Oleh: Amrin Lamena
Tepat 21 Februari, hari dimana diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional. Kementerian Negara Lingkungan Hidup (LH) mencanangkan 21 Februari 2006 sebagai Hari Peduli Sampah untuk pertama kalinya.
Peringatan ini muncul atas ide dan desakan dari sejumlah pihak untuk mengenang peristiwa di Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005 di mana sampah telah menjadi mesin pembunuh yang merenggut nyawa lebih dari 100 jiwa.
Peristiwa naas itu terjadi akibat curah hujan yang tinggi dan ledakan gas metana pada tumpukan sampah. Akibatnya 157 jiwa melayang dan dua kampung (Cilimus dan Pojok) hilang dari peta karena tergulung longsoran sampah yang berasal dari Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah.
Tragedi ini memicu dicanangkannya Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang diperingati tepat di tanggal insiden yang memilukan itu terjadi.
Sampah menjadi persoalan yang urgen dihadapi oleh masyarakat dunia. National Geographic melaporkan masing-masing kota di dunia setidaknya menghasilkan sampah hingga 1,3 miliar ton setiap tahun. Diperkirakan oleh Bank Dunia, pada tahun 2025, jumlah ini akan terus bertambah hingga 2,2 miliar ton.
Dalam laporan sebuah penelitian pada Februari 2005 yang diterbitkan di Sciencemag menyebutkan, bahwa Indonesia berada di peringkat kedua di dunia penyumbang sampah plastik ke laut setelah Tiongkok, disusul Filipina, Vietnam, dan Sri Lanka. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa fakta tentang sampah nasional pun sudah cukup meresahkan.
Menurut Riset Greeneration, organisasi nonpemerintah yang telah 10 tahun mengikuti isu sampah, satu orang di Indonesia rata-rata menghasilkan 700 kantong plastik per tahun. Di alam, kantong plastik yang tak terurai itu menjadi ancaman kehidupan dan ekosistem.
Terkait persoalan sampah, Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan Indonesia akan bebas sampah pada tahun 2020. Hari peduli sampah dijadikan pemerintah sebagai momentum untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya prinsip 3R (reduce, reuse dan recycle) dalam pengelolaan sampah.
Kini, upaya yang digalang pemerintah untuk membebaskan Indonesia dari ancaman sampah juga bisa dilihat. Di berbagai kota dan daerah di Indonesia diwajibkan memiliki Tempat Pemprosesan Akhir (TPA) Sampah.
Awalnya, di Indonesia seluruh sampah yang dihasilkan diolah di Tempat Pengolahan Akhir (TPA) sampah dengan sistem pembuangan terbuka (open dumping). Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang menegaskan bahwa penanganan sampah di tempat pengolahan akhir dengan sistem pembuangan terbuka (open dumping) tidak diperbolehkan lagi.
Maka sejak tahun 2009, umumnya di Indonesia mulai membangun TPA sampah dengan sistem lahan urug saniter (sanitary landfill). TPA sampah sistem sanitary landfill juga dikenal sebagai TPA modern yang konon ramah lingkungan.
Mungkin, itu pula yang membuat Pemerintah Kabupaten Buton Tengah (Buteng) begitu agresi untuk membangun TPA sampah sekalipun dalam penunjukkan lokasinya, Pemkab Buteng harus menggunakan jurus mabuk.
Diketahui TPA sampah yang akan dibangun Pemerintah Buteng awalnya bertempat di Desa Metere, Kecamatan Lakudo, (sesuai Rancangan Tata Ruang dan Wilayah Buteng). Belakangan pembangunan TPA sampah Buteng dipindahkan di Desa Batubanawa, Mawasangka Timur.
Hal inilah yang memicu penolakan mahasiswa hingga menimbulkan gelombang demonstrasi berkali-kali yang berujung pada pengroyokan salah satu aktivis di Buteng oleh sekelompok orang tak dikenal yang diduga untuk menghalau massa aksi.
Dalih mahasiswa, Desa Batubanawa tidak layak karena tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 03-3241-1994 tentang pemilihan lokasi TPA sampah. Dan tidak sesuai peruntukkannya, sesuai Draf Perda RTRW 2017-2037 yang mestinya sudah jadi rujukan pembangunan di Buteng.
Alih-alih Bupati Buteng meyakinkan masyarakat, dengan dalih bahwa TPA sampah yang akan dibangunnya bukanlah TPA sampah biasa, melainkan TPA sampah modern yang ramah lingkungan, Bupati Buteng begitu percaya diri karena latar belakangnya sebagai kontraktor yang pernah membangun TPA sampah dibeberapa daerah di Sultra hingga katanya tidak perlu ada yang dikhawatirkan.
Benarkah TPA Sampah Sistem Sanitary Landfill Ramah Lingkungan?
TPA merupakan fasilitas fisik yang digunakan untuk tempat pengolahan akhir sampah. Pada pelaksanaannya, menurut Tchobanolous dkk (1993), menyebutkan TPA sampah sistem sanitary landfill, sampah yang diolah akan ditimbun merata secara berlapis, kemudian dipadatkan dan ditutup dengan tanah atau material lain pada setiap akhir hari operasi.
Sampah yang ditimbun di TPA tersebut akan mengalami reaksi fisik, kimia dan biologi secara bersama-sama serta saling berhubungan melalui proses dekomposisi sampah yang kemudian akan menghasilkan gas landfill (CO2, CH4, dan H2S) dan cairan lindi sampah (leachate).
Leachate ini menjadi hal yang penting diperhatikan dalam pengoperasian dan pengelolaan TPA karena memiliki sifat mudah bereaksi dengan air, tanah maupun udara sehingga dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan. Sedangkan gas landfill yang terbentuk akan meningkatkan tekanan internal TPA yang dapat menyebabkan terjadinya self combustion, keretakan dan bocornya tanah penutup.
Dari uraian di atas kita bisa memahami, bahwa TPA sampah dengan sistem sanitari landfill, sekalipun tergolong modern seperti yang dipahami orang-orang dan telah umum dipakai di Indonesia, bukan berarti tidak beresiko negatif pada keberlangsungan lingkungan hidup.
Langkah awal pembangunan TPA sistem sanitary landfill ini adalah penentuan lokasi TPA yang harus mengikuti persyaratan dan ketentuan mengenai pengelolaan lingkungan hidup, ketertiban umum, kebersihan kota/lingkungan, peraturan daerah tentang pengelolaan sampah dan perencanaan tata ruang kota serta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Syarat-syarat Kelayakan Lingkungan Lokasi TPA Sampah
Untuk meminimalkan resiko lingkungan tersebut, maka penentuan lokasi TPA sampah harus memenuhi syarat-syarat kelayakan lingkungan. Sedikitnya, Rahman dkk (2008), memaparkan penentuan lokasi TPA harus memperhatikan karakteristik lokasi, kondisi sosial ekonomi masyarakat, ekologi dan faktor penggunaan lahan.
Senada dengan itu, Rahmatiyah (2002) menjelaskan lebih rinci bahwa proses pemilihan lokasi TPA sampah perlu mempertimbangkan tiga hal penting, yaitu:
Pertama, pertimbangan operasional; secara operasional TPA memerlukan lahan yang cukup untuk menampung segala jenis sampah dan zonesi ketersediaan lahan harus memperhatikan rencana regional serta aspek aksesibilitas (keterjangkauan);
Kedua, pertimbangan ekologi; yang perlu diperhatikan adalah keberlanjutan lokasi TPA setelah tidak dipergunakan lagi;
Ketiga, pertimbangan topografi, geologi dan hidrologi; lebih mengarah pada aspek persyaratan fisik lahan, misalnya berdasarkan relief atau topografi dapat dipilih lokasi-lokasi yang bebas dari bahaya banjir ataupun erosi dan berdasarkan aspek hidrologi, lokasi TPA harus berada di wilayah dengan muka air tanah yang dalam, sehingga lindi sampah tidak mencemari air tanah.
Di Indonesia, penentuan lokasi TPA dilakukan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3241-1994 yang membagi kriteria pemilihan lokasi TPA menjadi tiga, yaitu:
Kesatu, kelayakan regional untuk menentukan zone layak atau zone tidak layak.
Kedua, kelayakan penyisih untuk menentukan tingkat kesesuaian dari beberapa alternatif lokasi yang telah diperoleh pada penilaian tahap pertama.
Ketiga, kelayakan rekomendasi untuk menetapkan lokasi terbaik dari beberapa alternatif lokasi yang telah diperoleh pada penilaian sebelumnya.
Sampai di sini, kita bisa berhenti untuk merenungi sebuah simpulan sederhana: bahwa jika TPA sampah diperuntukkan untuk mengatasi permasalahan sampah yang meresakan, maka penetapan lokasi TPA sampah haruslah sesuai dan memenuhi syarat-syarat kelayakan lingkungan. Jika tidak, bisa jadi TPA sampah justru berbalik peran sebagai mesin pembunuh.
Bagaimana Rekomendasi Badan Geologi dan Informasi?
Analisis penentuan lokasi TPA sampah, menurut Azizi (2008) dapat dilakukan dengan menggunakan SIG dan telah banyak diaplikasikan. Lunkapis (2004), juga mendefinisikan SIG sebagai sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa dan menampilkan data bereferensi geografis, sebagai alat bantu pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengolahan penggunaan lahan, sumber daya alam, lingkungan, transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya.
Aplikasi SIG, dijelaskan Setiawan (2010) untuk penentuan lokasi TPA dilakukan dengan memanfaatkan beberapa fasilitas yang dimiliki oleh SIG, yaitu perhitungan (calculating), pengharkatan (scorring), tumpang susun (overlay), distance modelling (buffer), transformasi, penyederhanaan (dissolve) dan generalisasi.
Dari hasil analisis sistem informasi geografis (GIS) oleh Badan Geologi dan Informasi (GIS), perwakilan Dinas Pekerjaan Umum (PU) saat rapat dengar pendapat di DPRD Buteng mengungkapkan telah direkomendasikan untuk membangun TPA sampah di wilayah Desa Matere, Kecamatan Lakudo.
Maka dari itu, Pemkab Buteng tidak perlu gegabah menunjuk Desa Batubanawa dengan jari telunjuk sakti yang dimilikinya sebagai lokasi TPA sampah dengan mengabaikan syarat-syarat kelayakan yang dapat mengancam keberlangsungan hidup dan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Selamat Hari Peduli Sampah Nasional! Semoga upaya kita semua dalam mewujudkan Indonesia bebas sampah, benar-benar diikhtiarkan untuk kehidupan anak cucu di masa depan.(***)
Penulis adalah Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Buton Tengah (Hima Buteng) Baubau. Juga, salah satu wartawan Penasultra.com