Oleh: Dr La Ode Muhaimin, SH., LL.M
Tulisan ini sambungan dari tulisan saya yang lalu di Kendari Pos. Ikhwalnya mengenai kedudukan Ali Mazi sebagai Gubernur dan Wakil Pemerintah Pusat (WPP) di daerah serta kedudukan hirarkhis antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Bukan dari segi pembentukan Provinsi Kepulauan Buton (Kepton).
Tugas dan wewenang Ali Mazi sebagai Gubernur berbeda dengan tugas dan wewenang Ali Mazi sebagai WPP. Dua jabatan ini akan diulas satu per satu kemudian dikaitkan dengan posisi Ali Mazi sebagai ketua umum dalam Keputusan Gubernur Sultra No. 354 Tahun 2021 tentang Pembentukan Tim Percepatan Kepton (K. 354/2021) yang sudah beredar. Keputusan ini akan dikaitkan lagi dengan kebijakan pemerintah/presiden tentang moratorium Penataan Daerah (Pembentukan dan Penyesuaian Daerah) di Indonesia yang belum dicabut, lalu ditutup dengan posisi hirarkhis antara Pemerintah Pusat-Daerah.
Sebagai Gubernur
Merealisasi permintaan masyarakat se-wilayah Kepton, Ali Mazi menerbitkan Keputusan yang berisi dua hal pokok, yaitu personil tim dan penyiapan dokumen. Seperti dituliskan di atas, Gubernur Sultra mendaulat dirinya sebagai ketua umum. Tidak ketinggalan, bupati dan walikota se-Kepton ikut tercantum. Menarik kan?
Jamak diketahui, gubernur adalah penyelenggara urusan pemerintahan konkuren dan pemerintahan umum di provinsi. Tugas penyelenggaraan urusan konkuren (dasar pelaksanaan otonomi daerah) ini akan dipertanggungjawabkan kepada presiden melalui menteri dalam negeri (Mendagri) setiap tahun. Tidak ada keterkaitan antara posisi Ali Mazi dalam K. 354/2021 dengan kedudukannya sebagai pelaksana urusan konkuren. Urusan pembentukan daerah bukan tergolong urusan pemerintahan konkuren. Dari sisi ini, peran yang diambil oleh Ali Mazi tdiak dapat dipersoalkan apalagi dipersalahkan.
Apakah terkait dengan urusan pemerintahan umum? Dalam terminologi yuridis, urusan ini adalah urusan yang menjadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan. Pelaksanaannya di provinsi di tangan gubernur dan dipertanggungjawabkan kepada presiden melalui Mendagri. Nah, Ali Mazi sebagai gubernur yang menjabat sebagai ketua umum, tergolong melaksanakan urusan pemerintahan umum? Ternyata tidak. Sebab respon atas permintaan masyarakat Kepton bukan merupakan bagian implementasi dari tugas pelaksana urusan pemerintahan umum. Di titik ini pun, tidak terdapat keterkaitan antara Ali Mazi sebagai ketua umum dalam K. 354/2021 dengan fungsinya sebagai pelaksana urusan pemerintahan umum. Maka ininsiatif Ali Mazi melahirkan K. 354/2021 tidak dapat dipersoalkan atau dipersalahkan lagi
Bagaimana pertaliannya dengan kebijakan moratorium Penataan Daerah? Berpegang pada dua kedudukan gubernur di atas kemudian mengaitkannya dengan kebijakan moratorium maka keberadaan Ali Mazi dalam K. 354/2021 menjadi dilematis. Di satu sisi ia sebagai pribadi, yang tunduk pada hukum privat. Tetapi, di sisi lain sebagai kepala pemerintahan provinsi yang tunduk pada hukum publik. Artinya, Tindakan Gubernur Ali Mazi diikat oleh aturan yang dikeluarkan oleh Pusat termasuk kebijakan moratorium meskipun tidak tertulis. Bertambah dilematis karena kedudukan hirarkhis antara Pemerintah Pusat-Daerah sebagai satu kesatuan peemirntahan nasional yang dipimpin oleh presiden.
Sebagai WPP
Tugas dan wewenang gubernur sebagai WPP berbentuk (1) atribusian yang meliputi empat bidang yaitu hukum, perencanaan, pemerintahan, pembinaan dan pengawasan dan (2) delegatif. Betapa luasnya kewenangan gubernur yang mengepalai daerah provinsi sebagai unit antara di NKRI dalam jabatan sebagai WPP. Maka tidak jarang kebijakan para bupati dan walikota bersama DPRD dikonsultasikan lebih dahulu kepada gubernur atau dalam bahasa satire, berkonflik dengan gubernur, suatu “malapetaka”.
Mengaitkan kedudukan Ali Mazi sebagai WPP dengan keberadaannya dalam K. 354/2021 malah problematik. Selain kewenangannya bersifat atributif dan delegatif juga kedudukannya sebagai bawahan presiden yang tunduk dan bertangggungjawab kepada presiden. Kendatipun dipilih langsung oleh rakyat, kedudukan gubernur maupun bupati dan walikota sekalipun, bersub-ordinat kepada presiden. Inilah konsekwensi sebuah negara yang berbentuk kesatuan.
Kalau menelisik kewenangan aribusi maupun delegasi dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah memang tidak satupun yang menyebutkan tugas WPP terkait dengan Penataan Daerah. Tetapi etika dan norma pemerintahan wajib dijaga oleh WPP. Ini paralel dengan kewajiban kepala daerah menjaga etika dan norma dalam menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Etika menyangkut sikap dalam berpemerintahan baik kepada Pemerintah Pusat maupun kepada pemerintahan dalam wilayah pemerintahannya. Sedangkan norma yang dimaksud adalah norma hukum, yang mengandung maksud wajib menegakan peraturan perundang-undangan, tidak terkecuali UU 23/2014. Maka menaati peraturan perundang-undangan adalah kewajiban kepala daerah pula.
Memaknai etika dan norma pemerintahan sangatlah lentur alias fleksibel. Tidak memiliki batasan tertentu atau dengan kata lain dapat diukur cakupannya. Hal ini dapat menjadi halang rintang yang bermuatan resiko yuridis dan politis apabila gubernur tidak mematuhinya. Menjaga etika dan norma pemeirntahan dan menaati peraturan per-uu-an menjadi kewajiban kepala daerah. Manakala dilanggar berdampak secara yuridis dan politis yang berujung terbukanya pintu pemakzulan.
Kenapa bisa? Pokok pikiran singkatnya begini. Desain pemakzulan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dalam UU 23/2014 sangat variatif karena diracik dalam dua klaster kewenangan. (1) klaster kewenangan presiden/mendagri; dan (2) klaster kewenangan DPRD. Klaster kewenangan presiden bersub 2 alasan pokok dengan 2 model pemakzulan. Sedangkan klaster kewenangan DPRD bersub 3 alasan pokok dengan 3 model pemakzulan. Di mana canel pemakzulannya? Bisa dilakukan presiden dan bisa dimulai DPRD. Ringkasnya, pemakzulan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah bersifat luwes.
Kembali kepada kedudukan Ali Mazi sebagai WPP kemudian mengaitkan posisinya sebagai ketua umum dalam K. 354/2021. Ternyata, kedudukan yang terakhir ini implikasinya lebih kuat ketimbang kedudukan Ali Mazi sebagai penyelenggara urusan pemerintahan konkuren dan pemerintahan umum. Berniat baik demi menjawab dan menyambut permintaan masyarakat Kepton yang ingin membentuk satu provinsi dihadapkan dengan jabatannya sendiri. Pilihan sulit melilit Ali Mazi layaknya buah simalakama.
Ditambah dengan kebijakan moratorium Penataan Daerah yang belum dicabut menyebabkan langkah lanjutan Ali Mazi merealisasi tuntutan masyarakat Kepton menghadapi hambatan. Kalau dokumen pembentukan Provinsi Kepton dibawah oleh Ali Mazi sampai di tangan presiden/mendagri maka ia dianggap tidak mematuhi kebijakan Pemerintah Pusat. Tindakan ini dapat diolah pihak tertentu sebagai data hukum yang digiring menjadi dakwaan pemakzulan. Jauh dari dampak hukum dan politik kalau dokumen hanya disampaikan kepada DPR dan DPD, tidak kepada presiden.
Memang tidak mudah memakzulkan kepala daerah atau wakil kepala daerah. Ada prosedur dan syarat-syarat tertentu yang wajib dipenuhi. Namun sumbu politik acap kali mudah memuai dengan sokongan kelenturan alasan pemakzulan. Wacana pemakzulan dapat berhembus dan sedikit-banyak mempengaruhi konsenntrasi sang Gubernur. Lagi pula PP tentang Pembentukan Daerah dan Penyesuaian Daerah belum terbit, maka dalil pemakzulan bertambah lagi. Akhirnya, peluang ke arah pemakzulan paling tidak dan mudah-mudahan tidak ditangkap oleh anggota DPRD yang berseberangan dengan Gubernur Ali Mazi. Sungguh suatu keadaan yang tidak kita harapkan dan inginkan terjadi.
Apakah paparan ini terlalu sumir lompatan analisanya? Jawaban saya: lawan debat adalah teman berpikir, lawan bertanding adalah teman bermain, begitu kata Anies Baswedan. Dan juga, argumentasi yang dituangkan dalam tulisan ini bukan bermaksud menghalang-halangi terbentuknya Provinsi Kepton atau menciptakan sensasi doang. Ini hanyalah telaah akademis semata sebagai seseorang yang meminati hukum ketatanegaraan. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati saya menyatakan tidak punya niat buruk sama sekali terkait Kepton. Jusrtu saya bangga dengan perjuangan masyarakat Kepton dan saya ada dalam barisan itu.
Penulis Adalah Pengajar Hukum Tata Negara Unidayan