleh orang tua kandung, dengan dalil mendidik atau mendisiplinkan anak, bagaimana dengan anak yang titipkan untuk didik di sekolah umum, madrasah atau pesantren?. Apakah mereka dididik tanpa adanya kekerasan yang dilakukan oleh oknum yang bekerja di sekolah, baik itu sebagai tenaga pengajar maupun sebagai petugas sekolah?
Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014 Pasal 54 ayat 1, sekolah merupakan tempat yang aman bagi siswa-siswi, dimana mereka mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lain. Namun Komisioner KPAI bidang Pendidikan, Listyarti (dalam Saubani, 2018) mengatakan sekolah tidak bisa menjadi tempat yang aman dan ramah untuk siswa, karena guru yang seharusnya menjadi pelindung di sekolah, sekarang bisa menjadi ancaman bagi keselamatan mereka (Amanda, 2018).
Data KPAI pada tahun 2019 membuktikan bahwa pelaku kekerasan pada siswa adalah guru dan kepala sekolah mereka sendiri (Lesmana &Ardiansyah, 2019; Frorentin, 2018). baik guru yang mengajar mata pelajaran agama, olahraga, seni budaya, IPS, komputer, hingga wali kelas dan kepala sekolah itu sendiri. Ironinya, peringkat tertinggi pelaku kekerasan seksual dilakukan oleh guru agama dan guru olahraga (Ihsanuddin, 2019).
Fenomena pelanggaran hak anak yang sangat fluktuatif tidak hanya terjadi di tahun 2019, namun dari tahun 2015 sampai tahun 2018 (Setyawan, 2019; Jamil, 2019; Halim, 2019), dimana kekerasan fisik, kekerasan psikis hingga kekerasan seksual merupakan kasus-kasus yang mencoreng dunia pendidikan di Indonesia setiap tahunnya.
Indonesia juga pernah menoreh tinta hitam dalam dunia pendidikan, dimana Indonesia merupakan peringkat pertama dari lima Negara Asia, dengan 84% anak pernah mengalami kekerasan di sekolah (lihat Table 1.1). Data ini merupakan hasil survei yang dilakukan oleh LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) di Negara Vietnam, Nepal, Kamboja, Pakistan dan Indonesia (Jakarta, Serang dan Banten) pada bula Oktober 2013 sampai Maret 2014 (Zuraya, 2017; Qodar, 2017; Setyawan, 2017).
Hasil Survei LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) di 5 Negara Asia yang dilakukan pada Oktober 2013 – Maret 2014, Negara Persentase kekerasan yang terjadi di sekolah Indonesia 84%, Vietnam 79%, Nepal 79%, Pakistan 73%, Kamboja 43%.
Data KemenPPA tahun 2018 menghasilkan data, dimana terdapat 45% anak laki-laki dan 22% anak perempuan yang mengatakan pelaku kekerasan di sekolah merupakan guru atau petugas sekolah (Saubani, 2018). Sedangkan, data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mencatat ada, 4.309 kasus terjadi pada tahun 2015, peningkatan terjadi pada tahun 2016, dengan jumlah kasus 4.622. Pada tahun 2017, terjadi penurunan dengan selisi 43 kasus. Sedangkan pada tahun 2018 kembali meningkat dengan jumlah kasus pelanggaran hak anak menjadi 4.885 kasus. Inilah gambaran nyata kekerasan terhadap anak yang sangat fluktuatif (Jamil, 2019; Halim, 2019).
Berdasarkan berita yang dimuat di tirto.id, pada bulan Januari sampai 13 Februari 2019, KPAI menerima laporan kasus kekerasan di sektor pendidikan sebanyak 24 kasus yang terbagi dalam 2 kategorik, yakni anak sebagai pelaku dan anak sebagai korban (Abdi, 2019). Listryarti (dalam Abdi, 2019) sebagai Komisioner KPAI bidang Pendidikan mengatakan bahwa kekerasan yang terjadi di sekolah, dimana anak sebagai korban sebanyak 21 kasus, dengan rincian; kekerasan fisik sebanyak 3 kasus, 8 kasus merupakan kekerasan psikis, kekerasan seksual ada 3 kasus, tawuran pelajar sebanyak 1 kasus, sedangkan 6 kasus yang lain adalah korban kebijakan dan kasus eksploitasi.
Pada bulan Januari sampai April 2019, pelanggaran hak anak di bidang pendidikan masih mendominasi data KPAI. Kasus kekerasan psikis dan bullying menjadi kasus tertingi. Korban kebijakan dan kekerasan fisik menjadi urutan kedua, sedangkan kasus pengeroyokan dan kekerasan seksual menjadi kasus terendah yang terjadi bulan tersebut (Rahayu, 2019. Hakim, 2019). Hal ini serupa dengan penjelasan yang diberikan oleh Listryarti (dalam Harsono, 2019) yang mewakili KPAI ketika mengelar jumpa pers;
“Anak korban kebijakan sebanyak 8 orang, pengeroyokan sebanyak 3 kasus, korban kekerasan seksual sebanyak 3 kasus, kekerasan fisik sebanyak 11 kasus. Anak korban kekerasan psikis dan bullying sebanyak 12 kasus dan anak pelaku bullying terhadap guru sebanyak 4 kasus,”
Pada bulan Juni 2019, KPAI memperoleh penambahan kasus kekerasan seksual, dengan modus yang beragam, misalnya guru akan memberikan uang (Rp.2.00) dengan imbalan anak mau dipeluk atau dicium (Riana, 2019). Listyarti juga mengatakan kekerasan seksual tersebut terjadi di 9 Sekolah dasar dengan 49 anak (laki-laki & perempuan) menjadi korban kekerasan seksual, serta 24 anak mengalami kekerasan seksual di 4 lokasi sekolah Menengah Pertama (Riana, 2019).
Menurut Susanto, Ketua KPAI (dalam Rahayu, 2019), Maraknya kekerasan pada anak terjadi di semua jejang sekolah, baik di Taman Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Hal ini ditegaskan dengan data KPAI 2019 yang menyebutkan bahwa 25 kasus terjadi di pendidikan SD, SMP sebanyak 5 kasus, dan 6 kasus terjadi di SMA (Maradewa, 2019).
Fenomena-fenomena yang dipaparkan di atas, merupakan gambaran buruk yang terjadi di sekolah-sekolah. Namun bagaimana siswa-siswa yang bersekolah di Kota Kendari. Apakah mereka terhindar dari perilaku kekerasan oleh oknum pendidik atau petugas sekolah dan memegang penuh amanah UU No. 35 Tahun 2014 Pasal 54?.
Menurut Data P2TP2A yang penulis peroleh pada tanggal 1 Oktober 2019. Kekerasan anak di Kota Kendari dari tahun 2015 sampai tahun 2019 (Januari s/d Agustus) mengalami peningkatan, walaupun pada tahun 2017 ke 2019 mengalami pengurangan 2 kasus dari total kasus yang ada. Namun data P2TP2A tersebut tidak menyebutkan secara spesifik tentang kekerasan yang terjadi di sekolah se-Kota Kendari.
Setelah penulis menulusuri fenomena kekerasan guru terhadap siswa se-Kota Kendari di media-media online. Penulis menemukan beberapa fenomena yang sempat gempar di dunia pendidikan Kota Kendari. Salah satu fenomena yang menurut penulis menarik adalah fenomena yang terjadi dua minggu sebelum tanggal 20 Oktober 2017, siswa SMA Negeri 1 Kendari yang berinisial C melakukan pemukulan terhadap I yang juga merupakan siswa di sekolah tersebut. Menurut Kapolsek Kemaraya IPTU Fajar, pertengkaran ini disebabkan karena I telah mengambil uang NKS (siswi SMA Negeri 1 Kendari) sejumlah Rp. 100 ribu. Keesokan hari, I tidak datang ke sekolah dan pihak orang tua I merasa keberatan terhadap perilaku C, sehingga mereka meminta pihak sekolah memberikan sanksi terhadap C (Awi, 2017; Budianto, 2017). Namun dalam proses penyelesaian kasus C dan I yang dilakukan oleh pihak sekolah, Wakil Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Kendari melakukan penampar terhadap C yang dianggap tidak sopan terhadap guru (Budianto, 2017).
Berawal dari kasus tersebut, pada tanggal 20 Oktober 2017 fenomena yang viral pun terjadi. C yang tidak terima mendapatkan tamparan dari Wakil Kepala Sekolah, melapor kepada orang tuanya. Sehingga penganiayaan yang dilakukan oleh C dan orang tuanya terhadap Wakil Kepala Sekolah tidak terhindar lagi (Zuula, 2017).
Berdasarkan dari fenomena tersebut, Penulis melihat kasus C merupakan rangkaian sebab-akibat yang tidak bisa dipisahkan. Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh C dan orang tuanya bukan akar masalah yang menyebabkan kita harus menyudutkan C sebagai pelaku utama. Menurut penulis, C adalah korban pendisiplinan dengan kekerasan (violent discipline) atau child abuse yang melakukan agresi defensif (perilaku untuk mempertahankan diri dari ancaman) sebagai respon dia terhadap sesuatu yang mengancam dirinya (Fromm, 2010).
Kasus kekerasan di sekolah yang terjadi di Kota kendari tidak berhenti terhadap C saja. Tanggal 23 Februari 2019, Kepala sekolah SD Negeri 19 Mandonga dilaporkan ke Polsek Mandonga dengan kasus dugaan melakukan penamparan kepada 6 siswa (Sari, 2019; Aksar 2019). Namun, Kepala Sekolah SD Negeri 19 Mandonga berdalil bahwa penamparan yang dilakukan adalah spontanitas ketika dia melakukan pembinaan kepada ke 6 siswa yang telah melakukan pengeroyokan ( Askar 2019).
Penulis sengaja tidak memfokuskan penulisan ini kepada tindakan kekerasan yang terjadi pada guru. Hal ini disebakan karena kekerasan yang dilakukan oleh siswa terhadap guru muncul akibat adanya faktor penyebab, seperti ancaman (Fromm, 2010), tidak adanya relasi guru dan siswa (Fauzi, 2017; Suwandi, 2018; Adrika, 2018), atau merupakan proses belajar siswa terhadap lingkungannya. Misalnya, seorang guru menghukum siswa yang kedapatan merekok di sekolah, sedangkan guru yang mengisap sebatang rokok dengan santainya di kantin sekolah atau di ruang guru tidak diberikan hukuman selayaknya siswa yang kedapatan merekok.
Menurut penulis itulah anomali dalam dunia pendidikan, dimana perilaku kekerasan telah menjadi cara guru untuk membentuk siswa yang berkarakter, sedangkan menurut Muis, Syafiq & Savira (2017) perilaku ini telah melewati aturan dalam pendidikan. Hal ini dipetegaskan oleh Ketua Federasi Guru Independen Indonesia, Tetty Sulastri mengatakan 90% guru yang berkampanye sekolah ramah anak, tidak akan muncul pada saat proses belajar mengajar, salah satunya belum bisa meninggalkan berkata kasar (Faruq, 2018).
Alhasil, dengan data yang diperoleh, penulis mempertanyakan “masih amankah sekolah bagi siswa-siswi?”. Menurut asumsi penulis, kemungkinan ada beberapa kasus kekerasan yang terjadi di sekolah diselesaikan di internal sekolah, sehingga pihak kepolisian, P2TP2A atau pihak yang berwewenang tidak memperoleh laporan tersebut.(b)
Penulis adalah Dosen Jurusan Psikologi Universitas Halu Oleo Kendari