Keran Impor Cabai Kembali Dibuka, Petani Makin Terluka

Pena Opini608 views

Oleh: Sulastri (Relawan Media)

Cabai memang bukan bahan pangan kebutuhan pokok, namun cabai merupakan bahan makanan penting. Mengingat sebagian besar masyarakat indonesia adalah pengonsumsi makanan yang bercitarasa pedis. Namun apa kabar para petani cabai yang harus kembali gigit jari ketika kenyataan harga cabai yang semakin tidak masuk akal.

Dilansir dari Radartegal.com, Anggota Komisi IV DPR RI Slamet menanggapi video viral yang memperlihatkan seorang petani cabai mengamuk dan merusak kebun cabai miliknya. Kemarahan petani diduga akibat harga cabai di pasaran turun.

Slamet mengatakan, harga cabai yang anjlok di pasaran menandakan adanya masalah yang seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah. Pemerintah harus hadir melindungi petani indonesia. Jangan hanya berpikir impor terus, sementara nasib petani kita semakin sengsara, ujarnya, Jumat, 27 Agustus 2021 lalu.

Slamet menyatakan impor cabai di semester I 2021 sebesar 27,851 ton. Naik 54 persen dibanding tahun 2020 sebesar 18.075 ton.

Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan realisasi impor pada Semester I-2020 yang hanya sebanyak 18.075,16 ton dengan nilai US$ 34,38 juta. Cabai yang diimpor pemerintah pada umumnya adalah cabai merah, termasuk juga cabai rawit merah. Ini menunjukkan betapa pemerintah memang tidak berpihak kepada petani kita, jelasnya.

Kata Slamet, pemerintah perlu melihat kembali kepada kebijakan pangan yang menjadi landasan kerja era Kabinet Indonesia Maju. Seperti diketahui kebijakan pangan yang tertuang dalam nawacita kedaulatan pangan muaranya adalah peningkatan kesejahteraan para petani.

Anjloknya harga cabai disebabkan sepinya pasar akibat kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), yang merupakan kebijakan Pemerintah Indonesia sejak awal 2021 untuk menangani pandemi Covid-19 di Indonesia, namun bukan hanya karena masalah itu saja, pasalnya pemerintah kembali membuka kran impor cabai.

Pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, biasanya berdalih anjloknya harga adalah akibat faktor kelebihan produksi atau surplus. Akibatnya, ketersediaan barang di pasar terlalu melimpah, sementara permintaan atas barang tersebut tetap atau malah berkurang akibat daya beli masyarakat yang terus menurun di masa pandemi. Hal itu selalu berulang dan terulang lagi. Bahkan, bukan hanya di komoditas cabai saja, untuk bahan pangan lainnya pun sering terjadi. Inilah yang menyebabkan petani lokal harus menelan pil pahit karena harga panenan yang di hasilkan tidak seperti yang diharapkan. Padahal saat panen menjadi hal yang ditunggu tunggu untuk memetik hasil keuntungan kerja kerasnya.

Meski sebelum panen pun keadaan mereka tak begitu baik. Sulitnya proses produksi yang bergulat dengan kondisi alam. Penderitaan petani bertambah oleh persoalan biaya produksi, terutama pupuk. Kartu Tani yang diperoleh sebagian kecil petani pun nyatanya tak bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan pupuk bersubsidi. Harga pupuk bersubsidi faktanya masih tetap mahal dengan sistem penyaluran yang berbelit, yakni melalui perusahaan dan kios pedagang pupuk yang terdaftar di kelompok tani.

Untuk masalah ini, negara harusnya melindungi petani lokal dan bertanggung jawab penuh mengurusi petani. Ada banyak hal yang bisa dilakukan mulai dari penyediaan lahan pertanian yang layak tanam, pupuk dengan harga terjangkau, memfasilitasi sistem irigasi yang bagus dan aman untuk lingkungan, menjaga stabilitas harga panen tanaman, hingga menjamin hasil panen terdistribusi dengan baik sampai ke tangan konsumen/rumah tangga.

Namun, hal itu sepertinya hanya tinggal angan-angan. Buruknya nasib petani di dalam sistem demokrasi terjadi karena lemahnya posisi petani akibat kurangnya sokongan dari pemerintah. Petani dibiarkan dalam segala kesulitannya, seperti keterbatasan lahan, kurang modal, kurang cakap teknologi pertanian, atau lemahnya posisi petani di hadapan para tengkulak.

Akar masalah semua problem ini adalah karena negara menerapkan sistem kapitalisme neoliberal dalam tata kelola pertanian. Sistem ini meniadakan peran negara sebagai pengatur utama (regulator) pengelolaan pertanian dari hulu hingga hilir. Swasta bisa berperan sebebas-bebasnya dalam menguasai dan mengelola aset-aset vital yang berhubungan dengan tata kelola pertanian. Korporasi-korporasi besar yang menguasai modal itulah yang menjadi pemain utama. Lantas, bagaimana dengan nasib petani kecil?

Sistem sekuler kapitalistik yang menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan dalam membuat kebijakan faktanya hanya menguntungkan sekelompok elit tertentu. Tata kelola kebijakan yang salah adalah hasil kongkalikong kekuasaan antara penguasa dan pengusaha yang mengakibatkan muncul mafia pangan.

Tak mengherankan apabila muncul berbagai kebijakan yang kurang solutif sekalipun menyangkut hajat hidup orang banyak dan seringkali kebijakan yang ada selalu bergelut dengan kepentingan partai pemenang, kelompok pendukung, dan para pemilik modal sebagai donatur kekuasaan.

Padahal, dalam Islam, pemerintah sejatinya adalah pelayan sekaligus pelindung umat, bukan pebisnis atau pedagang. Mereka wajib memastikan kebutuhan umat dan keamanan mereka terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana wajib pula bagi mereka memastikan kedaulatan dan kemandirian negara tetap terjaga.

Negara bertugas untuk mengatur dengan membuat kebijakan melalui penerapan sistem pertanahan dalam Islam yang mengharuskan optimalisasi penggunaan lahan sesuai potensinya. Kemudian hadir di tengah masyarakat dengan dukungan pembinaan dan permodalan yang dimungkinkan karena negara menerapkan sistem ekonomi dan keuangan Islam.

Semua itu diawasi ketat, sehingga menutup celah-celah penyelewengan dengan penerapan sistem sanksi dan peradilan Islam yang dikenal tegas. Sistem ini berperan sebagai jawabir dan jawazir. Kasus kezaliman yang lumrah terjadi dalam sistem sekuler ini tak mungkin merebak dalam sistem yang menerapkan aturan-aturan Islam.

Sistem politik Islam juga menjamin kemandirian dan kedaulatan negara tegak sempurna. Negara tak akan mudah tunduk pada tekanan internasional yang dibuat melalui diktum-diktum perjanjian yang hakikatnya merupakan alat penjajahan.

Pengurusan urusan umat berjalan demikian sempurna. Sehingga, umat bisa merasakan hidup sejahtera dan penuh berkah di bawah naungannya. Sebagaimana firman Allah SWT:

”Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96)

wallahualambishawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *