PENASULTRA.COM, KENDARI – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) meminta Pemerintah Daerah (Pemda) agar penulisan Rancangan Akhir Rencana Pembangungan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018-2023 sesuai etika ketatanegaraan.
Juru bicara fraksi, I Made Suparna mengatakan, hal ini dirasakan penting karena rancangan akhir RPJMD akan menjadi dokumen daerah yang berkekuatan hukum.
Aspek fostur materi dan muatannya, katanya, telah sesuai ketentuan perundang-undangan, khususnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 86 Tahun 2017.
Namun, terkait sinkronisasinya dengan RPJM nasional, fraksi-fraksi dalam Dewan perlu mendapatkan penjelasan global sejauhmana rencana strategis RPJMD memberikan daya dukung terhadap program RPJM Nasional.
“Sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2015 tentang RPJM Nasional,” tekan I Made Suparna saat rapat paripurna di Sekretariat DPRD Provinsi Sultra, Kamis 7 Februari 2019.
Menurutnya, untuk Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) selayaknya disajikan secara lengkap dengan menuliskan kalimat yakni “Lembaran Negara Republik Indonesia” beserta tahun dan nomornya.
Ketentuan yang sama pula berlaku pada kalimat “Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia” disertai nomornya, terkecuali Perpres.
“Untuk peraturan menteri juga sebaiknya mencantumkan kalimat yakni “Berita Negara Republik Indonesia” disertai tahun dan nomornya. Ketentuan ini berlaku khususnya pada Peraturan Menteri yang diterbitkan sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan Perundang-undangan,” tegasnya.
Selain itu, kata Suparna, hal yang sama pula berlaku untuk Peraturan Daerah (Perda) untuk melengkapi dengan bunyi kalimat yaitu “Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara” disertai tahun dan nomornya serta kalimat “Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara” dan nomornya.
“Hal-hal yang kami sebutkan diatas kelihatan sederhana. Begitu sederhananya kadang-kadang diacuhkan walaupun sangat dipahami adanya oleh para perumus kebijakan. Padahal dari segi etika penulisan ketatanegaraan untuk dokumen-dokumen resmi, hal tersebut menjadi indikator penting. Jadi masalahnya bukan pada ketidaktahuan, tetapi terlalu menyederhanakan masalah,” tutupnya.(b)
Penulis: Luthfi Badiul Oktaviya
Editor: Yeni Marinda