Oleh: Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H
Indonesia telah terbebas dari penjajahan dan menyatakan diri merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945. Artinya saat ini usia kemerdekaan Indonesia akan memasuki usia 76 tahun. Namun, sebagai negara yang merdeka sejatinya mesti benar-benar melepaskan diri dari belenggu peninggalan kolonial. Sayangnya hal itu belum ditunjukkan oleh bangsa Indonesia oleh karena produk hukum yang digunakan sampai dengan saat ini masih mengadopsi peninggalan pemerintah kolonial Belanda.
Semangat untuk melahirkan produk hukum asli milik bangsa Indonesia dan meninggalkan produk kolonial yang dianggap tidak sejalan lagi dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD NRI 1945 serta hukum yang hidup didalam masyarakat beradap yang oleh para ahli hukum, khususnya hukum pidana belakangan ini mulai dihidupkan kembali. Belum lama ini digelar diskusi publik oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia terkait dengan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang dilaksanakan di Semarang.
Mengingat bahwa pembahasan RUU KUHP bukan hal yang baru lagi di tanah air. Tanggal 18 September 2019 yang lalu, pada saat pembahasan RUU KUHP menuju tahap paripurna pengesahan, gelombang masa baik dari masyarakat, akademisi dan para mahasiswa diseluruh penjuru Indonesia menyuarakan aksi protes menolak pengesahan RUU KUHP. Disinyalir terdapat beberapa masalah dalam pasal pengaturannya dan dianggap pengesahan RUU KUHP itu terlalu terburu-buru. Akibat dari aksi protes oleh masyarakat maka pemerintah memutuskan untuk tidak mengesahkan RUU KUHP saat itu.
Kiranya ada beberapa issue krusial yang menjadi kritik masyarakat dalam aksi demonstrasi terkait RUU KUHP saat itu yang dipandang bermasalah. Terkait issue apa saja yang menjadi dasar penolakan masyarakat terhadap pengesahan RUU KUHP dan bagaimana penjelasan serta perkembangannya saat ini akan Penulis bahas dalam sesi tulisan lain. Hal ini mempertimbangkan pembahasan terkait dengan kebaruan RUU KUHP ini yang cukup panjang sehingga tidak dapat disatukan dalam satu pokok pembahasan olehnya itu Penulis memutuskan untuk membahasnya secara terpisah.
Sejarah KUHP
Melihat sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini, aslinya berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan prinsip concordantie beginselen pada tahun 1918. Concordantie beginselen atau yang dikenal dengan prinsip konkordansi merupakan prinsip berlakunya hukum berdasarkan hukum negara penjajah. Tegasnya bahwa oleh karena Indonesia merupakan negara jajahan kolonial Belanda, maka produk hukum Belanda tersebut diterapkan pula kepada negara jajahannya termasuk Indonesia.
Pasca Indonesia merdeka dan memiliki konstitusi sendiri, prinsip concordantie beginselen itu kemudian diejawantahkan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Bersamaan dengan itu, Indonesia kemudian menerjemahkan KUHP yang berbahasa asli Belanda tersebut disertai dengan penyelarasan kondisi pada tahun 1946 berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan mengubahnya menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dengan demikian, jika dihitung sejak diberlakukannya sejak tahun 1918 sampai dengan saat ini Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie telah berusia 103 tahun. Dan jika berdasarkan UU Hukum Pidana yang lahir sejak 1946 maka saat ini terhitung usia 75 tahun.
Oleh karena bahasa asli KUHP berasal dari bahasa Belanda kuno maka perlu ekstra berhati-hati dalam menerjemahkannya kedalam bahasa Indonesia apalagi saat itu belum adanya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Konsekuensi dari penerjemahan KUHP ini oleh karena belum adanya KBBI juga pedoman umum ejaan Bahasa Indonesia mengakibatkan tidak terdapat kesamaan dari terjemahan KUHP yang beredar di Indonesia saat ini baik dari R. Soesilo, Molejatno, Andi Hamzah dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Bahkan belum ada yang secara tegas dinyatakan sebagai terjemahan resmi dari pemerintah.
Konsekuensi yuridis dari perbedaan terjemahan KUHP ini dikemukakan Prof. Harkristuti (hukumonline.com) yang mencontohkan perbedaan tafsiran Pasal 134 KUHP yang mengatur tentang belediging terhadap presiden dan/atau wakil presiden. Ada yang mengartikan belediging sebagai penghinaan ada yang menganggapnya sama dengan penistaan. Padahal penistaan atau smaad memiliki pengertian yang berbeda.
Ide Pembaharuan KUHP
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, banyak negara baik yang baru merdeka maupun negara-negara yang sudah ada sebelum perang, berusaha untuk memperbaharui hukumnya khususnya hukum pidana materiil (KUHP) termasuk Indonesia. Kiranya usaha pembaharuan tersebut didasarkan 3 (tiga) alasan, yakni alasan politik, sosiologis maupun praktis. Alasan pertama, dari sudut politik, negara Indonesia telah merdeka sudah sewajarnya mempunyai KUHP yang diciptakan sendiri. Hal tersebut dipandang sebagai simbol dan merupakan suatu kebanggaan dari suatu negara yang telah merdeka dari jajahan politik. Sebaliknya, KUHP dari negara lain dapat dipandang sebagai simbol dari penjajahan oleh negara yang membuat KUHP tersebut.
Alasan kedua dari sudut sosiologis. Bahwa pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan dari ideologi politik suatu bangsa dimana hukum itu berkembang. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai sosial dan kebudayaan dari bangsa itu mendapat tempat dalam pengaturan dibidang hukum pidana. Ukuran untuk dapat menjadikan suatu perbuatan menjadi perbuatan pidana (kriminalisasi) tergantung dari nilai-nilai dan pandangan kolektif dari masyarakat apa yang baik, yang benar, yang bermanfaat atau sebaliknya. Nyatanya, ketentuan dalam KUHP saat ini mengandung nilai-nilai barat yang bersifat individualism, liberalism dan individual right dimana hal ini bertentangan dengan nilai-nilai bangsa Indonesia yang sosio-kultural.
Alasan ketiga dari sudut praktis, mengingat teks resmi KUHP yang sekarang berlaku bahasa Belanda, maka merupakan suatu keharusan untuk mengerti bahasa Belanda agar KUHP bisa diterapkan dengan tepat. Hal tersebut juga yang dianggap seringkali berpotensi terjadinya salah menafsirkan makna aturan dalam KUHP.
Ide pembaharuan hukum pidana itu kemudian muncul dalam Seminar Nasional I yang diselenggarakan di Jakarta tahun 1963 dimana saat itu hasil seminar bersepakat mengusung beberapa misi penting, yakni dekolonisasi, demokratisasi, konsolidasi, adaptasi dan harmonisasi. Dekolonisasi adalah melakukan pembaharuan dari nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Eropa menjadi nilai-nilai yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Demokratisasi hukum pidana dimaksudkan untuk memasukkan tindak pidana terhadap hak asasi manusia dan dirubahnya rumusan pasal-pasal penyebar kebencian yang tadinya bersifat formil menjadi materiil. Konsolidasi hukum pidana dimaksudkan untuk menghimpun perundang-undangan hukum pidana baik yang ada didalam maupun diluar KUHP untuk ditata kembali dalam satu kerangka asas yang diatur dalam Buku I. Sedangkan adaptasi dan harmonisasi hukum pidana dimaksudkan untuk dapat merespon hal-hal baru dibidang ilmu pengetahuan dan perkembangan nilai, standar, dan norma yang diakui oleh bangsa-bangsa di dunia Internasional.
Paradigma Baru RUU KUHP
Dalam RUU KUHP sendiri kiranya terdapat beberapa kebaruan bila dibandingkan dengan KUHP yang masih berlaku di Indonesia saat ini. Sejauh pengetahuan Penulis, terkait dengan paradigma baru dalam RUU KUHP diantaranya adalah :
Pertama, dihapuskannya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran. Perlu diketahui bahwa didalam KUHP yang saat ini masih digunakan itu terdiri dari 3 (tiga) buku, yakni Buku I tentang Ketentuan Umum, Buku II tentang Kejahatan dan Buku III tentang Pelanggaran. Dilihat dari strukturisasi didalam KUHP memisahkan ketentuan antara Kejahatan dan Pelanggaran. Namun didalam RUU KUHP perbedaan itu kemudian ditiadakan lagi. Dalam tataran teoritis (doktrin) legal defenition of crime, kiranya perbedaan antara kejahatan (mala in se) dan pelanggaran (mala prohibita) atau perbedaan antara rechtdelicten dan wetdelicten sudah tidak relevan lagi digunakan. Alasannya adalah dalam hal penjatuhan sanki pidana kepada seseorang itu mesti memenuhi unsur delik bukan berdasarkan perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran. Disisi lain perbedaan keduanya hanya pada aspek yuridis yakni terhadap percobaan melakukan suatu kejahatan maksimum ancaman pidananya dikurangi sepertiga, sedangkan percobaan melakukan pelanggaran tidak diancam sanksi pidana. Olehnya itu, didalam RUU KUHP tidak lagi membedakan keduanya, sehingga didalam RUU KUHP hanya terdiri dari 2 (dua) buku yakni Buku I tentang Ketentuan Umum dan Buku II tentang Tindak Pidana.
Kedua, berkaitan dengan living law atau hukum yang hidup didalam masyarakat. Berbeda dengan perumusan asas legalitas didalam KUHP yakni hanya mengakui hukum yang tertulis saja (Pasal 1 ayat (1)) dan tidak mengakui hukum yang hidup didalam masyarakat yakni hukum pidana adat. Didalam RUU KUHP selain mengakui asas legalitas, kebaruannya adalah turut mengakui adanya living law atau hukum pidana adat yang masih diakui oleh masyarakat Indonesia sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak memiliki kesamaan dalam RUU KUHP. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 RUU KUHP.
Diakuinya living law dalam RUU KUHP ini menegaskan akan dianutnya pandangan sifat melawan hukum yang materiil atau materieel wederrechtelijkheid yakni meskipun dalam perumusan delik tidak dicantumkan dengan tegas adanya unsur melawan hukum, namun perbuatan itu bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup didalam masyarakat (Arief, 2005). Sedang dalam hukum pidana sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak dari tindak pidana.
Ketiga, berkaitan dengan unsur kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Didalam KUHP kita saat ini, kiranya prinsip mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dirumuskan secara tegas melainkan berada dalam tataran teoritis (doktrin) didalam hukum pidana. Terkait dengan pertanggungjawaban pidana didalam hukum pidana sendiri memiliki kedudukan yang sangat penting karena meskipun seseorang secara nyata melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi ia belum tentu dapat dijatuhi sanksi pidana mesti dilihat lebih dulu apakah ia memiliki kesalahan dan apakah ia mampu bertanggung jawab. Dalam tataran teoritis (doktrin) pengejawantahan prinsip pertanggungjawaban pidana diformulasikan sebagai geen srtaf zonder schuld atau actus non facit reum nisi mens rea atau actus reus mens rea atau biasa dikenal dengan asas culpapilitas yang berarti tiada pidana tanpa kesalahan. Artinya bahwa untuk dapat menjatuhi sanksi pidana kepada seseorang mesti diketahui dulu apakah ia memiliki kesalahan baik dengan sengaja (dolus) atau karena kealpaan (culpa). Didalam KUHP kita saat ini prinsip ini tidak dirumuskan secara tegas berbeda dengan RUU KUHP yang kemudian merumuskannya secara tegas didalam Pasal 36 ayat (1)
Keempat, masih terkait dengan unsur kesalahan. Kiranya didalam pengaturan hukum pidana kita saat ini baik yang diatur didalam KUHP maupun didalam undang-undang pidana dan undang-undang administrasi yang mengatur ketentuan pidana, kebanyakan merumuskan unsur kesalahannya secara tegas, meskipun demikian terdapat pula beberapa undang-undang yang tidak menyatakan unsur kesalahan tersebut secara tegas. Berkenaan dengan hal tersebut, paradigma baru didalam RUU KUHP sendiri sudah tidak lagi mencantumkan unsur kesalahan khususnya dengan sengaja (dolus) secara tegas dalam perumusan tindak pidana, melainkan RUU KUHP hanya mencantumkan unsur kesalahan dengan kelalaian (culpa) secara tegas. Dasar pemikirannya adalah bahwa RUU KUHP ini memandang bahwa setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang itu dilakukan dengan sengaja, olehnya itu sanksi pidana dapat dijatuhkan kepadanya kecuali ditentutkan bahwa terdapat unsur kesalahan berupa kelalaian (culpa) didalam undang-undang (lihat Pasal 36 ayat (2) RUU KUHP). Tegasnya bahwa dalam unsur kesalahan berupa kesengajaan (dolus) bersifat umum sedangkan unsur kesalahan berupa kelalaian (culpa) bersifat khusus. Disisi lain, RUU KUHP juga memandang bahwa dolus dan culpa pada hakikatnya bukan merupakan unsur delik, melainkan unsur kesalahan atau pertanggungjawaban pidana.
Kelima, terkait dengan penyimpangan terhadap unsur kesalahan dolus dan culpa. Didalam KUHP kita saat ini kiranya tidak mengenal penyimpangan terhadap unsur kesalahan. Artinya bahwa, seseorang dapat saja dijatuhi sanksi pidana tanpa melihat apakah terdapat kesalahan pada diri pelaku. Dalam tataran teoritis (doktrin) penyimpangan terhadap unsur kesalahan diformulasi kan sebagai pertanggungjawaban mutlak (liability without fault atau dikenal juga dengan istilah absolut liability atau strict liability) dan pertanggungjawaban pidana pengganti atau vicarious liability. Kedua konsep ini berkembangan dalam sistem hukum Anglo Saxon khususnya di Inggris (Atmasasmita, 2000). Menurut doktrin strict liability seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang tersebut tidak ada kesalahan (mens rea). Tegasnya bahwa strict liability ini diartikan sebagai pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan) (Muladi & Priyatno, 2013). Sedangkan menurut doktrin vicarious liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain. Doktrin vicarious liability ini merupakan pengecualian terhadap pertanggungjawaban pidana individu yang dianut dalam hukum pidana yang umum dikenal berdasarkan adagium nemo punitur pro alieno delicto yang artinya tidak ada seorang pun yang dihukum karena perbuatan orang lain (Hieriej, 2016).
Doktrin strict liability dan vicarious liability tidak ditemukan didalam KUHP kita saat ini melainkan didalam undang-undang pidana dan undang-undang administrasi yang memuat ketentuan pidana. Misalnya terkait dengan doktrin strict liability dituangkan didalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolahan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sedangkan doktrin vicarious liability dituangkan didalam Pasal 116 UU PPLH. Paradigma baru didalam RUU KUHP berkaitan dengan penyimpangan unsur kesalahan ini kemudian ditegaskan didalam Pasal 37.
Keenam, berkaitan dengan ketentuan kurang mampu bertanggung jawab. Didalam hukum pidana sendiri, kiranya dalam hal menentukan pertanggungjawaban pidana selain melihat apakah terdapat unsur kesalahan terhadapnya juga mesti dilihat apakah seseorang itu mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam tataran teoritis (doktrin) diformulasikan dengan istilah tidak mampu bertanggung jawab atau teorekeningsvatbaarheid dimana hal ini dirumuskan didalam Pasal 44 KUHP kita saat ini. Sedangkan terkait dengan ketentuan kurang mampu bertanggung jawab KUHP kita saat tidak mengenalnya.
Berbeda dengan RUU KUHP dimana selain mengatur tentang tidak mampu bertanggung jawab atau teorekeningsvatbaarheid juga merumuskan secara tegas berkaitan dengan ketentuan kurang mampu bertanggungjawab yang dimuat didalam Pasal 38 dan Pasal 39. Pengaturan terkait kurang mampu bertanggungjawab ini dimaksudkan kepada pelaku tindak pidana yang menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang dinilai kurang mampu untuk menginsyafi tentang sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan atau untuk berbuat berdasarkan keinsyafan yang dapat dipidana.
Ketujuh, berkaitan dengan perumusan tujuan pemidanaan dan pedoman penjatuhan pidana. Dimuatnya tujuan pemidanaan didalam RUU KUHP kiranya didasari oleh pergeseran paradigma didalam hukum pidana yang mulai meninggalkan paham aliran klasik menuju ke aliran modern. Bahwa tujuan pemidanaan tidak lagi hanya berorientasi pada perbuatan dan akibat dari tindak pidana melainkan berorientasi pada perbuatan, akibat dan pelakunya atau daad-dader-strafrecht. Oleh itu, tujuan pemidanaan tidak lagi menitik beratkan pada pembalasan semata-mata sebagaimana dianut dalam aliran klasik yang dikenal dengan konsep keadilan retributif, namun tujuan pemidanaan saat ini berorientasi pada konsep keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif. Keadilan korektif lebih menekankan pada kesalahan pelaku yang harus dikoreksi. Keadilan rehabilitatif lebih dalam rangka memperbaiki pelaku agar tidak lagi mengulangi perbuatannya dimasa mendatang. Dan keadilan restoratif lebih menitik beratkan pada pemulihan korban kejahatan (Hiariej, 2016).
Lebih jauh dalam aliran klasik hanya mengenal legal defenition of crime yakni bahwa negara hanya mengenal kejahatan yang diatur dalam undang-undang sedangkan dalam aliran modern menolak hal tersebut dan menggunakan natural crime yakni kejahatan tidak saja sebatas apa yang ditentukan didalam undang-undang tetapi juga perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat beradap diakui sebagai suatu kejahatan (Muladi & Arief, 1998). Olehnya itu, KUHP kita saat ini masih berpaham pada aliran klasik yang menitik beratkan pada penjatuhan hukum sanksi pidana khususnya pidana perampasan kemerdekaan (penjara dan kurangan) sebagai bentuk pembelasan yang berdampak pada overcapacity di Lembaga Pemasyarakatan kita saat ini dan tidak mengakui adanya hukum yang hidup didalam masyarakat, sedangkan RUU KUHP menyesuaikan dengan paradigma hukum pidana modern yang berkembang saat ini bahwa tujuan pemindanaan bukan saja terhadap pembalasan tetapi juga bagaimana memperbaiki pelaku agar menjadi lebih baik dan memperhatikan pemulihan korban kejahatan serta mengakui hukum yang hidup didalam masyarakat. Dalam RUU KUHP tujuan pemidanaan diatur didalam Pasal 51 dan Pasal 52.
Terkait dengan perumusan pedoman penjatuhan pidana sendiri kiranya bertolak dari pemikiran bahwa adanya perumusan ini agar dapat menjadi kontrol dari masyarakat terkait alasan penjatuhan pidana oleh hakim juga sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah. Lain sisi, perumusan penjatuhan pidana ini sebagai pedoman untuk mengefektifkan jenis alternatif pidana lain selain pidana perampasan kemerdekaan dalam rangka menghindari penggunaan pidana penjara (Arief, 2016). Dalam RUU KUHP pedoman penjatuhan pidana diatur didalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 56.
Kedelapan, berkaitan dengan perumusan double track system. Dalam perkembangan hukum pidana modern istilah double track system yang berarti pemisahan antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan. Perkembangan konsep inilah yang memperkenalkannya tindakan (maatregel) sebagai alternatif lain dari pidana pokok terutama pidana penjara. Didalam KUHP kita saat ini sebenarnya sudah menggunakan sistem double track system hal ini dapat ditemui didalam Pasal 10 KUHP yang mengatur tentang jenis-jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan, sedangkan sanksi tindakan terdapat didalam Pasal 44 KUHP meskipun terbatas hanya bisa dikenakan kepada orang yang tidak mampu bertanggungjawab karena jiwanya cacat atau terganggu dalam penyakit. Sanksi tindakan terhadap seseorang yang termasuk dalam Pasal 44 KUHP ini berupa dimasukkannya kedalam rumah sakit jiwa. Sanksi tindakan (maatregel) kemudian diatur lebih jauh diluar KUHP yakni didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Pasal 86, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolahan Lingkungan Hidup dalam Pasal 119 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika didalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 56 tentang rehabilitasi.
Didalam RUU KUHP sendiri perumusan double track system lebih diperluas baik dari sanksi pidana maupun sanksi tindakan. Sanksi pidana didalam RUU KUHP diatur didalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 102. Pada pidana pokok terdapat jenis pidana baru yang tidak diatur didalam Pasal 10 KUHP kita saat ini, yakni pidana pengawasan dan pidana kerja sosial (lihat Pasal 65 huruf c dan e) sedangkan pada pidana tambahan terdapat jenis pidana baru yang tidak diatur didalam Pasal 10 KUHP yakni pembayaran ganti rugi, pencabutan izin tertentu dan pemenuhan kewajiban adat setempat (lihat Pasal 66 huruf d, e dan f).
Paradigma baru dalam RUU KUHP juga adalah tidak dimasukkannya pidana mati menjadi pidana pokok sebagaimana didalam Pasal 10 KUHP kita saat ini. Dalam RUU KUHP pidana mati diterapkan bersyarat dengan masa percobaan 10 tahun (lihat pasal 100). Artinya bahwa terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan dimana tindakan tersebut diancam dengan pidana mati (misalnya makar) maka hakim dapat menjatuhkan pidana mati kepada orang yang melakukan makar, tetapi jika dalam masa percobaan 10 tahun ia menjalani masa pidananya terdapat keadaan perbaikan diri oleh pelaku, maka pidana mati yang dijatuhkan kepadanya dapat dianulir atau diganti dengan pidana seumur hidup (lihat Pasal 100 ayat (4)). Sebaliknya, jika ternyata pelaku tidak menunjukan adanya perbaikan, maka pidana mati dapat dilaksanakan (lihat Pasal 100 ayat (5)).
Dasar pemikiran RUU KUHP menjadikan pidana mati bersyarat dan bukan lagi menjadi pidana pokok adalah sebagai middle way atau jalan tengah antara dua kelompok yang berseteru yakni kelompok retensionis dan kelompok abolisionis. Retensionis adalah kelompok yang ingin mempertahankan pidana mati, di Indonesia kelompok ini identik dengan pegiat anti korupsi. Sedangkan abolisionis adalah kelompok yang ingin menghapus pidana mati, di Indonesia kelompok ini identik dengan pegiat hak asasi manusia. Maka untuk menjadi middle way dari kedua kelompok tersebut maka RUU KUHP dibentuk tetap mengadopsi pidana mati tetapi bersyarat. Dasar pemikiran lainnya adalah merujuk pada tujuan pemidanaan dalam paradigma hukum pidana modern dimana mengedepankan keadilan korektif dan keadilan rehabilitatif. Artinya bahwa pelaku dikoreksi kesalahannya mendapat pembinaan dan menekankan untuk tidak melakukan kembali kesalahannya sehingga jika pelaku menunjukan perbaikan maka pidana mati itu bisa diganti dengan pidana seumur hidup.
Kesembilan, terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi. Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum (Mertokusumo, 2010). Subjek hukum dibagi menjadi 2 (dua), yakni manusia pribadi (naturlijk persoon) dan badan hukum (rechtpersoon) atau korporasi. Dalam hukum pidana, pada awalnya pembentuk undang-undang berpandangan bahwa hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum suatu tindak pidana. Namun, dalam perkembangannya ternyata manusia terkadang melakukan tindakan didalam atau melalui organisasi keperdataan sehingga muncul pengaturan terhadap badan hukum atau korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana.
Didalam KUHP kita saat ini hanya mengakui subjek hukum pidana orang saja dan tidak mengakui subjek hukum pidana berupa korporasi atau badan hukum. Hal ini sebagaimana ditegaskan didalam Pasal 59 KUHP. Belum diakuinya subjek hukum pidana korporasi dalam KUHP saat itu didasari oleh asas societas delinquere non potest yang artinya badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana atau asas universitas delinquere non potest artinya badan hukum tidak dapat dipidana. Tegasnya bahwa subjek hukum korporasi tidak memiliki unsur kesalahan (mens rea) sehingga sulit diterima sebagai subjek hukum pidana. Dalam perkembangannya pengakuan subjek hukum pidana korporasi pertama kali ditahun 1951, yaitu terdapat dalam Undang-Undang Penimbunan Barang-Barang (A. Hamzah, 1977) namun baru dikenal luas dalam Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (Muladi & Prayitno, 2010).
Dalam perkembangannya kini pengakuan subjek hukum pidana korporasi banyak ditemukan diluar KUHP dengan menggunakan frasa setiap orang yang ditujukan kepada orang dan korporasi atau badan hukum. Terkait dengan bentuk pertanggung jawaban pidana yang dilakukan korporasi, dalam tataran teoritis (doktrin) kiranya terdapat 3 (tiga) bentuk pertanggungjawaban yakni pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab dan korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab (Reksodiputro, 1989).
Berbeda dengan KUHP kita saat ini, didalam RUU KUHP dirumuskan secara tegas subjek hukum pidana korporasi dan bentuk pertanggungjawabannya didalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 50. Sedangkan berkaitan dengan bentuk sanksi pidana yang diberikan kepada korporasi diatur didalam Pasal 118 sampai dengan Pasal 124. Dimana pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok adalah pidana denda. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari ganti rugi, perbaikan akibat tindak pidana, pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan… dst (lihat Pasal 120 ayat (1)). Jika ternyata korporasi tidak melaksanakan pidana tambahan tersebut maka kekayaan atau pendapatan korporasi dapat disita dan dilelang untuk memenuhi tambahan yang tidak dipenuhi (lihat Pasal 120 ayat (3)).
Menariknya, didalam RUU KUHP tidak saja sanksi pidana yang diberikan kepada korporasi melainkan juga sanksi tindakan sebagai pengejawatahan double track system. Adapun sanksi tindakan yang dapat diberikan kepada korporasi adalah pengambilalihan korporasi, pembiayaan pelatihan kerja, penempatan dibawah pengawasan dan penempatan korporasi dibawah pengampuan (lihat Pasal 123).
Kesepuluh, terkait dengan pemaafan hakim (rechterlijk pardon). Dalam hukum acara pidana, hakim dalam memutus perkara memungkinkan 3 (tiga) kemungkinan yakni putusan berupa pemidanaan (veroordeling), putusan bebas (vrij spraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) (Harahap, 2006 juga Mulyadi, 2012). Dalam perkembangan hukum pidana hakim dalam memutus perkara meskipun terdakwa dinyatakan bersalah dan terbukti secara sah dan meyakinkan sesuai Pasal 183 KUHAP artinya terpenuhinya bewijs minimum yakni bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (Hiariej, 2012) dan hakim memiliki suatu keyakinan, tetapi Hakim tidak menjatuhkan pidana kepadanya dalam hal ini Majelis Hakim memberikan maaf kepada terdakwa. Hal ini dikenal dengan istilah non imposing of penalty atau rechterlijk pardon. Konsep ini telah diberlakukan di Belanda dalam KUHPnya pada tahun 1983. Oleh karena itu, di Belanda sejak tahun 1983 Hakim dalam menjatuhkan putusan memungkinkan 4 (empat) yakni putusan berupa pemidanaan (veroordeling), putusan bebas (vrij spraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) dan putusan pemaafan hakim (rechterlijk pardon).
Dalam RUU KUHP, paradigma itu kemudian dimasukan didalam Pasal 54 ayat (2) dimana ketentuan ini termasuk dalam pedoman pemidanaan. Dalam hal pemaafan hakim (rechterlijk pardon) RUU KUHP memberikan setidaknya 4 (empat) pedoman yang mesti diperhatikan oleh Hakim yakni : ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dan segi keadilan dan kemanusiaan.
Latar belakang dimasukkannya konsep rechterlijk pardon menurut Prof. Nico Keizer ialah banyaknya terdakwa yang sebenarnya telah memenuhi pembuktian, akan tetapi jika dijatuhkan suatu pemidanaan akan bertentangan dengan rasa keadilan (Keizer dan Schaffmeister, 1990). Di Belanda sendiri, sebelum dimasukkannya konsep rechterlijk pardon kedalam KUHPnya yakni sebelum tahun 1983 apabila terjadi permasalahan benturan antara kepastian hukum dan keadilan hukum maka hakim terpaksa harus menjatuhkan pidana yang sangat ringan.
Dalam konteks Indonesia Penulis memberikan contoh kasus yang terjadi pada tahun 2015 tehadap Nenek Asyani yang berusia 63 tahun dimana divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Situbondo Jawa Timur dengan pidana percobaan selama 15 bulan dan denda Rp. 500 juta subsider 1 hari pidana kurungan oleh karena mengambil kayu dari kawasan hutan tanpa memiliki izin. Jika berdasarkan konsep didalam RUU KUHP terkait dengan pemaafan hakim (rechterlijk pardon) kiranya kasus yang menimpa Nenek Asyani dapat diberikan pemaafan oleh hakim dengan merujuk pada 4 (empat) pedoman dalam Pasal 54 ayat (2) sebagaimana disebutkan sebelumnya. Untuk itu, adanya konsep pemaafan hakim dipandang penting didalam RUU KUHP.
Kesebelas, terkait dengan pengaturan alasan pemaaf dan alasan pemberat pidana. Seseorang dapat saja terbebas dari adanya sanksi pidana jika terhadap alasan penghapusan pidana yang terdiri dari alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar menghapuskan elemen melawan hukumnya perbuatan sedangkan alasan pemaaf menghapuskan elemen dapat dicelanya pelaku (Huda, 2011).
Didalam KUHP kita saat ini tidak membedakan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagai alasan penghapusan pidana. Melainkan KUHP membedakannya kedalam alasan yang berada dalam diri pelaku yang termuat dalam Pasal 44 KUHP dan alasan yang berada di luar diri pelaku yang diatur dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP. Dalam tataran teoritis (doktrin), terjadi silang pendapat diantara para ahli hukum pidana dalam penggolongan Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP kedalam alasan pemaaf atau alasan pembenar. Misalnya saja tentang Pasal 48 KUHP tentang daya paksa apakah masuk dalam alasan pembenar ataukah menjadi alasan pemaaf para ahli hukum pidana berbeda pandangan mengenai hal itu.
Berbeda dengan KUHP yang tidak membedakan antara alasan pemaaf dan alasan pembenar, didalam RUU KUHP keduanya dibedakan secara tegas. Untuk asalan pembenar diatur didalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 34 sedangkan alasan pemaaf diatur didalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 44. Paradigma baru dalam RUU KUHP ini terkait dengan alasan pemaaf adalah dimasukkannya ketentuan mengenai batas usia. Tegasnya didalam Pasal 40 dikatakan bahwa pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada waktu melakukan tindak pidana belum mencapai usia 12 tahun. Dan terhadap mereka yang belum berusia 12 tahun tersebut melakukan tindak pidana memberikan keputusan untuk dikembalikan ke orang tua, mengikut sertakan dalam program pendidikan, pembinaan paling lama 6 bulan (lihat Pasal 41).
Begitupun dengan pemberatan pidana. Didalam KUHP sendiri terkait dengan pemberatan pidana kiranya terdiri dari dilakukan dalam jabatan, pengulangan tindak pidana, dan corcursus. Didalam RUU KUHP paradigma baru yang dimasukkan sebagai pemberatan pidana adalah penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana (lihat Pasal 58).
Keduabelas, terkait dengan perumusan dan pengaturan permufakatan jahat dan persiapan. Dalam KUHP sendiri terkait dengan permufakatan jahat diatur didalam Pasal 88, dimana dalam permufakataan jahat sebagaimana dimaksud terdiri dari jika ada 2 (dua) orang atau lebih bersepakat untuk melakukan kejahatan. Permufakatan jahat pula diatur diluar KUHP yakni dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di dalam RUU KUHP terkait dengan permufakatan jahat dirumuskan secara tegas didalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 14. Paradigma baru yang dimasukkan dalam RUU KUHP ini adalah terkait dengan sanksi pidana yang diberikan yakni terhadap permufakatan jahat melakukan tindak pidana sanksi pidana yang dapat dijatuhkan paling banyak 1/3 dari ancaman pidana pokok untuk tindak pidana yang bersangkutan. Sedangkan terhadap permufakatan jahat melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya adalah pidana mati atau penjara seumur hidup pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 7 tahun.
Terkait dengan persiapan, menurut Jan Remelink salah satu bentuk delik abstrak adalah delik-delik persiapan atau voorbereidingsdelicten. Delik persiapan ini ditujukan untuk delik yang menimbulkan bahaya konkret tetapi tidak memenuhi unsur-unsur delik percobaan (Jan Remelink, 2003). Dalam tataran doktrin, delik persiapan dipersamakan dengan Pasal 88 KUHP terkait dengan permufakatan jahat. Namun didalam RUU KUHP tegas dipisahkan antara permufakatan jahat dan persiapan.
Terkait dengan persiapan diatur didalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 16. Dimana kualifikasi delik persiapan adalah pelaku berusaha mendapatakan atau menyiapkan sarana berupa alat, mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan tindakan atau melakukan tindakan serupa yang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan yang secara langsung ditujukkan bagi penyelesaian tindak pidana (lihat Pasal 15 ayat (1)).
Dari hal tersebut nampak jelas perbedaan antara permufakatan jahat dan persiapan didalam RUU KUHP. Dimana permufakatan jahat mesti ada kesepakatan atau dalam tataran doktrin disebut dengan istilah meeting of mind sedangkan dalam delik persiapan ada upaya yang dilakukan untuk penyelesaian tindak pidana. Untuk itu dalam delik persiapan sanksi pidananya lebih berat bila dibandingkan dengan permufakatan jahat dimana dalam persiapan sanksi pidananya paling banyak 1/2 dari ancaman pidana maksimum sedangkan terhadap tindak pidana dengan ancaman pidana mati atau seumur hidup dijatuhi pidana paling lama 10 tahun. Kendati demikian, seseorang dapat saja terbebas dari pidana yang diancamkan dalam permufakatan jahat dan persiapan munurut RUU KUHP jika seseorang itu menarik diri dari kesepakatan (lihat Pasal 14) dan melakukan pencegahan atau menghentikan terjadinya tindak pidana (lihat Pasal 14 dan Pasal 16)
Pengaturan mengenai permufakatan jahat dan persiapan ini sangat penting terhadap tindak pidana terhadap keamanan negara seperti makar. Sempat menjadi kontroversi dimasyarakat terkait dengan pidana mati yang dapat dijatuhkan jika peran terdakwa tidak terlalu penting (lihat Pasal 100 ayat (1) huruf a RUU KUHP). Untuk mencermati pasal ini sebenarnya tidak bisa dilihat secara parsial, melainkan secara komprehensif.
Untuk menjawab kontrovesi itu, Penulis memberikan contoh terhadap permufakatan jahat atau persiapan dalam hal melakukan tindak pidana makar. Didalam Pasal 196 ayat (1) RUU KUHP disebutkan bahwa “setiap orang yang melakukan permufakatan jahat atau persiapan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 sampai dengan Pasal 194 dipidana”. Sedangkan ancaman pidana dalam Pasal 191 dan Pasal 192 RUU KUHP adalah pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana paling lama 20 tahun. Bila dihubungkan dengan Pasal 100 ayat (1) huruf a RUU KUHP dimana dinyatakan bahwa “peran terdakwa tidak terlalu penting”, sebenarnya merujuk pada permufakatan jahat dan persiapan ini. Artinya peran terdakwa dalam hal melakukan tindak pidana makar dipandang tidak terlalu penting, akan tetapi oleh karena ancaman pidana makar sebagaimana disebutkan dalam Pasal 191 dan Pasal 192 RUU KUHP adalah pidana mati, maka terhadap pelaku yang tidak terlalu penting itu dapat dijatuhi pidana mati dengan percobaan 10 tahun.
Penutup
Kiranya dalam RUU KUHP banyak kebaruan konsep yang dilahirkan dengan upaya menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya hukum pidana dan disesuaikan dengan nilai-nilai dasar bangsa Indonesia yang sosio-kultural. Yang jika dibandingkan dengan KUHP kita saat ini yang terlihat begitu tertinggal dari pekembangan ilmu pengetahuan juga masih menagadopsi nilai-nilai barat yang individualis dimana hal itu bertentangan dengan nilai-nilai bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam hal pembaharuan hukum pidana, kiranya dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara. Pertama pembaharuan dengan cara parsial yakni dengan cara mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi hukum pidana. Kedua pembaharuan dengan cara universal, total atau menyeluruh yaitu pembaharuan dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana (Gunarto, 2012). Jika berdasar hal tersebut KUHP kita selama ini mengalami pembaharuan secara parsial atau dengan tambal sulam. Banyak ketentuan didalam KUHP kita saat ini yang telah dihapuskan, juga terdapat beberapa pasal yang telah dikeluarkan menjadi pasal dalam undang-undang pidana khusus, juga terdapat beberapa pasal yang telah mengalami judicial review di Mahmakah Konstitusi. Kesemuanya itu dilakukan dalam konteks pembaharuan hukum pidana secara parsial. Maka lahirnya RUU KUHP ini adalah sebagai bentuk upaya pembaharuan secara menyeluruh dengan mengemban misi konsolidasi dimana seluruh peraturan pidana yang diatur diluar KUHP selama ini dimasukkan kembali dalam satu kitab. Disisi lain, mencermati alasan politis bahwa sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat harusnya dapat melahirkan produk hukum sendiri dan tidak lagi menggunakan produk hukum negara jajahan.
Membantah bahwa pembuatan RUU KUHP dilaksanakan secara terburu, sebenarnya tidak sepenuhnya bisa diterima oleh karena ide pembaharuan sebenarnya telah didengungkan sejak tahun 1963. Artinya saat ini usaha pembahasan RUU KUHP telah memasuki usia 58 tahun artinya memang bukan hal yang baru. Jika RUU KUHP memiliki kekurangan kiranya hal yang pasti oleh karena RUU KUHP merupakan buatan manusia, bukan buatan Tuhan dan tentu terlalu naif jika tidak memiliki kekurangan.
Maka tulisan ini dibuat yang oleh Penulis sendiri merasa memiliki tanggungjawab secara moril karena Penulis bergelut dalam dunia hukum khususnya hukum pidana dan sebagai perpanjangan tangan dari para Guru-Guru Penulis yakni para perumus RUU KUHP baik yang telah kembali kesisi Allah SWT maupun yang masih meneruskan hingga saat ini. Kendatipun beberapa perumus RUU KUHP saat ini Penulis tidak pernah mengenyam pendidikan secara langsung namun melalui buku-buku dan karya ilmiah lainnya yang tersebar diberbagai media Penulis merasa mendapat banyak hal. Untuk itu tulisan ini sebagai upaya mengkampanyekan “RUU KUHP” ini kepada masyarakat yang mungkin sedikit-banyaknya dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang sejarah, isi dan beberapa pemikiran baru didalam RUU KUHP kita saat ini. Sekian. Wallahu a’alam bishawab.
Penulis merupakan kandidat Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada